Dalam kesempatan ini izinkan saya berbagi cerita. Bukan kisah biasa, dan insyaallah menginspirasi kita semua.

Ini kisah tentang teladan Kiai Sholeh Darat yang nama lengkapnya Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani. Sebutan Darat diambil dari nama kawasan Beliau tinggal pada saat itu: kawasan Darat, Semarang Utara.

Kiai Sholeh dilahirkan pada sekitar 1820 M. Ada dua pendapat terkait tempat lahir: di Mayong atau di Bangsri. Keduanya ada di pesisir utara Pulau Jawa: Jepara.

Ayahnya adalah Kiai Umar. Keluarga ini alim yang mencintai tanah air. Kiai Umar menurut riwayat adalah orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, yang kita tahu semuanya, dengan gigih melawan penjajah Belanda, pada saat itu.

Dalam waktu singkat ini, saya ingin mengajak hadirin untuk melakukan refleksi atas keteladanan Kiai Sholeh Darat, yang insyaallah relevan untuk merayakan kegembiraan kita hari ini.

Pertama, penjelajah ilmu. Kiai Umar, ayah Kiai Sholeh Darat, termasuk penggemar rihlah ilmiah, melakukan perjalanan dari satu guru ke guru lainnya. Kiai Sholeh Darat selalu diajak. Karenanya berkenalan dengan para kiai penting pada saat itu, yang merupakan kawan Kiai Umar, seperti Kiai Hasan Besari[1], Kiai Darda, Kiai Murtadha[2], dan Kiai Jamasri.

Kiai Sholeh Darat juga kemudian berguru ke Kiai M. Syahid di Kajen. Kiai Syahid adalah cucu Kiai Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II. Guru selanjutnya adalah Kiai Raden Haji Muhammad Salih bin Asnawi, Kudus, Kiai Ishak Damaran Semarang, dan masih banyak guru yang lain.

Kiai Sholeh Darat juga berguru ke Mekkah, ke beberapa syekh pada saat itu. Di antaranya adalah Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah dan Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.

Kiai Sholeh Darat mendalami beragam ilmu ketika belajar ke guru-guru yang berbeda tersebut: mulai dari tafsir Al-Qur’an, fikih, nahwu dan sharaf, falak, tasawuf, dan lain-lain. Dalam konteks kekinian, praktik ini bisa kita sebut sebagai pendekatan multidisiplin.

Kedalaman dan keluasan pengalaman dan ilmu Kiai Sholeh Darat inilah yang mempengaruhi sikap dan apa yang dikerjakannya kemudian.

Kedua, penebar ilmu. Kiai Sholah Darat akhirnya mengajar beberapa tahun di Mekkah, bersama kawan seperjuangnya, termasuk Syekh Ahmad Khatib, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, Kiai Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Mereka ada para ulama kelas dunia.

Meskipun nyaman mengajar di Makkah, Kiai Sholeh Darat memilih pulang ke Indonesia (saat itu belum ada negara yang bernama Indonesia) bersama Ki Ageng Girikusumo, pendiri Pondok Pesantren Ki Ageng Girikusumo di Mranggen, Demak, dan Kiai Kholil Bangkalan.

Kiai Sholeh Darat kemudian mengajar di Pesantren Salatiang, Purworejo, sebelum kemudian mendirikan pesantren di Darat, Semarang Utara.

Kiai Sholeh Darat adalah penerjemah Al-Qur’an pertama ke dalam bahasa Jawa. Saat itu, untuk mengakses Al-Qur’an tak mudah jika tidak mengerti bahasa Arab tanpa guru di depannya. Penerjemahan ini, menurut riwayat, terkait dengan usul Raden Ajeng Kartini yang saat itu merasa kesulitan memahami Al-Qur’an, bahkan untuk surat Al-Fatihah sekalipun.

