Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Fakultas Hukum (FH) UII menyelenggarakan talkshow bertemakan “Mencari Keadilan di Pengadilan Pajak” pada Jumat-Sabtu (29-30/01/21) secara daring. Pembicara yang hadir di antaranya, Siti Rahma Novikasari, M.H. (Dosen Hukum Pajak FH UII), Drs. Djoko Joewono Hariadi, M.Si. (Hakim Pengadilan Pajak dan Akademisi), Hersona Bangun, C.A., M.AK. (Advokat, Konsultan Pajak, Pengajar Brevet Pajak UGM), Drs. Adi Poernomo (Mantan Hakim Pengadilan Pajak), dan Annas Setyawan (Direktorat Jenderal Pajak Kanwil DIY).

Read more

Ustadz Muhammad Rezki Hr, Ph.D mengemukakan terdapat perbedaan yang cukup mendasar untuk membedakan antara orang alim dengan orang yang bodoh. Salah satunya dengan mengakui dan jujur untuk berkata tidak tahu daripada selalu berupaya mecari alasan-alasan yang tidak masuk akal. Hal ini disampaikan Ustadz Muhammad Rezki Hr saat menjadi narasumber kajian online rutin bertemakan “Menjaga Waktu”, pada Sabtu, (30/1).

Read more

Program Studi Magister Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA UII) sukses menggelar seri webinar tahap pertama dengan tema “Genggam Dunia dengan Kimia” pada Sabtu (30/1). Dalam kesempatan tersebut, para peserta webinar mendapat kesempatan mendengarkan pemaparan materi dari praktisi bidang ilmu kimia Dr. Khoirul Himmi Setiawan M.Agr.

Read more

Demi menjaga tradisi literatur keislaman, Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII) menyelenggarakan bedah buku via zoom pada Sabtu, (30/1). Buku yang berjudul Fikih dan Pranata Sosial di Indonesia karya K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. itu dikaji oleh Ketua Program Studi Hukum Islam, Program Doktor FIAI UII Dr. Drs. Yusdani, M. Ag., Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. H. Kamsi, M.A., dan Dekan Fakultas Hukum UII Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H.

Read more

Acara bedah buku ini merupakan salah satu bentuk takzim, penghormatan, kepada guru kita semua, K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. (Pak Azhar) Buku berjudul Fikih dan Pranata Sosial di Indonesia: Refleksi Pemikiran Ulama Cendekia yang akan dibedah kali ini merupakan translasi tesis Pak Azhar ketika mengikuti program master di Universitas Kairo, Mesir, yang diselesaikannya pada 1968. Namun demikian, beragam konsep yang diungkap di sana masih terasa sangat relevan untuk kondisi saat ini.

Saya mengenal Pak Azhar melalui tulisan dan cerita para guru/senior yang pernah berinteraksi langsung dengan beliau.

Pak Azhar, selama bertahun-tahun berkenan menebarkan inspirasinya di Universitas Islam Indonesia (UII), ketika beliau mengajar, termasuk ketika beliau diamanahi menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Beragam cerita yang saya dapatkan dari para alumni UII yang tersebar di berbagai tempat, yang dulu mengikuti kelas beliau. Semua cerita yang terekam, menegaskan bahwa mereka sangat menghormati dan terkesan dengan diskusi Pak Azhar di dalam kelas. Salah satu kesan lain yang kuat tertangkap oleh para alumni UII, adalah kesederhaan Pak Azhar.

Berdasar pembacaan tulisan dan cerita tersebut, saya sampai pada beberapa kesimpulan. Mohon diluruskan oleh para guru dan senior, jika kesimpulan ini salah.

Pertama, dari sisi perspektif pemikiran keislaman, Pak Azhar adalah teladan manusia yang sangat tekun mengkaji ajaran Islam terutama fikih tanpa meninggalkan konteks lokalitas. Selain mengedepankan perspektif luas dan mendalam tentang fikih, fakta sosial selalu masuk dalam radar Pak Azhar ketika mendiskusikan fikih.

Beliau sependek pembacaan saya, selalu mengajak kepada pembaruan dan pemurnian melalui gerarak tajdid dan kontekstualisasi ajaran Islam melalui gerakan ijtihad. Yang menarik, Pak Azhar, meski sangat mengedepankan rasionalitas, tetapi di saat yang sama, beliau sangat menjunjung tinggi ketaatan kepada ajaran Islam. Pendapat hukum yang dihasilkannya pun melalui proses yang sangat hati-hati dan tidak terkesan “genit” yang memantik kegaduhan dan menyepelekan ajaran Islam.

