Acara bedah buku ini merupakan salah satu bentuk takzim, penghormatan, kepada guru kita semua, K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. (Pak Azhar) Buku berjudul Fikih dan Pranata Sosial di Indonesia: Refleksi Pemikiran Ulama Cendekia yang akan dibedah kali ini merupakan translasi tesis Pak Azhar ketika mengikuti program master di Universitas Kairo, Mesir, yang diselesaikannya pada 1968. Namun demikian, beragam konsep yang diungkap di sana masih terasa sangat relevan untuk kondisi saat ini.
Saya mengenal Pak Azhar melalui tulisan dan cerita para guru/senior yang pernah berinteraksi langsung dengan beliau.
Pak Azhar, selama bertahun-tahun berkenan menebarkan inspirasinya di Universitas Islam Indonesia (UII), ketika beliau mengajar, termasuk ketika beliau diamanahi menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Beragam cerita yang saya dapatkan dari para alumni UII yang tersebar di berbagai tempat, yang dulu mengikuti kelas beliau. Semua cerita yang terekam, menegaskan bahwa mereka sangat menghormati dan terkesan dengan diskusi Pak Azhar di dalam kelas. Salah satu kesan lain yang kuat tertangkap oleh para alumni UII, adalah kesederhaan Pak Azhar.
Berdasar pembacaan tulisan dan cerita tersebut, saya sampai pada beberapa kesimpulan. Mohon diluruskan oleh para guru dan senior, jika kesimpulan ini salah.
Pertama, dari sisi perspektif pemikiran keislaman, Pak Azhar adalah teladan manusia yang sangat tekun mengkaji ajaran Islam terutama fikih tanpa meninggalkan konteks lokalitas. Selain mengedepankan perspektif luas dan mendalam tentang fikih, fakta sosial selalu masuk dalam radar Pak Azhar ketika mendiskusikan fikih.
Beliau sependek pembacaan saya, selalu mengajak kepada pembaruan dan pemurnian melalui gerarak tajdid dan kontekstualisasi ajaran Islam melalui gerakan ijtihad. Yang menarik, Pak Azhar, meski sangat mengedepankan rasionalitas, tetapi di saat yang sama, beliau sangat menjunjung tinggi ketaatan kepada ajaran Islam. Pendapat hukum yang dihasilkannya pun melalui proses yang sangat hati-hati dan tidak terkesan “genit” yang memantik kegaduhan dan menyepelekan ajaran Islam.
Beliau juga akrab dengan kitab-kitab kuning yang banyak dikaji oleh saudara-saudara kita di Nahdlatul Ulama. Kita bisa lihat dalam daftar referensi buku yang dibedah, misalnya di sana, ada Bidayatul Mujtahid (karya Ibnu Rusyd) dan Fathul Muin (karya Zainuddin Al-Malibari). Ada juga di sana, At-Targhib wa At-Tarhib (karya Al-Mundziri). Ini mengidikasikan keluasan referensi Pak Azhar. Sebagai diketahui, Pak Azhar juga pernah nyantridi Pondok Pesantren Tremas.
Kedua, dari sisi hubungan antarmanusia, Pak Azhar adalah teladan manusia dengan integritas tinggi tetapi sekaligus membuka ruang toleransi dan welas asih kepada liyan.
Kisah berikut bisa menjadi ilustrasi. Seorang alumni UII menceritakan hal ini kepada saya di suatu perjumpaan di kampus. Pada waktu itu, musim ujian di Fakultas Hukum UII tiba.
Umar mendapatkan giliran ujian membaca Alquran. Setelah Alquran dibuka, Pak Azhar, sebagai dosen, meminta Umar membaca, “mulai baca!”.
Umar bergeming. Pak Azhar mengulang sebanyak tiga kali. Akhirnya Umar, sambil malu-malu berkata, “Maaf Pak Azhar, saya bukan Muslim, saya Kristen.”
“Maaf,” jawab Pak Azhar secara refleks. “Anda aktif di gereja mana?”, lanjut Pak Azhar.
“Di Gereja A”, jawab Umar.
“Besok, Anda ke Gereja A, temui Bapak Pendeta, minta keterangan kalau Anda aktif di sana,” saran Pak Azhar kepada Umar.
Pak Azhar kenal baik dengan Bapak Pendeta gereja yang disebut oleh Umar.
Akhirnya, Umar menemui Bapak Pendeta.
“Anda siapa?,” tanda Bapak Pendeta.
“Saya jemaat Bapak Pendeta,” jawab Umar ragu.
“Kok saya tidak pernah melihat Anda waktu misa ya?” tanya Bapak Pendeta secara retoris.
“Mmm, saya tidak aktif Bapak Pendeta,” jawab Umar agak malu.
“Terus, maksud Anda bertemu saya?” tanya Bapak Pendeta
“Saya diminta oleh Pak Azhar Basyir menemui Bapak Pendeta untuk meminta surat keterangan kalau saya aktif di gereja ini,” Umar menjelaskan maksudnya.
“Tidak bisa,” jawab Bapak Pendeta, “Pak Azhar baik sekali dengan saya meski beliau tokoh Muhammadiyah, saya tidak akan memberi surat keterangan, karena Anda memang bukan jemaat aktif. Anda sampaikan itu ke Pak Azhar”, lanjut Bapak Pendeta.
Beberapa hari kemudian, Umar menghadap ke Pak Azhar dan menjelaskan kejadian di gereja.
“Ya sudah, tidak apa-apa,” jawab Pak Azhar.
Kisah nyata di atas memberikan gambaran bahwa Pak Azhar menghormati Umar, mahasiswanya yang beragama Kristen, dengan sangat baik. Keluasan dan kedalaman pemahamannya terhadap Islam justru, yang menurut saya, menjadikan Pak Azhar mampu mengembangkan sikap yang seperti itu.
Pengembangan sikap toleransi untuk hidup berdampingan dalam harmoni seperti ini ini sangat penting, ketika di luar sana, banyak berkembang pendapat dan sikap yang cenderung menafikan liyan. Kedalaman pemahaman beragama seseorang seharusnya tidak lantas menjadikannya merasa mempunyai hak untuk merendahkan dan menghina liyan.
Ketiga, dari sisi dokumentasi pemikiran, Pak Azhar adalah teladan dalam mendokumentasikan pemikiran dalam bentuk tulisan. Dalam catatan kami, ada 12 buku yang sudah Pak Azhar tulis. Sebanyak tujuh di antaranya diterbitkan oleh UII.
Menurut saya, tradisi mendokumentasikan pemikiran perlu digalakkan kembali. Saat ini pilihannya lebih beragam, tidak hanya dalam buku tercetak, tetapi bisa dalam buku digital atau bahkan rekaman audio visual.
Mendokumentasikan pemikiran adalah kerja perabadan dan kerja menuju keabadian. Dokumentasi akan meningkatkan kebermanfaatan karena pemikiran bisa diakses lebih lama dan lebih luas.
Tentu, masih banyak teladan dari Pak Azhar, yang tidak mungkin dapat ditangkap utuh dalam tulisan singkat ini.
Sambutan pada acara bedah buku Fikih dan Pranata Sosial di Indonesia: Refleksi Pemikiran Ulama Cendekia karya Pak Azhar pada 30 Januari 2021