Akhirnya Kiai Sholeh Darat menulis Tafsir Faidlu al-Rahman, sampai juz ke-enam, akhir surat An-Nisa. Tafsir inilah yang juga menjadi hadiahnya kepada Raden Ajeng Kartini dalam tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, Bupati Rembang.

Untuk meningkatkan akses publik awam ke literatur dan ajaran Islam, Kiai Sholeh Darat akhir banyak menerjemahkan dan menulis kita dalam bahasa Jawa dengan tulisan pegon. Termasuk di antaranya adalah Sabilu al-‘Abid terjemahan Kitab Jauharatu al-Tauhid karya Syekh Ibrahim Al-Laqani dan terjemahan Matan al-Hikam, kitab tasawuf karya Syekh Ahmad bin ‘Atha illah Al-Iskandary.

Kiai Sholeh Darat aktif menulis sampai akhir hayat.

Teladan Kiai Sholeh Darat adalah konsistensinya dalam mengajar dan membuka akses seluas-luasnya terhadap bahan belajar untuk publik. Penerjemahan ke dalam bahasa Jawa dengan tulisan pegon itu pun bentuk perlawanan Kiai Sholeh Darat kepada penjajah Belanda yang saat itu melarang penerjemahan Al-Qur’an.

Ketiga, maha guru para tokoh. Jika pada saat itu sudah ada perguruan tinggi dan sistem pendidikan sekarang, Kiai Sholeh Darat adalah seorang profesor. Banyak tokoh besar agama Islam yang merupakan murid langsung Kiai Sholeh Darat. Yang paling kita kenal, adalah Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan, dua murid kesayangan Beliau.

Sebelum berguru kepada Kiai Sholeh Darat, Kiai Hasyim dan Kiai Darwis (nama kecil Kiai Ahmad Dahlan) adalah murid Kiai Kholil Bangkalan. Mereka berdua diminta oleh Kiai Kholil ke Semarang untuk berguru kepada Kiai Sholeh Darat, sahabatnya.

Mereka berdua berguru selama dua tahun, sebelum akhirnya dikirim ke Makkah untuk berguru kepada sahabat Kiai Sholeh Darat, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam Masjid Al-Haram pada saat itu, yang berasal dari Sumatera. Sepulang dari Makkah, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926.

Salah satu murid lain Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang mempunyai hubungan dengan Universitas Islam Indonesia adalah Kiai Abdul Halim Majalengka, pendiri Perikatan Umat Islam (PUI) pada 1917. Tokoh-tokoh dari PUI bersama NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), cendekiawan nasionalis, adalah para pendiri UII pada 1945.

Kedalaman dan keluasan ilmu, serta keikhlasan dan kesepenuhhatian Kiai Sholeh Darat dalam mengajar, nampaknya yang menjadikan murid-muridnya istikamah menjadi penerusnya.

Demikian, kisah ringkas dari seorang maha guru para ulama besar Nusantara. Saya yakin, banyak teladan yang bisa kita ambil. Silakan hadirin merefleksikannya masing-masing, baik kita sebagai manusia, muslim, dosen, maupun juga profesor.

Hari ini, masih ada 66 dosen UII yang mempunyai pendidikan doktor dan jabatan fungsional lektor kepala. Saya mengajak semua hadirin untuk berdoa, semoga 66 sahabat kita ini dimudahkan jalannya untuk menjadi profesor, dengan niat lurus untuk membuka banyak pintu manfaat lebih lebar. Beberapa usulan sudah sampai Jakarta dan beberapa lainnya sudah disetujui senat.

Selamat kepada Prof Budi Agus Riswandi, profesor ke-24 yang lahir dari rahim UII. Ini tidak hanya kebahagian Prof Budi, tetapi juga keluarga besar Universitas Islam Indonesia. Juga kepada keluarga Prof Budi: ada istri yang selalu mendorong, Ibu Putri Tunggal Dewi, S.Pd.Si., M.Pd., dan juga anak-anak, sebagai permata hati dan sumber semangat: Mas Atta’allah Almutaaly Riswandi, Mbak Kyanna Angela Hatsu, dan Mbak Kenina Evelyna Hatsu.

