Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan diskusi nasional bertemakan “Revitalisasi Studi Tokoh Muslim Dalam Pengembangan Pemikiran Islam”. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu (24/7) via Zoom tersebut mengundang Dr. Tamyiz Mukharrom, MA, Dekan FIAI UII, Drs. Suwarsono Muhammad, M.A Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, dan Dr, Aksin Wijaya, M. Ag. Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo.

Read more

Pendidikan sebagai ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanah konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Isu tentang pendidikan selalu menarik, karena peran penting pendidikan dalam memajukan peradaban manusia. Kemajuan peradaban manusia selalu disertai dengan kualitas pendidikan yang baik, pada masanya. Generasi terdidik adalah aktor peradaban. Penyataan ini valid tidak hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa kini, dan masa depan.

Refleksi saya atas topik yang diangkat dalam diskusi kali ini “pendidikan dan implementasi sila pertama” memunculkan paling tidak tiga isu penting yang saling terkait. Dalam tulisan singkat ini, kacamata yang dipakai adalah posisi saya sebagai seorang muslim.

Isu pertama terkait dengan misi pendidikan. Pemahaman yang baik atas misi pendidikan akan sangat bermanfaat menjaga semua proses berada dalam koridor yang seharusnya. Isu kedua adalah tentang pemaknaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam bingkai besar Pancasila. Isu ketiga berhubungan dengan kontekstualisasi sila pertama tersebut dalam pendidikan.

Kita diskusikan secara ringkas setiap isu ini di bagian berikut.

 

Misi pendidikan

Misi pendidikan adalah isu pertama. Untuk mendiskusikan ini, saya meminjam konsep dari khazanah pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam menyentuh semua aspek pengembangan manusia, mulai dari membantu pengembangan individu, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan sosial dan moral, dan mentransmisikan pengetahuan (Halstead, 2004).

Dalam tradisi Islam, pendidikan mempunyai tiga prinsip yang saling melengkapi: tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Beragam konseptualisasi ditemukan dalam literatur. Halstead (2004) menawarkan beberapa kata kunci untuk memahami ketiga prinsip ini. Tarbiyah terkait dengan upaya untuk menumbuhkan (to grow) atau meningkatkan (to increase) pribadi pembelajar. Istilah tarbiyah sering disamakan dengan pematangan pribadi. Semua potensi baik kemanusiaan dikembangkan. Kata ini juga yang sering diartikan dengan “pendidikan”.

Ta’lim dikaitkan dengan ikhtiar yang dilakukan supaya pembelajar mengetahui (to know), terinformasi (to be informed), mempersepsikan (to perceive), dan mengenali atau membedakaan (to discern) sesuatu atau bahan ajar. Di sini terjadi transfer ilmu atau pengetahuan.

Ta’dib mencakup aspek lain, yaitu bahwa pembelajar akan dimurnikan (to be refined), didisiplinkan (to be disciplined), dan dibudayakan (to be cultured). Untuk konteks ini, Al-Attas (1980) menegaskan bahwa pendidikan adalah proses menyuntikkan adab (nilai) dan membentuk karakter pembelajar, secara perlahan namun pasti.

Ketiga prinsip tersebut memberikan pesan bahwa pendidikan harus menyentuh tiga aspek: nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Nilai menjadi basis yang cenderung bersifat abadi, tak lekang oleh zaman. Nilai yang diinternalisasi akan menjadi landasan kokoh seorang pribadi. Pengetahuan dan keterampilan bersifat lentur dan sangat mungkin berubah sejalan dengan waktu. Masalah manusia berkembang. Ilmu pengetahuan dan keterampilan menyesuaikan.

Dalam konteks ini, pesan sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib yang disampaikan lebih dari 14 abad lalu, masuk valid untuk disimak: La turabbuu abnaa akum kamaa rabaakum abaaukum, fainnahum khuliquu li zamaani ghairi zamaanikum. Jangan didik anak-anakmu sebagaimana orang tuamu mendidikmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu.

