Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan pertemuan dengan orangtua dan wali mahasiswa FTI angkatan 2019. Kegiatan ini dilangsungkan di Gedung Olahraga Ki Bagoes Hadikoesoemo pada Sabtu (22/02). Acara yang juga dihadiri oleh pimpinan FTI, dosen, karyawan dan tenaga kependidikan, dan mahasiswa berprestasi ini mengusung tema “Membangun Sinergi, Meraih Prestasi.” Tujuan diadakannya pertemuan tersebut adalah untuk meningkatkan tali silaturahmi antara civitas akademika FTI UII dan orangtua / wali mahasiswa.

Kegiatan dimulai dari perkenalan dekan, dosen, dan setiap jurusan yang ada di FTI UII. Dilanjutkan dengan paparan mengenai sarana dan prasarana perkuliahan serta kegiatan yang akan dilaksanakan oleh para mahasiswa. Sehingga orangtua atau wali dapat mengetahuinya dan tidak risau selama anak-anaknya menjalankan perkuliahan. Temu orangtua atau wali mahasiswa ini juga dapat menumbuhkan sifat kedekatan dan kerjasama yang baik antara pihak kampus dan orang tua atau wali mahasiswa.

Read more

Tidak hanya piawai dalam hal akademik, atau mengurus berbagai hal di kampus, tak disangka sivitas akademika UII juga tidak kalah di bidang olahraga. Tim sepak bola yang menamakan dirinya Tim Dokar UII (Dosen dan karyawan UII) menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah si kulit bundar pada pertandingan melawan tim sepak bola Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Pertandingan persahabatan tersebut berlangsung di Lapangan UII Training Ground (UTG) pada Jum’at (21/2).

Read more

Sebagian orang menikmati hidup yang berjalan linier. Sebagian lain menyukai hentakan tak terduga. Yang pertama mengasumsikan perubahan perlahan, yang kedua memaksa kita untuk menyiapkan diri menghadapi kejutan. Tidak selalu mengenakkan, tetapi juga tidak selamanya menyakitkan. Tidak jarang kejutan ini memicu titik balik.

Titik balik dalam hidup tidak selalu dirangsang oleh peristiwa besar. Tidak jarang peristiwa kecil mempunyai efek yang dahsyat. Unsur kejutan di saat yang pas menjadi penentu. Unsur anti kelaziman dan anti serba intuitif sangat penting. Mirip dengan konsep angsa hitam yang dibahas oleb Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya yang berjudul The Black Swan. Kejutan ini muncul persis ketika sebagian kita mencari angsa putih dan justru menemukan angsa hitam. Berkah atau musibah?

Atau, tentang melihat dari perspektif lain yang dibahas oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya What the Dog Saw. Kita tanpa sadar terlalu sering menjebakkan diri dalam bingkai kelaziman yang kita buat sendiri. Untuk membongkar bingkai ini, diperlukan kejutan. Sesuatu yang membangunkan kita dari tidur panjang, sesuatu pemahaman yang dianggap mapan tanpa bisa diganggu gugat. Mudahkah? Tidak selalu. Kejutan adalah misterinya.

Hal yang sama ketika dipaparkan kepada orang yang berbeda bisa jadi menghadirkan unsur magnitudo kejutan yang tidak serupa. Banyak faktor saling berkelindan. Ekspektasi dan pengalaman lampau kita mungkin mempengaruhi. Gaya hadir atau waktu hadirnya pesan yang berpotensi mempunyai daya kejut, bisa juga mempunyai andil.

Berikut beberapa ilustrasi ringan yang melintasi lini masa hidup saya.

Beberapa tahun lalu saya termasuk sering menghindar jika diminta untuk memberikan ceramah, terutama tentang agama. Apa pasal? Banyak sekali pertimbangan. Salah satunya, adalah kekhawatiran akut belum bisa menjalankan apa yang diceramahkan. Orang Jawa dengan berseloroh sering menyebutnya: jarkoni, “iso ngajar, ora iso ngelakoni”, “bisa mengajarkan, tetapi tidak bisa menjalankan”.

Kejutan hadir tanpa diduga ketika saya berdiskusi ringan dengan kolega di kantor. Mas Kholid Haryono, mengatakan ke saya, “Pak Fathul, ilmu yang tidak ditularkan belum dianggap ilmu yang bermanfaat”. Teng. Pesan sederhana yang mungkin sudah dilupakan oleh pengucapnya ini memberikan daya kejut ribuan volt. Akhirnya, perlahan, ketika saya diminta memberikan ceramah, pesan berdaya kejut itu selalu teringat. Memang tidak semua permintaan saya terima. Alasan penolakan selama ini cenderung teknis: soal waktu.

Apakah saya selalu nyaman ketika berceramah? Tidak selalu. Saya nampaknya memerlukan kejutan lain. Kejutan itu datang di waktu lain. Terjadi selepas Salat Zuhur di Masjid Ulil Albab.