Semoga jabatan profesor ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas.

Semoga Allah meridai UII dan kita semua.

[1] Ajudan Pangeran Diponegoro. Salah satu cucu Kiai Hasan Besari, Kiai Moenawir juga akhirnya menjadi salah satu murid Kiai Sholeh Darat di kemudian hari. Kiai Moenawir kemudian mendirikan Pondok Pesantren Krapyak.

[2] Teman seperjuangan Kiai Umar dalam melawan Belanda. Putri Kiai Murtadha ini akhirnya menjadi istri Kiai Sholeh Darat sepulang dari Makkah.

Sambutan pada acara penyerahan Surat Keputusan Profesor atas nama Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. pada 31 Agustus 2021.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Dr. Budi Agus Riswandi, S.H. M.Hum. secara resmi menyandang gelar Profesor dalam bidang Ilmu Hukum. Pembacaan Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dibacakan oleh Taufiqurrahman, S.E. selaku Kepala Bagian Tata Usaha Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V DIY pada Selasa (31/08) di Gedung Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII, dan ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Universitas Islam Indonesia.

Read more

Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (DPK UII) mengadakan webinar “Became Young Entrepreneur to Support Local Brand” dalam rangkaian Student Entrepreneur Week (SEW) pada Sabtu (28/08). Acara ini menghadirkan Najla Bisyir (Founder Bittersweet by Najla) dan Diajeng Lestari (Founder & CEO Hijup.com).

“Perlu diketahui tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu,” kalimat pembuka Najla Bisyir yang merupakan pengusaha bidang Food and Beverage (FnB) dessert box. Produknya terbilang sukses di Indonesia.

Read more

Nikmat yang selalu diterima setiap saat seringkali luput dari pantauan. Semuanya dianggap sebagai sebuah kewajaran. Rasa bersyukur pun terlupa atau menjadi lebih jarang. Ini mirip dengan pegawai yang ingat untuk bersyukur ketika menerima gaji sebulan sekali. Berbeda dengan, misalnya, pengemudi ojek daring yang selalu ingat bersyukur ketika ada pesanan masuk. Kata alhamdulillah pun menjadi lebih sering diucapkan.

Sebagai bangsa, bisa jadi kita juga serupa. Rasa syukur atas kemerdekaan dari penjajah teringat ketika 17 Agustus tiba, setahun sekali. Kenyamanan atas semua kebaikan yang hadir karena kemerdekaan telah membuat sebagian dari kita terlena. Tanpa kemerdekaan, sulit membayangkan, sebuah bangsa bisa melaksanakan pembangunan dengan baik.

 

Pembangunan sebagai kemerdekaan

Pembangunan pada hakekatnya adalah menjamin kemerdekaan (kekebasan). Pembangunan mewujud dalam hal, termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang paripurna, pekerjaan yang layak, keamananan yang terjamin, dan juga kebebasan menjalankan ajaran agama dengan tenang.

Warga negara menjadi merdeka untuk memilih banyak hal. Tentu, dengan rasa tanggung jawab dan kekangan hak publik atau orang lain. Inilah teori pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom) yang dicetuskan oleh Amartya Sen, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomika pada 1998.

Sebagai ilustrasi, kemerdekaan seorang warga negara dapat memilih atau tidak memilih akses pendidikan yang berkualitas. Termasuk di dalamnya adalah kemerdekaan untuk tidak bersekolah. Tetapi, ketika tidak bersekolah merupakan satu-satunya pilihan seorang warga negara, maka keberhasilan pembangunan perlu dipertanyakan. Begitu juga di aspek layanan kesehatan dan yang lainnya.

