Kami percaya bahwa salah satu tugas utama negara adalah menyejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan dapat mewujud dalam bentuk akses ke banyak layanan atau peluang: pendidikan yang berkualitas, kesehatan yang paripurna, keamanan yang terjamin, lapangan pekerjaan yang layak, infrastruktur yang baik, keadilan yang ditegakkan, dan lain-lain.
Pekerjaan rumah bangsa
Akses tersebut seharusnya dapat dinikmati oleh semua warga negara. Namun, sampai hari ini, tidak sulit bagi kita untuk bersepakat, bahkan ketimpangan masih ada, dan bahkan masih sangat tajam. Pengurangan ketimpangan adalah salah satu pekerjaan rumah besar bangsa ini.
Ikhtiar terbaik sudah seharusnya dilakukan untuk menjamin pelaksanaan tugas utama tersebut, termasuk desain kebijakan pembangunan dan penyediaan anggaran yang cukup. Namun, anggaran yang sejatinya terbatas tersebut, justru sering kali digarong oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, para koruptor. Pemberantasan korupsi merupakan pekerjaan rumah besar lain yang harus segera diselesaikan.
Karena hubungan kesejahteraan dan korupsi tersebut, maka menjadi sangat naif jika melihat kerugian korupsi hanya dari nominal yang digarong atau disalahgunakan. Ada implikasi dari praktik korupsi pada kesejahteraan bangsa dalam horison waktu yang sangat panjang. Anggaran infastruktur yang dikorupsi, misalnya, akan menghasilkan infrastruktur dengan kualitas lebih rendah, memperpendek umurnya, menambah biaya perawatan, menghambat distribusi komoditas pokok, menjadikan harga komoditas semakin mahal, menurunkan daya beli warga negara, dan ujungnya dapat berupa pemiskinan warga negara yang lebih luas.
Melihat perkembangan mutakhir, tanpa kehilangan optimisme kolektif sebagai bangsa, nampaknya korupsi masih memerlukan waktu panjang untuk musnah dari bumi Indonesia, jika tidak ada kejutan luar biasa dalam pemberantasannya. Belum lagi, “kaderisasi” koruptor ternyata terjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang kita kira. Data yang dikumpulkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020, misalnya, bisa memberi ilustrasi. Dari 393 terdakwa kasus korupsi yang terdeteksi umurnya, sebanyak 14 orang di antaranya bahkan berusia di bawah 30 tahun. Data dari Mahkamah Agung (MA) sampai 18 September 2020 juga menguatkan temuan ICW. Dari 1.951 kasus korupsi di Indonesia, pelaku 553 (28,3%) kasus berusia antara 30-39 tahun.
Ilustrasi singkat di atas, seharusnya menjadi pencelik mata kita semua, akan risiko dahsyat korupsi terhadap bangsa Indonesia.
Pengawalan kami
Berdasar kesadaran tersebut, yang dikuatkan oleh kerinduan kami untuk melihat Indonesia yang lebih bersih, bermartabat, dan sejahtera, kami, di Universitas Islam Indonesia, bersama-sama elemen bangsa lain menaruh perhatian besar terhadap isu korupsi.
Terkait dengan eksaminasi publik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (atau yang lebih dikenal dengan UU KPK), ingatan kolektif dapat kita mundurkan ke awal 2019.
Pada Mei 2019, Ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo dan banyak tokoh bangsa lain, mengajak kita mengawasi panitia yang akan menyeleksi calon komisioner KPK untuk periode 2019-2023. Kami pun bersama elemen bangsa menyambut ajakan tersebut, dengan beragam cara, termasuk menyampaikan pernyataan sikap terhadap pelaksanaan seleksi.
Ketika RUU KPK dipublikasikan, kami pun melakukan kajian dan memberikan beberapa catatan. Kami sampaikan secara publik juga pada 10 September 2019. Kami tidak sendiri. Suara serupa juga menggema di banyak pojok Indonesia, termasuk mulai demonstrasi untuk melantangkan pesan. Kami, pimpinan di UII, pun ikut mengawal adik-adik mahasiswa yang turun ke lapangan.
Nampaknya suara kami dan gemuruh penolakan di banyak penjuru Indonesia, belum mendapatkan respons yang memadai, sampai akhirnya UU KPK disahkan oleh DPR RI 17 September 2019. Bahkan di beberapa tempat lain, demonstrasi menolak UU KPK ini merenggut beberapa nyawa adik-adik mahasiswa.
Akhirnya pada awal November 2019, kami putuskan untuk memohon judicial review atas UU KPK tersebut. Bagi kami, permohonan judicial review adalah bentuk jihad konstitusional dan bukti bahwa kami mencintai Indonesia. Para pendiri UII mengajarkan kapada kami untuk tidak lelah mencintai bangsa dan negara ini.
Putusan yang mengagetkan
Setelah mengikuti banyak sidang yang memakan waktu lebih dari setahun, pada 4 Mei 2021, MK membacakan putusan atas permohonan kami, bersama dengan enam permohonan lainnya. MK menolak permohonan formil dan menyetujui beberapa permohonan materiil kami meski dengan argumen yang berbeda. Saya personal mengikuti pembacaan putusan tersebut dari menit awal sampai akhir yang memakan waktu hampir sehari penuh.
Sebagai pemohon dan kuasa hukum, kami tidak begitu kaget, ketika permohonan uji formil kami ditolak oleh MK. Tapi ada yang mengagetkan, bayangan kami, kalaupun ditolak, lebih dari satu hakim yang mengajukan dissenting opinion. Namun, hanya satu Hakim Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia Wahiduddin Adams, yang sependapat dengan kami, bahwa ada cacat formil dalam penyusunan UU KPK. Prosesnya pun tidak memenuhi standar akal sehat. Dan, yang lebih mengagetkan lagi adalah bagaimana argumen dibangun dalam merumuskan putusan untuk menolak permohonan kami dan yang lainnya.
Itu adalah impresi saya, seseorang yang bukan ahli hukum. Karenanya, bisa jadi salah. Saya tidak akan masuk lebih jauh karena di luar wilayah keilmuan saya. Para narasumber dan majelis eksaminasi mempunyai legitimasi yang tinggi untuk membahas putusan MK secara lebih mendalam.
Kami sadar putusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi kami (paling tidak saya), masih galau dan mencari cara meyakinkan diri bagaimana memahami secara logika dan argumen yang dibangun dalam putusan tersebut, menjadi ilmiah. Sampai hari ini, kami belum menemukan cara untuk menjadikannya masuk akal. Bagi para dosen hukum, jawaban kegalauan ini menjadi sangat penting untuk menjelaskan kasus ini kepada para mahasiswa yang akan menjadi pengawal hukum Indonesia di masa depan.
Sangat mungkin ada penjelasan lain atau paling tidak variabel lain yang tidak masuk sepenuhnya di radar kami. Saya pesonal berharap menemukan jawabannya secara lebih lugas di acara eksaminasi publik pagi ini. Acara ini selain melakukan eksaminasi juga sekaligus menjadi forum diseminasi putusan. Ini adalah ikhtiar kami merawat akal sehat bangsa ini.
Kami mengajak semua hadirin untuk melantangkan pesan akan bahaya besar praktik korupsi dalam menghambat ikhtiar kolektif bangsa Indonesia mencapai cita-cita luhurnya. Dan, saat ini, dalam perang melawan korupsi, bangsa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Perjuangan belum berakhir.
Semoga Allah meridai ikhtiar ini.
Sambutan pada pembukaan Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 dan Webinar Diseminasi Hasil Eksaminasi, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia pada 31 Juli 2021