Saya yakin tema yang diangkat oleh diskusi aktual ini “Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi” menggambarkan kegelisahan kolektif anak bangsa ini, ketika korupsi masih ada, atau bahkan semakin, merajalela di Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang setiap tahun dikeluarkan oleh Transparency International bisa menjadi salah satu indikator.
Sejak 2007, skor yang diperoleh Indonesia selalu menaik, meski sangat perlahan, sampai pada 2019. Semakin tinggi skor yang didapat, semakin bersih sebuah negara dari korupsi. Melihat skor akan memberi gambaran perkembangan runut waktu. Beda jika menggunakan peringkat, yang cocok untuk melihat Indonesia ketika dikomparasikan dengan negara lain. Peningkatan skor, misalnya, tidak selalu diikuti dengan peningkatan peringkat. Jika ini terjadi, berarti bahwa percepatan pemberantasan korupsi di negara lain lebih tinggi.
Kita kembali ke skor Indeks Persepsi Korupsi. Skor Indonesia tidak pernah turun, meski beberapa kali stagnan dibandingkan periode sebelumnya, yaitu pada 2010, 2013, dan 2017. Tetapi, tidak pernah turun.
Baru pada 2020, skor Indonesia turun, dari 40 ke 37. Jika skor turun, hampir dapat dipastikan peringkatnya pun akan terjun bebas. Pada 2019, Indonesia menduduki peringkat 85, dan bergeser menjadi 102, alias ada 17 negara lain merangsek naik, yang mengindikasikan prestasi lebih baik dalam pemberantasan korupsi. Inilah wajah kusam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Mencari penjelas
Bagaimana menjelaskan penurunan ini? Penurunan skor ini menampar upaya pemberantasan korupsi yang sudah diikhtiarkan sejak lama, terutama sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003. Kita semua tahu, pada saat pendiriannya, KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, merupakan lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Baru pada 2019, setelah terbitnya UU No. 19 Tahun 2019, hasil revisi UU yang lama (perubahan kedua UU No. 30 Tahun 2002), posisi KPK berubah menjadi bagian rumpun kekuasaan eksekutif, meski frasa sebagai lembaga independen masih ada dalam UU tersebut. Kita tahu, eksekutif merupakan salah satu pihak yang seharusnya juga diawasinya.
Banyak ikhtiar yang telah dilakukan beragam anak bangsa untuk membatalkan proses revisi UU KPK, namun nampaknya ada suara dengan gaung berbeda yang muncul dan juga argumentasi lain.
Di antara ikhtiar pembatalan tersebut adalah melalui pernyataan sikap berdasar kajian akademis (bukan politis), pelantangan pesan melalui berbagai kanal, termasuk demonstrasi di banyak pojok Indonesia, dan terakhir melalui judicial review di Mahkaman Konstitusi (MK).
Semua ikhtiar tersebut gagal. Semuanya mentok. Gaung yang sangat keras terdengar di lapangan, menjadi hanya terdengar sayup-sayup atau bahkan tidak terdengar di telinga para pengambil keputusan final. Di sana ada pihak eksekutif dan juga legistatif. Suara anak bangsa yang riuh, seakan-akan tertutup suara bisikan lirih yang dalam senyap yang disampaikan ke telinga penguasa.
UU KPK hasil revisi tersebut ternyata punya ikut kegaduhan lain. Salah satunya adalah pemecatan pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), karena implikasi dari status lembaga yang menjadi rumpun kekuasaan eksekutif. Awan hitam misterius menggelantung di belakang kasus ini.
Banyak pihak berteriak, termasuk para guru besar lintaskampus. Tidak ada yang berubah. Meski Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa proses pemecatan ini bermasalah, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di rumpun eksekutif pun tidak bertindak.
Wajah korupsi di Indonesia
Tentu, sebagai anak bangsa, kita berhak untuk terus mempertanyakan, mengapa ini bisa terjadi? Pertama, masih sangat sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja, karena media massa masih saja dihiasi dengan penangkapan para penguasa yang mengkhianati amanahnya dengan terlibat dalam tindak pidana korupsi. Banyak kasus yang terungkap, utamanya terkait dengan pengadaaan barang/jasa dan perizinan. KPK sendiri menyebut, sekitar 70% kasus korupsi terkait dengan pengadaan.
Pengadaan barang/jasa merupakan bagian besar dari alokasi anggaran negara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negara lain. Proporsinya dapat sampai 13-20% dari nilai produk domestik bruto, bukan hanya dari anggaran negara (Kühn and Sherman, 2014). Di banyak negara, kebocoran di sektor ini bisa sampai 20-25% (OECD, 2013). Bahkan di Indonesia, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKKP) menyebut bahwa tanpa penggunaan teknologi informasi yang andal yang mendukung tranparansi dan akuntabilitas, kebocoran anggaran pengadaan dapat mencapai 30%.