 

Memaknai Pancasila dan sila pertama

Ini adalah isu kedua. Membaca sila pertama tidak bisa terlepas dari Pancasila atau keempat sila lainnya. Pancasila yang telah mempersatukan bangsa Indonesia adalah mitsaq ghalidh atau perjanjian agung atau komitmen kuat yang mengikat semua bangsa Indonesia.

Sebagai ilustrasi penguat, istilah mitsaq ghalidh muncul dalam Al-Qur’an sebanyak tiga kali, untuk mengambarkan tiga keadaan yang berbeda. Yang pertama adalah Allah membuat perjanjian dengan Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (QS Al-Ahzab 33:7). Kejadian kedua ketika Allah mengambil janji dari Bani Israil dengan mengangkat Bukit Tsur di atas kepada mereka (QS An-Nisa 4:154). Istilah tersebut juga digunakan untuk menggambarkan hubungan pernikahan (QS An-Nisa 4:21).

Ikatan yang kuat ini menjadi sangat penting ketika melihat bangsa Indonesia yang sangat beragam. Keragaman adalah fakta sosial di Indonesia yang tak terbantah. Kita tidak mungkin lari darinya. Para pendiri bangsa telah memberikan rumus besarnya ‘bhinneka tunggal ika’. Kita memang berbeda, tetapi kita satu bangsa. Menutup mata dari perbedaan jelas mengabaikan akal sehat. Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani.

Terkait dengan sila pertama, sejarah mencatat, dalam formulasinya yang sekarang sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah melalui proses yang sangat panjang dan tidak mudah. Dalam bahasa seorang muslim, sila ini berarti tauhid, mengesakan Tuhan dan tidak menyetukanNya dengan yang lain. Di dalam tauhid terdapat makna penyerahan diri secara totalitas, bahwa misi menjadi manusia adalah menghamba kepada Allah.

Rumusan sila pertama ini juga menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus bukan negara sekuler. Indonesia tidak didasarkan pada satu agama, dan juga tidak memisahkan agama sama sekali dalam kehidupan bernegara. Indonesia sering disebut dengan negara-bangsa yang religius (religious nation-state).

HAMKA (1951) menyebut sila pertama ini sebagai urat tunggangnya Pancasila, dan menjadi pijakan dalam mengamalkan keempat sila lainnya. Sila pertama ini juga dapat dianggap sebagai landasan moral bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila telah menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Bingkai kesatuan dalam keragaman kita perlukan. Sidang Tanwir Muhammadiyah pada Juni 2012 di Bandung, misalnya, menghasilkan pokok pikiran untuk pencerahan dan solusi permasalahan bangsa, yang salah satu poinnya menyebut bahwa NKRI yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul ‘ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), dan negara yang aman dan damai (darussalam).

 

Kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan

Isu diskusi yang ketiga terkait kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan. Paling tidak terdapat dua implikasi (aspek) penting di sini: (a) pengamalan agama masing-masing dengan baik dan (b) penghargaan terhadap agama orang lain.

Implikasi pertama adalah pesan bahwa setiap warga negara Indonesia seharusnya manusia religius atau manusia yang mengimani adanya Tuhan. Agama tidak hanya dimaknai sebagai yang tertulis atau yang diaku, tetapi lebih dari ini. Ajaran agama harus dipelajari dengan baik oleh setiap pemeluknya. Nilai-nilainya harus diinternalisasi dan diamalkan oleh pemeluknya dengan sekuat tenaga. Nilai-nilai abadi agama, seperti kejujuran, keadilan, kedamaian, harus dikedepankan dan dilantangkan.

Ini adalah gambaran idealitas. Realitas di lapangan sangat mungkin berbeda dan ini akan memantik diskusi lanjutan. Banyak faktor terkait yang setiapnya memerlukan penyelisikan yang mendalam.

