Seminar adalah majelis ilmu. Di dalamnya beragam konsep, temuan riset, dan gagasan baru dipaparkan dan didiskusikan. Seminar juga mengundang komunitas yang menjadi salah satu penciri kematangan sebuah disiplin. Selain munculnya komunitas, penciri disiplin lain adalah adanya ‘badan pengetahuan’ dan publikasi yang konsisten.
Karena seminar diselenggarakan berulang dan melibatkan banyak orang, tidak berlebihan jika kita juga memasukkannyan sebagai ritual. Atau, lebih tepatnya ritual akademik. Literatur di bidang sosiologi organisasi menaruh perhatian khusus pada praktik ritual, yang sangat penting dalam membangun budaya. Dalam konteks ini aadlah budaya akademik.
Pemimpin organisasi atau komunitas dapat dengan mudah memaparkan nilai-nilai dalam banyak kesempatan dan kanal, tetapi ritual akan mempublikasikan nilai tersebut secara terbuka. Seminar yang secara istikamah dijalankan, juga mengindikasikan nilai-nilai yang dianut oleh penyelenggaranya.
Literatur mencatat beragam manfaat dari ritual yang konsisten dijalankan. Termasuk di antaranya adalah menjaga eksistensi, mendekatkan anggota organisasi/komunitas, menyatukan irama langkah, menjaga moral, dan lain-lain. Karenanya, ritual mempunyai makna yang dalam, lebih dari sekedar yang terlihat di permukaan.
Nah, supaya ritual menjadi bermakna, maka harus disuntik dengan nilai-nilai. Seminar adalah etalase hasil riset. Temuan riset yang menarik adalah sebuah nikmat yang harus disyukuri. Temuan yang berbeda dengan harapan awal, bisa jadi bahkan menjadi “angsa hitam” yang distingtif dan menawarkan tilikan baru. Nikmat ini perlu disyukuri, dan salah satu cara adalah dengan menuliskan temuan riset tersebut untuk dikabarkan. Ini adalah tahadduts bi an-ni’mah.
Dengan merekam hasil riset dalam tulisan, atau untuk konteks kekinian dalam bentuk rekaman artefak, gambar, audio, atau video, akan memperpanjang usia gagasan. Gagasan akhirnya bisa diakses oleh semakin banyak orang.
Hal ini akan memungkinan ruang diskusi yang terbuka dan pengembangan temuan ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam bahasa agama Islam, memperpanjang umur gagasan adalah membuka pintu amal jariyah, yang pahalanya tak putus bahkan setelah penemunya wafat.
Rekaman hasil riset yang dibagi juga akan memantik imajinasi kolektif. Rekaman tersebut adalah hasil abstraksi atas fenomena. Kemampuan abtraksi manusia ini oleh Al-Qur’an disebut dengan al-bayan. Allahlah yang mengajarkan al-bayan ini kepada manusia, dengan mempergunakan semua potensi kemanusiaannya, termasuk hati, penglihatan, dan pendengaran.
Perubahan-perubahan besar di muka bumi tidak terlepas dari imajinasi. Imajinasi kolektif akan memberikan hasil yang lebih dahsyat, dieksekusi secara berjamaah dan konsisten. Kegagalan dalam mengimajinasi masa depan merupakan awal buruk dalam membangun sebuah perubahan.
Inilah proses pembentukan peradaban. Peradaban mungkin berasal dari proses solilokui, perbincangan internal seorang aktor. Semuanya selalu melibatkan dialog dan bahkan polilog yang melibatkan banyak aktor. Dan, seminar sebagai ritual akademik membuka pintu dialog ini.
Elaborasi ringkas dari sambutan pada pembukaan Seminar Nasional Karya dan Pameran Arsitektur Indonesia 2021 (Sakapari 8) yang diselenggarakan oleh Jurusan Arsitektur, Universitas Islam Indonesia, 14 Agustus 2021.