Beliau juga akrab dengan kitab-kitab kuning yang banyak dikaji oleh saudara-saudara kita di Nahdlatul Ulama. Kita bisa lihat dalam daftar referensi buku yang dibedah, misalnya di sana, ada Bidayatul Mujtahid (karya Ibnu Rusyd) dan Fathul Muin (karya Zainuddin Al-Malibari). Ada juga di sana, At-Targhib wa At-Tarhib (karya Al-Mundziri). Ini mengidikasikan keluasan referensi Pak Azhar. Sebagai diketahui, Pak Azhar juga pernah nyantridi Pondok Pesantren Tremas.

Kedua, dari sisi hubungan antarmanusia, Pak Azhar adalah teladan manusia dengan integritas tinggi tetapi sekaligus membuka ruang toleransi dan welas asih kepada liyan.

Kisah berikut bisa menjadi ilustrasi. Seorang alumni UII menceritakan hal ini kepada saya di suatu perjumpaan di kampus. Pada waktu itu, musim ujian di Fakultas Hukum UII tiba.

Umar mendapatkan giliran ujian membaca Alquran. Setelah Alquran dibuka, Pak Azhar, sebagai dosen, meminta Umar membaca, “mulai baca!”.

Umar bergeming. Pak Azhar mengulang sebanyak tiga kali. Akhirnya Umar, sambil malu-malu berkata, “Maaf Pak Azhar, saya bukan Muslim, saya Kristen.”

“Maaf,” jawab Pak Azhar secara refleks. “Anda aktif di gereja mana?”, lanjut Pak Azhar.

“Di Gereja A”, jawab Umar.

“Besok, Anda ke Gereja A, temui Bapak Pendeta, minta keterangan kalau Anda aktif di sana,” saran Pak Azhar kepada Umar.

Pak Azhar kenal baik dengan Bapak Pendeta gereja yang disebut oleh Umar.

Akhirnya, Umar menemui Bapak Pendeta.

“Anda siapa?,” tanda Bapak Pendeta.

“Saya jemaat Bapak Pendeta,” jawab Umar ragu.

“Kok saya tidak pernah melihat Anda waktu misa ya?” tanya Bapak Pendeta secara retoris.

“Mmm, saya tidak aktif Bapak Pendeta,” jawab Umar agak malu.

“Terus, maksud Anda bertemu saya?” tanya Bapak Pendeta

“Saya diminta oleh Pak Azhar Basyir menemui Bapak Pendeta untuk meminta surat keterangan kalau saya aktif di gereja ini,” Umar menjelaskan maksudnya.

“Tidak bisa,” jawab Bapak Pendeta, “Pak Azhar baik sekali dengan saya meski beliau tokoh Muhammadiyah, saya tidak akan memberi surat keterangan, karena Anda memang bukan jemaat aktif. Anda sampaikan itu ke Pak Azhar”, lanjut Bapak Pendeta.

Beberapa hari kemudian, Umar menghadap ke Pak Azhar dan menjelaskan kejadian di gereja.

“Ya sudah, tidak apa-apa,” jawab Pak Azhar.

Kisah nyata di atas memberikan gambaran bahwa Pak Azhar menghormati Umar, mahasiswanya yang beragama Kristen, dengan sangat baik. Keluasan dan kedalaman pemahamannya terhadap Islam justru, yang menurut saya, menjadikan Pak Azhar mampu mengembangkan sikap yang seperti itu.

Pengembangan sikap toleransi untuk hidup berdampingan dalam harmoni seperti ini ini sangat penting, ketika di luar sana, banyak berkembang pendapat dan sikap yang cenderung menafikan liyan. Kedalaman pemahaman beragama seseorang seharusnya tidak lantas menjadikannya merasa mempunyai hak untuk merendahkan dan menghina liyan.

Ketiga, dari sisi dokumentasi pemikiran, Pak Azhar adalah teladan dalam mendokumentasikan pemikiran dalam bentuk tulisan. Dalam catatan kami, ada 12 buku yang sudah Pak Azhar tulis. Sebanyak tujuh di antaranya diterbitkan oleh UII.

Menurut saya, tradisi mendokumentasikan pemikiran perlu digalakkan kembali. Saat ini pilihannya lebih beragam, tidak hanya dalam buku tercetak, tetapi bisa dalam buku digital atau bahkan rekaman audio visual.

Mendokumentasikan pemikiran adalah kerja perabadan dan kerja menuju keabadian. Dokumentasi akan meningkatkan kebermanfaatan karena pemikiran bisa diakses lebih lama dan lebih luas.