Dalam konteks pengamalan Pancasila, muncul pertanyaan lain: apakah nilai-nilai agama ini sudah mewarnai pengamalan keempat sila lainnya?

Kedua adalah pesan bahwa di Indonesia, beragam agama diakui negara. Pemahaman terhadap keragaman ini akan memunculkan sikap saling menghargai dan menjadikan pemeluk agama yang berbeda dalam hidup berdampingan dalam harmoni.

Pemahaman ini sangat penting dilantangkan karena dalam masyarakat yang religius, isu agama bersifat sangat sensitif. Kita menjadi saksi, beberapa konflik non-agama di Indonesia yang menjadi besar karena dibingkai dengan isu agama. Eskalasi konflik menjadi semakin cepat, ketika ada informasi bohong atau hoaks yang ikut disebar secara masif.

Ajaran Islam sangat jelas melarang untuk merendahkan agama lain (QS Al-An’am 6:108). Di sisi lain, penghargaan itu tidak lantas diwujudkan dalam “sinkretisme agama”, tetapi dalam bentuk toleransi yang menghargai setiap pemeluk menjalankan agamanya masing-masing (QS Al-Kafirun 109:6). Hak menjalankan ajaran agama dalam damai ini harus dijamin oleh negara.

Pendidikan seharusnya memasukkan dua aspek di atas ke dalam kurikulumnya. Yang menjadi catatan penting di sini, adalah bahwa pemahaman keragaman agama harus diakui secara jujur, baik di ruang publik maupun privat. Tanpanya, toleransi yang disuarakan akan menjadi basa-basi pemanis tuna ketulusan.

 

Penutup

Pendidikan mempunyai misi abadi untuk menjadikan manusia mengembangkan semua potensi kemanusiaannya. Selain harus kokoh yang diikhtiarkan dengan pengajaran nilai, pendidikan juga harus lentur untuk merespons perkembangan mutakhir.

Nilai-nilai tersebut, salah satunya, diturunkan dari ajaran agama yang menjadi muatan sila pertama Pancasila. Sila ini yang juga menjadi basis keempat sila lainnya memberikan dua pesan penting: bahwa manusia Indonesia harus menjalankan agamanya masing-masing dan menghormati agama orang lain dengan tulus. Poin terakhir ini menjadi sangat penting, ketika pengalaman kolektif bangsa mencatat, bahwa isu agama dapat menjadi pemicu konflik yang mudah dibakar dan membesar.

 

Referensi

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative Education, 40(4), 517-529.

HAMKA (1951). Urat Tunggang Pantjasila. Jakarta: Pustaka Keluarga.

Makalah pemantik diskusi “Pendidikan dan Implementasi Sila Pertama” yang diselenggarakan secara daring oleh Buletin Neng Ning Nung Nang dalam rangka menuju Satu Abad Tamansiswa pada 27 Juli 2021.

 

Sekretaris Eksekutif Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Raden Bagus Fajriya Hakim, S.Si., M.Si. membuka kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 pada hari kedua pelaksanaan, Kamis (22/7). Dalam sambutannya disampaikan, pemaparan materi oleh para narasumber dalam kegiatan ini memberikan penekanan kajian yang saling melengkapi satu sama lain.

Menurutnya hal ini menjadikan prinsip sustainability dapat menjadi satu rangkaian keilmuan dan motivasi. Selanjutnya, dapat diangkat menjadi visi misi bersama dalam mewujudkan keinginan kuat untuk berkolaborasi agar keseimbangan alam Indonesia tetap terjaga dengan baik, diikuti lingkungan dan berbagai sumber daya alam yang sehat. “Harapannya dapat memberikan manfaat kebaikan bagi semuanya,” tuturnya.