Pembangunan yang berhasil akan memungkinkan warga negara mengakses komoditas dalam beragam bentuk. Penghasilan dari pekerjaan yang layak adalah contohnya. Penghasilan ini akan menjadikan warga negara mempunyai kapabilitas (capabilities) untuk melakukan banyak hal, termasuk mengakses layanan pendidikan yang berkualitas. Kapabilitas tersebut akhirnya diterjemahkan ke dalam keberfungsian (functionings) ketika pilihan tersebut dijalankan.

Tidak semua kapabilitas dapat menjadi keberfungsian. Ada faktor konversi yang terlibat di sana. Termasuk di dalam adalah faktor personal, sosial, dan bahkan lingkungan. Seorang warga yang mampu secara ekonomi tetapi memilih tidak menguliahkan anaknya, adalah contoh pengaruh faktor konversi. Atau amsal lain, anak keluarga mapan yang memilih melakukan ‘bunuh diri sosial’ dan menjadi anak jalanan. Ada faktor konversi yang berperan di sana.

Tugas negaralah untuk menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan kemerdekaannya, dalam mengakses komoditas, mengembangkan kapabilitas, dan mengubahnya menjadi keberfungsian. Ketimpangan yang masih ditemukan di Indonesia merupakan perkerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Warga negara dan kelompok masyarakat sipil, termasuk perguruan tinggi, dapat ikut terlibat.

 

Persatuan sebagai syarat

Persatuan sebuah bangsa bisa menjadi salah satu faktor konversi. Tanpa persatuan sulit mengimaji keberhasilan pembangunan. Tapi, ikhtiar menjaga persatuan bukan tanpa tantangan.

Indonesia dibangun di atas keragaman. Keragaman adalah fakta sosial tak terbantah. Sejak berdirinya, Republik ini tersusun dari anak bangsa dengan berbagai latar belakang: suku, bahasa, dan agama, untuk menyebut beberapa. Keragaman ini oleh para pendiri bangsa telah dirangkai menjadi mosaik yang indah, yang diikat dengan persatuan. Inilah yang menyusun tenun kebangsaan yang digagas oleh para negarawan paripurna yang sudah selesai dengan dirinya.

Kegandrungan untuk terlibat dalam menjaga persatuan dan menjauhi tindakan anti-perdamaian sudah seharusnya melekat di nurani setiap anak bangsa. Perkembangan mutakhir yang ditandai dengan maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong (hoaks) tentu mengusik kita sebagai sebuah bangsa. Tenun kebangsaan terancam. Tidak jarang, fenomena ini telah melahirkan sekelompok warga negara yang tuna empati dan menikmati kehinaan kelompok lain.

Kalimat berikut nampaknya menggambarkan situasi saat ini: “Kritik ke kiri, ejek ke kanan, kecam ke depan, fitnah ke belakang, sanggah ke atas, cemooh ke bawah”. Ungkapan ini ditulis oleh Bung Karno pada tahun 1957 yang terekam dalam salah satu tulisan yang termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Ungkapan tersebut menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu, ketika demokrasi dipahami sebagai tujuan, dan bukan alat. Sejarah nampaknya berulang. Pendulum kembali kepada titik yang sama.

Persatuan membutuhkan sikap saling memahami, menghormati, dan menguatkan. Di sana ada nilai-nilai abadi, seperti kejujuran dan keadilan, yang membingkainya. Perguruan tinggi dapat ikut berperan melantangkan pesan ini.

Ini juga sebagai ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan yang merupakan nikmat besar Allah kepada bangsa Indonesia. Hanya dengan persatuan, kemerdekaan dapat menjadi milik bersama semua anak bangsa.

Tulisan ini dimuat dalam rubrik refleksi UIINews edisi Agustus 2021.

Setiap orang tentunya memiliki harapan yang baik mengenai keuangan yang mereka miliki. Perencanaan keuangan yang baik sangatlah penting agar mencapai kemandirian finansial. Kemandirian finansial diartikan sebagai suatu kondisi ketika dengan kondisi keuangan yang kita miliki saat ini kita dapat membeli segala sesuatu dengan uang kita sendiri. 