Tentu, masih banyak teladan dari Pak Azhar, yang tidak mungkin dapat ditangkap utuh dalam tulisan singkat ini.

Sambutan pada acara bedah buku Fikih dan Pranata Sosial di Indonesia: Refleksi Pemikiran Ulama Cendekia karya Pak Azhar pada 30 Januari 2021

Seorang arsitek tidak hanya dituntut untuk menciptakan desain bangunan yang bagus namun juga mampu menghadirkan konsep bangunan yang membuat nyaman dan menarik minat calon penggunanya. Oleh karenanya, seorang arsitek dituntut untuk membuat sebuah bangunan dengan menghadirkan konsep performative aesthetics, notion of play dan multi programmatic space dalam merancang sebuah bangunan.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) turut mendukung pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru (PMB) bersama perguruan tinggi swasta (PTS) DIY secara daring melalui portal Jogjaversitas.id. Hal ini terungkap dalam launching Penerimaan Mahasiswa Baru Bersama Aptisi Wilayah V tahun akademik 2021/2022 di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V DIY pada Kamis (28/1).

Read more

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) kembali menoreh prestasi pada bulan pertama tahun 2021 ini. Pandemi mengubah “normal” menjadi “new normal” namun, hal tersebut bukanlah penghalang bagi mahasiswa FK UII untuk mendapatkan medali. Mahasiswa mengaku lomba daring justru punya banyak keunggulan. Mereka tidak harus jauh datang ke universitas yang mengadakan lomba, tapi hal tersebut tidak mengubah esensi dari pelombaan untuk berdakwah lewat prestasi.

Read more

Mengawali tahun baru 2021, Warung Prancis berganti nama menjadi Kafe Prancis. Dalam proses rebdranding dan pengenalan nama baru ini, Kafe Prancis menyelenggarakan sebuah diskusi dengan tema “Ups and Downs Belajar Bahasa Prancis” pada Kamis (28/1) secara daring. Diskusi menghadirkan pembicara mahasiswa studi master di Institut Polytechnique de Paris, Rilwanu Ar Roiyyan dan calon mahasiswa program master di Universite Pantheon Sarbonne Faradina Isabelle. Jalannya diskusi dipandu oleh Sallu Muharomah.

Read more

Pembelajaran daring yang sebagian dipaksa oleh pandemi nampaknya tidak selalu disuka. Ada banyak sebab. Termasuk di antaranya adalah rendahnya kesiapan, baik dari sisi mental, keterampilan, dan infrastruktur. Karakteristik materi pembelajaran juga bisa dimasukkan ke daftar alasan. Beragam upaya dilakukan untuk meningkatkan kesiapan ini dalam waktu yang singkat.

Di tengah upaya tersebut, diskusi tentang kehilangan pembelajaran (learning loss) menghangat akhir-akhir ini. Isu ini dikaitkan dengan kegagalan pembelajaran daring dalam mengantarkan peserta menguasai kompetensi yang diinginkan. Berita lain menyebut munculnya kelelahan zoom (zoom fatigue) karena terlalu di depan layar untuk beragam aktivitas daring. Isu kelelahan ini bahkan sampai ke radar Harvard Business Review, untuk diulas.

Selain itu, dari sisi pembelajar, muncul kebosanan terhadap pembelajaran daring. Sangat wajar. “Makan enak saja, jika menunya sama setiap hari, akan memunculkan kebosanan, kata seorang kawan. Kebosanan yang diindikasikan banyak hal, termasuk hilangnya semangat dalam pembelajaran, menjadi salah satu topik yang muncul dalam diskusi evaluasi kami di kampus beberapa hari lalu.

Beragam perspektif diungkap untuk memitigasi. Langkah pertama adalah menghindari penolakan (denialisme) bahwa kondisi pandemi berbeda dengan ketika normal. Termasuk langkat selanjutnya adalah memaknai kembali filosofi pembelajaran, membuat ruang toleransi, sampai dengan menyesuaikan desain pembelajaran.

Pertama, setiap pembelajaran pada dasarnya adalah membuat perbedaan, antara sebelum dan sesudah belajar. Dalam bahasa teknis, hal ini sering diwujudkan dalam capaian pembelajaran lulusan yang mengindikasikan kompetensi. Bahasa lainnya adalah mendefinisikan perbedaan yang diinginkan. Pertanyaan yang harus dijawab adalah: dengan pembelajaran daring ketika kenyataan tidak selalu sama dengan asumsi, perbedaan seperti apa yang seharusnya disepakati?