Wakil Ketua UI GreenMetric World University Rankings Junaidi, M.A. memaparkan konteks yang perlu disadari bersama. Pertama, yaitu konteks pandemi. Pandemi ini mempengaruhi cara bersikap dan cara mengelola kampus masing-masing. Terlepas dari tantangan yang dihadapi pasti masih ada harapan disana.

Menurutnya dalam konteks sustainability office, kita semua perlu meninjau atau mendefinisikan kembali operasional kampus. Misalnya, perlu memperhatikan sirkulasi udara di gedung-gedung kampus dan hal-hal lain untuk menyikapi pandemi ini.

Konteks kedua adalah SDGs, yaitu mewujudkan konsep SDGs dalam kampus yang berkelanjutan dan lestari. Ketiga, dalam konteks green metric. Junaidi mengajak untuk berkolaborasi memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di green metric network, mengambil inspirasi dan mengadaptasi pengalaman terbaik dari berbagai perguruan tinggi. Selantjutnya, yaitu tentang perguruan tinggi di Indonesia yang belum menerapkan sustainability office pada visi misi kampusnya.

Tiga hal yang terkait dengan keberlangsungan sustainability office, yaitu kebijakan dalam kepemimpinan, kelembagaan, dan jejaring green metric. Green metric didesain dengan dua pemikiran, yaitu sustainability dan internasionalisasi. “Harapannya kedepannya kita bisa menerapkan tentang sustainability office pada kampus masing-masing seperti yang diharapkan oleh green metric,” pesannya.

Pemaparan Hasil Workshop Sustainability Leader

Hari kedua kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 diisi dengan pemaparan hasil Workshop Sustainability Leader yang sudah didiskusikan di hari pertama. Workshop terbagi menjadi tiga kelompok dengan topik berbeda. Pemaparan hasil workshop dipandu oleh Kepala Bidang Akademik dan Organisasi, Badan Perencanaan dan Pengembangan/Rumah Gagasan/Sustainability Office UII, Shubhi Mahmashony Harimurti, S.S., M.A. Pemaparan disampaikan oleh ketua kelompok masing-masing.

Kelompok pertama diketuai oleh Andi Joko dari Universitas Telkom, memaparkan hasil diskusi dengan membahas topik “Kebijakan dan Kepemimpinan yang Berkomitmen pada Komunitas dan Lingkungan”. Kelompok ini dimoderatori oleh Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D, Ketua Jurusan/Program Studi Teknik Lingkungan Program Sarjana UII.

Andi Joko menyampaikan dinamika yang dialami oleh masing-masing universitas di kelompoknya, yaitu kepemimpinan yang belum memiliki visi Kampus Lestari, baru menyadari betapa pentingnya pengelolaan Kampus Lestari, dan baru memulai program Kampus Lestari. Kelompoknya mengelompokkan kepemimpinan keberlanjutan menjadi tiga, yaitu visi, kebijakan, dan komitmen.

“Kami mencoba mengelompokkan hasil diskusi menjadi tiga kelompok besar. Sejauh mana visi misi kampus yang kemudian dikelola dan dikawal dalam pelaksanaannya pada masing-masing kampus. Sejauh mana kebijakan kampus mampu dan dipastikan mengarah kepada terwujudnya sustainability university. Sejauh mana komitmen dari kepemimpinan di kampus mampu menjamin bahwa semua kegiatan yang diprogramkan didukung dengan komitmen kuat dan dipastikan akan berkelanjutan,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan beberapa program nyata dari setiap perguruan tinggi dari kelompok satu. “Mudah-mudahan hasil diskusi kelompok satu dapat memberikan manfaat dan menjadi pertimbangan rekan-rekan agar ke depan bisa lebih baik lagi dalam pengelolaan kampus berwawasan lingkungan,” tutupnya.