Seperti disampaikan Raissasa, seorang investor sekaligus founder Investasi Sejak Dini dalam acara daring “Introduction to Financial Independence” yang diselenggarakan Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FBE UII pada Minggu (29/8). 

Read more

Pusat Bahasa Internasional dan Kajian Budaya, Cilacs UII menggandeng Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah untuk membuka kelas perdana Gelombang 3 TOEFL preparation bagi mahasiswa. Acara itu berlangsung pada Kamis (26/8). Kegiatan yang merupakan hasil kerjasama ini direncanakan berlangsung hingga gelombang 5 pada akhir tahun 2021 ini. 

Read more

Praktik dan relasi sosial yang terbentuk dalam perdagangan intan di kota Martapura dikupas secara menarik oleh Program Doktor Hukum Islam UII. Acara bertajuk bedah buku “Budaya Agama Dalam Transaksi Jual Beli Intan Melalui Pengempit di Martapura Kalimantan Selatan” ini diadakan pada Kamis (26/8) secara daring. Sang penulis buku, Dr. Amelia Rahmaniah, M.H. turut hadir dalam acara tersebut.

Ia melihat fenomena jual beli intan di Martapura mempunyai keunikan tersendiri dan dapat dijadikan sebagai budaya dalam daerah setempat. Kebiasaan dan rutinitas jika dimaknai secara ilmiah tentu akan memberikan manfaat. Pelaku ekonomi yang dikaji dalam bukunya adalah Suku Banjar yang mendiami daerah aliran sungai dari Banjarmasin sampai Amuntai. 

Read more

Pasca jatuhnya ibukota Kabul di Afghanistan, kelompok Taliban berjanji akan membentuk pemerintahan Islami yang inklusif, melindungi hak perempuan dan kebebasan pers, serta menjadi lebih moderat. Respon masyarakat dunia dan ahli pun menjadi beragam, mulai dari skeptis hingga tak sedikit yang optimis. Berangkat dari hal ini, Institute for Global and Strategic Studies (IGSS), Program Studi Hubungan Internasional (PSHI), Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan diskusi publik “Taliban Revival: What’s Next for Afghanistan” pada Selasa (24/08) secara daring.

Hadza Min Fadhli Robby, S.IP., M.Sc., yang juga dosen prodi Hubungan Internasional di UII, mengajak untuk melihat dan memahami perspektif personal rakyat Afghanistan terlebih dahulu. Berdasarkan perbincangan dengan rekan-rekan Afghanistannya, Hadza mengungkapkan bahwa perasaan masyarakat Afghanistan bercampur aduk. Ketidakpastian rezim ini memiliki efek yang sangat buruk tidak hanya pada sektor pendidikan, tetapi terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan budaya di Afghanistan, lanjutnya. 

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan organisasi RIVGURU menyelenggarakan webinar “Accelerating Innovation and Entrepreneurship” pada Selasa (24/8). Acara ini menghadirkan tiga pembicara, Nitin Gupta, MBA., Dr. Ir. Arif Wismadi, M.Sc., dan Hari Setiaji, S.Kom., M.Eng.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D mengatakan bahwa inovasi merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya ketika memulai usaha, tetapi juga untuk menjaga eksistensi dan mengembangkannya. Ketika organisasi gagal atau terlambat merespon perubahan dengan inovasi maka organisasi tersebut akan menurun, gagal, atau bahkan mati. 

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) berhasil menjuarai lomba video edukasi dalam acara LabMa Social Campaign Fair 2021 yang diadakan oleh UII pada 24 Juni-14 Agustus 2021. Mereka adalah Anastasya Syam Ramadhani, Zalfa Nihamuyassari Kanilla, dan Muhammad Hakim Abyantoro mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kesolidaritasan di masa pandemi Covid-19, khususnya dalam hal ekonomi.

Read more