Saya yakin, kita sepakat bahwa kerugian korupsi di sektor pengadaan kebocoran tidak dapat diukur hanya dengan nominal uang publik yang hilang (Kühn and Sherman, 2014). Korupsi ini membawa dampak buruk yang akut, termasuk hilangnya kompetisi usaha yang sehat dan penurunan kualitas infrastruktur dan fasilitas publik.
Implikasinya bisa diperpanjang, termasuk dunia usaha yang lesu, pembengkakan biasa perawatan infastruktur dan fasilitas publik, dan potensi bahaya lain, termasuk yang terkait keselamatan publik. Ujungnya adalah harga yang mahal: penuruan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Karenanya, jangan salahkah publik yang menurun kepercayaannya kepada pemerintah, jika berita kasus korupsi masih menjadi bagian dari sarapan sehari-hari.
Kedua, banyak orang menyebut bahwa korupsi seperti puncak gunung es, yang bagian bawahnya yang justru lebih besar tidak terlihat. Kita tahu, yang menjadi ranah KPK, hanya korupsi besar. Korupsi dengan nominal “kecil” tidak masuk radar KPK. Tentu, kita tidak bisa menyepelekan, karena ini terkait ke akses layanan publik yang sama dan juga kejujuran bangsa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak ke pelanggenggan “budaya korupsi” di semua tingkat.
Memang sulit mengendus dan menguantifikasikannya, tetapi cerita dari lapangan seringkali membuat kita geleng-geleng kepala tanpa bisa berbuat banyak. Transparency International mendefinisikan korupsi dalam bingkai yang sangat luas, yaitu penyalahgunaan kuasa yang diamanahkan untuk keuntungan pribadi. Tentu, kata pribadi di sini perlu kita baca lebih luas, termasuk jaringan, kelompok, atau partainya.
Ketiga, karenanya pendidikan sejak dini terkait dengan antikorupsi perlu diikhtiarkan bersama. Meski di media massa kita baca, ada yang menyatakan bahwa sebagian besar koruptor adalah lulusan kampus. Anak muda sekarang mungkin akan berkomentar: ya iya lah, masak ya iya dong!
Ini adalah kesimpulan yang diambil dengan kecohan dalam pengambilan keputusan. Dalam literatur disebut dengan biased sample fallacy, kecohan inferensi karena sampel yang bias.
Wajar saja, karena pemegang kuasa negara di beragam level memang alumni kampus. Ini persis dengan mengatakan bahwa sebagian besar penghuni penjara di negara A atau B beragama tertentu yang mayoritas, sehingga akhirnya menarik kesimpulan yang salah.
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bukan pengelakan dari fakta, tetapi jangan sampai upaya pendidikan antikorupsi hanya ketika kuliah saja. Sejak dini pendidikan antikorupsi ini harus diberikan, bahkan di dalam keseharian di rumah. Tidak selalu harus dibingkai dengan kata korupsi. Mendidik kejujuran, keadilan, tidak mengambil yang bukan haknya, dan menghargai hak orang lain, merupakan bingkai abadi yang relevan untuk pendidikan antikorupsi semua konteks.
Namun, pendidikan antikorupsi itu seakan menjadi kehilangan makna, ketika tidak ada contoh konsisten yang diberikan oleh penyelenggara negara, termasuk dalam ikhtiar pemberantasan korupsi yang lebih serius. Jika tidak, para pendidik antikorupsi bisa mati gaya, ketika ada anak didik atau mahasiswa berkomentar: “Loh, kok ternyata banyak pemegang kuasa semena-mena menggunakan amanah yang diberikan kepadanya?”
Pertanyaan penutup yang lebih berorientasi ke depan, saya sampaikan di sini: jika korupsi masih merajalela di Indonesia, bagimana nasib bangsa dan negara ini ke depan?
Saya berharap jawaban pertanyaan ini akan menghiasi ruang diskusi aktual kali ini. Nampaknya kita sepakat, selain ketimpangan, korupsi masih menjadi musuh besar bangsa ini.
Semoga ikhtiar kecil ini berandil dalam melantangkan pesan antikorupsi di Indonesia. Semoga Allah memudahkan semua ikhtiar yang dilandasi dengan niat baik.
Referensi
Kühn, S. & Sherman, L. B. (2014). Curbing Corruption in Public Procurement A Practical Guide. Transparency International.
OECD (2013). Implementing the OECD Principles for Integrity in Public Procurement: Progress Since 2008. Paris: OECD.
Sambutan pembuka diskusi aktual “Membongkar Grand Design Pelemahan Pemberantasan Korupsi” dan peluncuran Posko UII Lawan Korupsi, Universitas Islam Indonesia, 23 Oktober 2021