Kelompok kedua diketuai oleh Prof. Amin Retnoningsih dari Universitas Negeri Semarang yang memaparkan hasil diskusi dengan membahas topik “Kelembagaan Sustainability Office, Pengembangan Jejaring, dan Inovasi Keberlanjutan”. Kelompok ini dimoderatori oleh Dr. Raden Bagus Fajriya Hakim, S.Si., M.Si. Kelompok dua mendiskusikan tentang pengalaman dari perguruan tinggi yang sudah memiliki sustainability office, tantangan yang dihadapi sustainability office pada setiap perguruan tinggi, kelembagaan yang seperti apa (adhoc atau fulltime staff), dan hubungan antar organ di perguruan tinggi dengan sustainability office.

Prof. Amin memaparkan tentang kondisi masing-masing perguruan tinggi yang ada di kelompoknya. “Pak Imam dari UIN Pekalongan menyampaikan usul bahwa sustainability office ini perlu diusulkan ke Kemdikbud sebagai lembaga resmi yang harus dimiliki oleh setiap perguruan tinggi,” lanjutnya.

Ia juga menyampaikan kesimpulan dari diskusi kelompoknya, yaitu sustainability office dengan fulltime staff lebih menjamin keberlanjutan dari sustainability campus dan sustainability office memiliki peran utama dalam menyusun sustainability report dan menyusun target dari kebijakan, implementasi, program, anggaran, dan lain-lain.

Kelompok ketiga diketuai oleh Dewi Agustina dari Universitas Negeri Lampung yang memaparkan hasil diskusi dengan membahas topik “Aktivitas dan Program Pengembangan Sustainability Office”. Kelompok ini dimoderatori oleh Kepala Bidang Akreditasi dan Rekognisi, Badan Perencanaan dan Pengembangan/Rumah Gagasan/Sustainability Office UII Ayundyah Kesumawati, S.Si., M.Si.

Berbeda dengan kelompok sebelumnya. Kelompok ini lebih menceritakan pengalaman dari Universitas Negeri Lampung (UNILA) dalam mendirikan SDGs Center karena banyak dari perguruan tinggi kelompok tiga yang belum mempunyai sustainability office. UNILA menyadari bahwa universitas memegang peranan penting untuk membuat kredibilitas, program, dan monitoring SDGs di nasional maupun internasional.

Setelah sesi pemaparan hasil workshop, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian kesimpulan dan komitmen pengembangan sustainability leader oleh Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D. Dalam kesempatan ini disampaikan bahwa UI Greenmetric World University Ranking Network terus berbenah, adaptif, makin medapat rekognisi dunia internasional dan kian terasa perannya dalam menunjang keberlanjutan.

Berikutnya, pemimpin sangat berperan dalam menentukan keberhasilan suatu program keberlanjutan, di mana pemimpin yang memiliki visi misi yang kuat dan mampu menghasilkan kebijakan berkomitmen pada lingkungan serta didukung oleh semua elemen diperlukan untuk mencapai lingkungan yang lestari.

Kesimpulan dan komitmen selanjutnya, kolaborasi dan sinergi antara berbagai pihak, baik internal maupun eksternal menjadi kunci sukses dalam pencapaian tujuan. Terakhir, keberlanjutan memerlukan komitmen yang kuat dan menjadi tanggung jawab bersama. “Kegiatan ini sangat berguna untuk kita semua dan bisa ditularkan kepada rekan-rekan di kampus. Semoga sustainability office ini benar-benar terealisasikan dan memberikan impact positif terhadap lingkungan,” tutup Eko Siswoyo.

Rangkaian kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 yang berlangsung selama dua hari (21-22 Juli 2021) ini, ditutup oleh Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Pengembangan Karir UII, Dr. Zaenal Arifin, M.Si. selaku dan Junaidi, M.A. selaku Wakil Ketua, UI GreenMetric World University Rankings. (MDL/RS)

Bumi saat ini memiliki masalah global yang cukup kompleks. Penting bagi perguruan tinggi untuk turut berperan terhadap pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikemukakan Researcher, Community and Sustainability Centre, Universiti Malaya, Mohd Fadhli bin Rahmat Fakri pada sesi kedua kegiatan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 yang digelar secara daring, Rabu (21/7).

