Pada Mei 2011, satu dekade yang lalu, di sebuah ruangan hotel yang megah di Kathmandu Nepal, dihelat konferensi dua tahunan tentantang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk pembangunan (information and communincation technology for development/ICT4D). Salah satu pembicara kuncinya adalah Geoff Walsham, profesor emiritus dari Universitas Cambridge.
Dalam ceramahnya, Geoff, demikian kami memanggilnya, menguraikan bahwa dalam konteks pembangunan, seharusnya terdapat pergeseran tujuan penggunaan TIK. Dia mengajak kita melakukan refleksi.
Apakah penggunakan TIK membuat dunia lebih baik? TIK yang awalnya ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, perlu diarahkan untuk menjadikan dunia lebih baik.
Ada beragam indikator yang disebutkan, termasuk memastikan bahwa penggunaan TIK bersifat inklusif dan tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Semuanya harus bisa mendapatkan akses kepada TIK. Gagasan besar in pun akhirnya ditulisnya dalam semua artikel yang terbit setahun kemudian di Jurnal of Information Technology (Walsham, 2021). Tulisan ini mendapatkan respons yang cukup hangat dari komunikasi sistem informasi dunia.
Refleksi ini paling tidak menghadirkan dua pertanyaan lanjutan. Pertama, apakah penggunaan TIK selama ini telah memperlebar kesenjangan antarkelompok dalam masyarakat? Setiap dari kita bisa melakukan refleksi, meskipun saya yakin yang hadir di ruang zoom ini termasuk penikmat layanan berbasis TIK. Tetapi, di luar sana, saya masih yakin, banyak kelompok masyarakat yang belum tersentuh atau belum mempunyai akses yang layak terhadap layanan TIK. Koneksi Internet yang andal dan terjangkau adalah salah satunya.
Kedua, jika kita sepakat, bahwa kesenjangan yang ada perlu dimitigasi, bagaimana caranya? Jawaban pertanyaan ini tidak mudah dan tidak tunggal. Saya berharap, diskusi dalam seminar kali ini akan memberikan banyak tilikan baru berdasar praktik di lapangan. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa kehadiran TIK akan membawa kita kepada dunia yang lebih baik.
Akses terhadap layanan TIK secara nyata juga menjadi salah satu indikator bahwa pembangunan berhasil. TIK sebagai komoditas menghadirkan beragam kapabilitas atau kemungkinan tindakan yang dapat dijalankan oleh pemiliknya. Tetapi, tidak semua kapabilitas tersebut dapat berfungsi dalam konteks nyata.
Ada banyak sebab. Termasuk di dalamnya adalah sikap terhadap pemanfaatan TIK dan pengetahuan atau keterampilkan yang dipunyai penggunanya. Sebagai contoh, informasi pertanian yang tersebar di Internet sangat bermanfaat untuk meningkatkan praktik pertanian. Dengan bekal ponsel dan koneksi Internet yang semakin murah, petani akan dapat mengakses informasi tersebut. Inilah contoh kapabilitas, menggunakan lensa yang diperkenalkan oleh Amartya Sen (1999).
Pertanyaannya, apakah seorang petani dapat secara nyata memanen manfaat dari keberadaan informasi tersebut. Sebagian petani mungkin dengan mudah melakukannya. Sebagian lainnya, bisa jadi mendapatkan kendala, termasuk misalnya, karena ketersediaan konten dalam bahasa yang dapat dipahami petani.
Pada kasus terakhir, petani tidak mempunyai kemerdekaan untuk mendapatkan keberfungsian. Itulah mengapa, Sen (1999) membingkai bukunya dengan judul pembangunan sebagai kemerdekaan. Pembangunan yang berhasil akan memberikan kemerdekaan kepada setiap orang untuk mampu mengubah kapabilitas menjadi keberfungsian.
Memastikan bahwa kapabilitas dapat berubah menjadi keberfungsian ini bukan perkara mudah. Namun, hanya dengan menjadi keberfungsian kapabilitas inilah, pembagunan menemukan buktinya. Jika ini yang terjadi, maka keberlangsungan pun semakin dapat diupayakan. Tanpanya, sulit membayangkan kehadiran TIK akan memberi dampak positif karena keberfungsian untuk semua orang secara inklusif.
Referensi
Sen, A. (1999). Development as Freedom. New York: Alfred A. Knopf.
Walsham, G. (2012). Are we making a better world with ICTs? Reflections on a future agenda for the IS field. Journal of Information Technology, 27(2), 87-93.
Sambutan pembuka pada seminar hasil penelitian dan pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam, 13 Oktober 2021.