Kedua, ruang toleransi pun dibahas. Semua sepakat bahwa pendidikan punya misi membentuk karakter atau transfer nilai. Tidak ada ruang toleransi di sisi ini. Kecurangan yang ditemukan perlu diberi sanksi yang sesuai. Tetapi ketika menyangkut hal teknis, terkait dengan kualitas koneksi Internet yang tidak bersahabat atau paket data yang terbatas, maka toleransi seharusnya diberikan.

Ketiga, desain pembelajaran menjadi isu menarik. Di lapangan, tidak jarang, pembelajaran daring hanya sekedar memindah pembelajaran luring dengan bantuan teknologi informasi tanpa desain ulang yang cukup. Yang tadinya tatap muka selama 2,5 jam menjadi tatap maya dengan durasi yang sama, misalnya. Jika ini yang terjadi, tidak sulit membayangkan jika kebosanan mudah mendera.

Karenanya, di sini diperlukan inovasi dalam desain pembelajaran. Seorang kawan menyampaikan ide membuat pembelajaran layaknya film serial dengan alur cerita yang membuat penasaran dari satu seri ke seri lainnya.

Imajinasi melayang ke dua film serial besutan Netflix yang layak menjadi inspirasi: The Queen’s Gambit dan Lupin.

Film pertama menceritakan perjalanan anak perempuan penghuni panti asuhan yang menggemari catur dan akhirnya menjadi juara dunia. Film berlatar tahun 1950an dan 1960an ini disebut oleh The Economist sebagai salah satu serial televisi terbaik 2020. Sebuah analisis selingan menarik bahkan dibuat secara saintifik terkait dengan dunia percaturan. Pecatur profesional yang lebih muda secara konsisten mengalahkan yang lebih tua. Pecatur cenderung mencapai puncak karier pada usia muda dan meningkat sedikit setelah berusia 30 tahun. Pecatur generasi baru cenderung lebih mumpuni dibandingkan dengan generasi sebelumnya, karena perbaikan dalam pelatihan.

Film kedua, Lupin, menghidupkan tokoh rekaan penulis Prancis Maurice Leblanc yang ditulis pada 1905. Dengan latar belakang Kota Paris yang indah, film yang diliris di awal 2021 berhasil menggaet para penggemarnya. Tak memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan sesi pertama yang berisi lima episode, yang mengantarkan kepada penasaran.

Apa yang menyatukan kedua film serial tersebut? Pertama, alur cerita yang tidak biasa. Nampaknya ini kekuatan utama film serial tersebut. Setiap fragmen berkontribusi kepada cerita keseluruhan. Rasanya tidak ada fragmen yang muspra. Selalu saja ada kejutan di setiap episodenya. Bayangkan jika setiap sesi kelas daring mengandung kejutan dan setiap fragmen pembelajaran daring memperkaya pengalaman personal dan kolektif.

Kedua, setiap tokoh diperankan dengan apik oleh para aktor secara konsisten. Mereka sangat menjiwai peran yang dimainkan. Imajinasikan jika para dosen dan mahasiswa menjalankan perannya dengan baik, sepenuh hati, dengan istikamah. Sulit untuk membayangkan kesuksesan pembelajaran daring tanpa peran aktif dosen dan mahasiswa.

Ketiga, setiap episode ditutup dengan rasa penasaran sehingga penantian akan lanjutannya dapat dirangkum dalam sebuah oksimoron: siksaan rasa ingin tahu yang nikmat. Dua jempol perlu diacungkan terhadap kualitas penyuntingan. Tak jarang, gaya kilas balik menguatkan jalinan antarfragmen. Kira-kira gambaran apa yang kita dapatkan jika strategi serupa diterapkan dalam proses pembelajaran daring? Jalinan antarfragmen, misalnya, dapat dikuatkan dengan pembelajaan terbalik (flipped learning): konten pembelajaran disiapkan dengan rekaman dan tatap maya digunakan untuk diskusi yang hidup.

Desain kelas gaya Lupin nampaknya bisa menjadi solusi kebosanan dan sekaligus meningkatkan kualitas pengalaman pembelajaran daring. Pembelajaran luring memang dapat menghadirkan cerita yang berbeda. Tapi, di kala pandemi seperti ini, pilihan yang tersedia tidak banyak.

Mari, sambil berikhtiar kolektif supaya pandemi segera sirna, kini adalah saatnya berbenah: kita ganti ratapan menjadi harapan dan maknai musibah menjadi berkah.

 Versi lebih ringkas dari tulisan ini telah dimuat di Kolom Analisis SKH Kedaulatan Rakyat, 29 Januari 2021.