Read more

Pemimpin perguruan tinggi di masa pandemi Covid-19 hendaknya dapat memahami masalah dan meresponsnya dengan cepat. Kecepatan dan ketepatan respons ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan operasi dan akademik. Namun, setelah 1,5 tahun berjalan, alasan kedaruratan telah berkurang validitasnya.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi penyelenggara The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 pada 21-22 Juli 2021. Kegiatan digelar mulai pagi ini, Rabu (21/7), sebagai rangkaian dari UI Greenmetric World University Ranking Network (GWURN), sebuah pemeringkatan perguruaan tinggi berdasarkan lingkungan berkelanjutan. Kegiatan lainnya yang menjadi rangkaian dari kegiatan (GWURN) yakni lokakarya dan rapat koordinasi nasional.

Read more

Tema yang diangkat dalam The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting ini adalah Kepemimpinan dalam Transformasi Kampus Berkelanjutan Pascapandemi. Acara ini merupakan kerja bareng antara Universitas Indonesia dan Universitas Islam Indonesia.

 

Optimis menghadapi pandemi

Tema ini menyiratkan optimisme (semoga yang terukur), karena akan memperbincangkan masa depan: pascapandemi, meski sampai hari ini kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir, meski sudah 1,5 tahun berjalan. Optimisme tersebut harus terus dirawat.

agi pemimpin perguruan tinggi, siapapun dia, tidak sulit untuk memahami adanya tantangan berat yang dihadapi untuk menjamin keberlanjutan operasi dan akademik di masa pandemi ini. Pandemi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi masalah multidimensi. Termasuk di dalamnya adalah masalah ekonomi dan pendidikan.

Saya yakin, derajat tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi berbeda-beda. Setiapnya mempunyai basis terinstal (installed base) yang beragam. Termasuk di antaranya, diindikasikan oleh kematangan infrastuktur teknologi informasi, kesiapan sumber daya manusia, dan keterjaminan sumber pendanaan.

Di masa pandemi Covid-19, pemimpin perguruan tinggi diharuskan memahami masalah dan meresponsnya dengan cepat dan (diikhtiarkan juga) tepat. Kecepatan dan ketepatan respons ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan operasi dan akademik. Namun, setelah 1,5 tahun berjalan, alasan kedaruratan telah berkurang validitasnya.

Perspektif baru perlu digunakan. Pandemi sudah seharusnya tidak hanya dilihat sebagai musibah yang harus dimitigasi, namun juga mengandung berkah tersamar (a blessing in disguise) yang perlu dimanfaatkan. Sikap yang terkesan subtil ini, menurut saya sangat penting, bisa menjadi titik balik: dari mengutuk kegelapan ke menyalakan lilin penerang; dari ratapan menuju harapan; dari hujatan menuju lompatan.

Pespektif ini juga akan menumbuhkan sikap menerima keadaan secara objektif dan memikirkan inovasi untuk meresponsnya, termasuk meningkatkan kualitas akademik. Termasuk di dalamnya adalah inisiatif penguatan ekosistem pembelajaran daring dan peningkatan pengalaman pembelajaran mahasiswa.

Kami di Universitas Islam Indonesia membingkai respons pandemi Covid-19 dengan tiga pendekatan yang saling terkait: cermat bertahan, sehat berbenah, dan pesat bertumbuh. Bingkai tersebut bisa kita kaitkan dengan keberlanjutan perguruan tinggi, dalam artian yang sangat luas.

 

Berorientasi ke dalam dan ke luar

Pola pikir di atas, jika tidak diletakkan pada perspektf yang luas dan horison yang jauh dapat menjebak kita dalam egoisme, karena cenderung berorientasi ke dalam (inward looking). Keberlanjutan perguruan tinggi juga harus berorientasi ke luar (outward looking) dan dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan untuk kebermanfaatan yang lebih luas.

