Hampir 30 tahun lalu, di awal 1990an, ketika kuliah sarjana, saya membaca buku Orientalisme karya Edward W Said yang diterbitkan oleh Pustaka Bandung. Pada saat itu, bagaimana media membentuk persepsi publik, seperti dibahas di salah satu bagian buku, masih sulit dibayangkan. Tidak seperti sekarang ini, ketika persepsi publik dimainkan oleh para pendengung (buzzer) atau kelompok dengan kepentingan tertentu. Saat itu, Internet baru masuk Indonesia dengan jangkauan dan kualitas yang sangat minimal.
Bahkan kalau kita amati, kekuatan media dalam membentuk persepsi pun diorkestrasi dan diwujudkan dalam beragam bentuk oleh media internasional dan termasuk film. Informasi yang disajikan seringkali tidak faktual. Nama tokoh dalam film Hollywood yang dibingkasi dengan terorisme, hampir selalu nama Arab, yang dengan mudah diasosiasikan dengan agama tertentu. Tidak sulit menemukan contohnya, seperti London has Fallen, True Lies, Eye in the Sky, dan masih banyak lagi.
Propoganda seperti ini jangan dianggap remeh. Pesan itulah yang akan menyemai dan mewariskan kebencian terhadap kelompok tertentu. Pesan tersebut bukan pemanis film, tetapi ada misi di belakangnya. Sialnya, pesan tersebut memapar tidak hanya ke sekelompok kecil orang, tetapi dilantangkan ke seluruh penjuru dunia.
Saat ini, Internet (termasuk anak kandungnya: media sosial) telah mengamplifikasi penyebaran informasi dengan sangat cepat. Persepsi publik pun dengan cepat dipengaruhi oleh informasi yang memaparnya. Seringkali, tidak mudah memilah informasi yang valid dan tidak.
Informasi salah yang sering diakses tidak jarang lebih mudah dipercaya, dibandingkan informasi valid yang jarang diakses. Inilah esensi perang narasi. Kekayaan informasi telah melahirkan kemiskinan atensi. Frekuensi paparan dan presentasi informasi menjadi sangat mempengaruhi persepsi yang terbentuk.
Informasi tentang penjajahan atau pembunuhan —meminjam istilah Noam Chomsky, aktivis global dan profesor linguistik di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan bukan juga perang— yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina yang beredar hari-hari ini banyak yang bias. Penjajahan dan pembunuhan terhadap ribuan rakyat Palestina sejak berpuluh tahun terakhir adalah realitas di lapangan.
Namun dalam realitas yang terekam media, tidak jarang, informasi yang tayang tidak sesuai dengan kondisi faktual karena dibingkai dengan kepentingan Zionisme. Salah satunya adalah bingkai “mempertahankan diri”. Argumen ini selalu mengemuka dan dijual di forum internasional.
Dalam konteks Indonesia, ini mirip dengan para pejuang ketika penjajahan Belanda yang dicap dengan pemberontak, sedang Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu (1617) yang membunuh belasan ribu orang di Kepulauan Banda dianggap sebagai pahlawan dan bahkan dibuatkan monumen dalam bentuk patung di kota kelahirannya, Hoorn. Kisah serupa kita temukan untuk Raymond Westerling, komandan pasukan Belanda, yang membantai puluhan ribu orang di Sulawesi Selatan.
Belanda saat itu pun berdalih mempertahankan diri atau menjaga ketertiban. Jadi, jangan heran, misalnya, jika dalam buku sejarah mereka tidak ada informasi penjajahan di Indonesia.
Seminar tentang membaca masa depan Palestina kali ini diharapkan memberikan informasi faktual yang valid tentang apa yang terjadi di Palestina. Selain itu, perspektif temporal yang diusung adalah tentang masa depan. Kami berharap, pilihan tema ini bisa menumbuhkan optimisme masa depan cerah bangsa Palestina yang masih terjajah.
Seminar ini adalah salah satu ikhtiar menjaga akal sehat kolektif, melantangkan pesan kemanusiaan, dan memberi dukungan kepada bangsa Palestina untuk terlepas dari ketidakadilan dan untuk merdeka. Penjajahan, pembunuhan, dan ketidakailan yang terjadi jelas bertentangan dengan akal sehat dan nilai universal ini.
Sambutan pada pembukaan Seminar Membaca Masa Depan Palestina, kerja sama Universitas Islam Indonesia, Republika, dan Umma, pada 22 Mei 2021