Ada banyak pendekatan dalam melihat pembangunan. Di antaranya adalah pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi (development as economic growth), pembangunan sebagai kehidupan yang lestari (development as sustainable livelihood), dan juga pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom).

Setiap bingkai mempunyai asumsi dan juga konsekuensi, baik yang dikehendaki (intended consequences) maupun yang tidak dikehendaki (unintended consequences). Tentu, tulisan ini terlalu singkat untuk mendiskusikan beragam pendekatan tersebut.

 

Dimensi keberlanjutan

Dengan ilustrasi ringkas di atas, pesan yang ingin saya bagi adalah bahwa pemahaman terhadap konsep keberlanjutan sangat beragam. Sebagai ikhtiar membuat koridor bersama, saya mengusulkan, perbincangan terkait keberlanjutan perguruan tinggi, minimal mempunyai tiga dimensi yang saling terkait.

Pertama adalah dimensi temporal. Kita seharusnya tidak hanya berfokus pada kekinian atau horison waktu yang pendek, tetapi juga masa depan yang jauh. Kata keberlanjutan sendiri mengindikasikan hal itu.

Kedua adalah dimensi spasial, perguruan tinggi seharusnya tidak hanya terpaku pada area di dalam pagar kampus, tetapi juga menyentuh khalayak dan kawasan yang lebih luas. Tujuan pembangunan keberlanjutan (sustainable development goals/DSGs) bisa menjadi salah satu bingkai bergerak untuk melebatkan manfaat dari kehadiran perguruan tinggi di tengah bangsa. Hal ini diperlukan, salah satunya, untuk menjamin keberlanjutan negara di rel yang benar, yang kehadirannya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan warganya. Saya sangat berharap, dengan konsistensi sikap dan programnya, perguruan tinggi bisa ikut berandil di dalamnya.

Ketiga adalah dimensi kontekstual. Di sini, konsep tiga p dalam the triple bottom line, bisa kita jadikan bingkai: planet, people, profit. Keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga terkait dengan manusia, dan juga manfaat. Dalam konteks perguruan tinggi, tiga p ini perlu dikontesktualisasi dengan baik. Kombinasi optimal ketiganya pun perlu diikhtiarkan bersama.

Sambutan pada pembukaan The 2nd National Sustainability University Leaders Meeting 2021 “Kepemimpinan dalam Transformasi Kampus Berkelanjutan Pascapandemi” di Universitas Islam Indonesia pada 21 Juli 2021.

Peran Pemuda

Takmir Masjid Al-Azhar, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan kajian idul Adha 1442 H dengan mengangkat tema “Tata Cara Berqurban di Tengah Pandemi”, dengan menghadirkan pembicara Dosen FH UII Moh. Hasyim S.H., M.Hum. pada Senin (19/7).

Read more

Hari Raya Idul Adha merupakan hari besar yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat muslim di dunia. Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia mempunyai cara sendiri untuk menyambutnya yakni dengan menggelar rangkaian acara yang disebut Adha Fest. Salah satu acara dalam kegiatan Adha Fest adalah kajian senja yang dilaksanakan pada Senin (19/07).

Kajian kali ini menghadirkan Ustadz Hilman Fauzi sebagai pembicara dengan tema “Milenial Bangkit, Berbagi, dan Menginspirasi”. Tema yang dibawakan meski cukup serius namun menyedot perhatian audiens jelang berbuka puasa hari Arafah.

Read more

Momen perayaan Idul Adha identik dengan ibadah kurban atau menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Di balik kurban, ada makna mendalam yang dapat dipetik oleh setiap muslim. Kurban mengajarkan dua hal kepada manusia. Pertama, bahwa moment kurban adalah waktu yang tepat sebagai seorang muslim untuk berbagi. Kedua, adanya aspek transendensi yaitu aspek kesucian.

Read more