Setiap Senin sebulan sekali, insyaallah Gus Baha’ (K.H. Ahmad Bahaudiddin Nursalim), yang sangat mumpuni dalam ilmu tafsir dan fikih itu, mengisi ceramah di masjid kampus Universitas Islam Indonesia. Jika waktu memungkinkan, sehabis salat, saya akan menunggu Gus Baha’ di ruang takmir untuk transit sebelum ceramah dimulai. Siang itu Allah memberikan kesempatan kepada saya.

Dalam pertemuan yang singkat tersebut, saya minta nasehat kepada Gus Baha’. “Gus, saya ini ilmunya belum dalam, tetapi kadang diminta ceramah agama. Menurut Gus Baha’, sikap saya sebaiknya seperti apa?” Ini permintaan nasehat yang tulus. Jawaban anti kelaziman dari Gus Baha’ memberikan kejutan, “Itu supaya Pak Rektor terus belajar!”. Teng. Singkat, padat, mengena. Berdaya kejut.

Terima kasih Gus untuk nasehatnya! Insyaallah saya terus belajar, ikhtiar memantaskan diri untuk berceramah, meningkatkan kebermanfaatan ilmu.

Renungan ringan ini ditulis dalam penerbangan Makassar-Yogyakarta, 20 Februari 2020.

Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Muhammadiyah Makassar menyelenggarakan Workshop Studi Pelacakan Alumni dan Internasionalisasi Perguruan Tinggi. Workshop digelar dalam rangka peningkatan kualitas akademik perguruan tinggi, khususnya dalam merespons paket kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Workshop yang digelar di Ruang UBC, Menara Iqra, Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar) pada 19-20 Februari 2020 ini diikuti oleh anggota BKSPTIS, khususnya pengambil kebijakan dan pelaksana studi pelacakan alumni dan internasionalisasi perguruan tinggi. Jalannya workshop terbagi dalam di dua sesi besar guna berdiskusi dan berbagi pengalaman terkait dengan studi pelacakan alumni dan survei kepuasan pengguna alumni internasionalisasi perguruan tinggi.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) terus mengikuti kegiatan pameran pendidikan nasional di berbagai pelosok negeri. Kali ini, UII turut serta dalam kegiatan pameran pendidikan bertajuk “Sulawesi Education and Techno Expo 2020”, yang diselenggarakan pada tanggal 18 – 20 Februari 2020 di Celebes Convention Center, kota Makassar. Sebelumnya, UII juga berpartisipasi dalam International Education & Training Expo (IIETE), pada 6-9 Februari 2020 di Jakarta Convention Center.

Read more

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul “Pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945” pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).

Read more

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII menyelenggarakan diskusi bertema “Fondasi Dan Ekspansi Imperium Ottoman” pada Kamis (13/2) di Gedung Prof. Dr. Ace Partadiredja UII. Diskusi ini menghadirkan narasumber Prof. Dudung Abdurrahman, M.Hum dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Suwarsono Muhammad, MA selaku Ketua Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia.

Disampaikan Heri Sudarsono S.E., M.Ec selaku ketua penyelenggara, diskusi ini merupakan program awal di tahun 2020 di antara program lain seperti Conference in Islamic Economic, Management and Finance yang juga menjadi program di awal tahun 2020. Menurutnya belajar sejarah sangat menarik karena di dalam jurusan ekonomi sendiri tidak dijumpai pelajaran sejarah ekonomi dan sosial Islam.

Read more

Rendahkan sayapmu adalah ungkapan dalam bahasa Arab yang muncul tiga kali dalam Al-Qur’an: pada Surat Asy-Syu’ara 26:215, Al-Hijr 17:24, dan Al-Isra’ 15:88. Kepada siapa sayap direndahkan? Ada dua kelompok yang disebut: pengikut (QS 26:215 dan 17:24) dan orang tua (QS 15:88).

Apa artinya? Terjemahan bahasa Inggris untuk ayat pertama menuliskan dalam beragam versi, seperti lower your wing (in kindness)/tenderly/(in tender)/(in gentleness)(arti literalnya, rendahkan sayapmu (dalam kebaikan)/dengan lembut/(dalam kelembutan)/(dengan ramah), atau diberi catatan tambahan: be courteous(santunlah). Untuk ayat ketiga yang ditujukan kepada orang tua diterjemahkan dengan lower your wing of humility/submission and mercy(rendahkan sayap kerendahhatian/ketundukan dan kasih sayang). Terjemahan bahasa Indonesia menuliskan dengan lugas: rendahkan dirimu.

 

Sayap: kesombongan versus perlindungan

Saya tidak bermaksud menafsirkan ayat tersebut karena memang tidak mempunyai kapasitas untuk itu. Tetapi, ayat-ayat tersebut melalui metafora sayap telah memberikan inspirasi yang luar biasa. Bagi saya, di satu sisi, sayap bisa menjadi instrumen kesombongan seperti burung elang yang terbang tinggi dengan arogan mencari mangsa terlemahnya untuk diterkam. Burung elang ketika membaca tulisan ini mungkin juga tidak sepakat 🙂

Sisi ini nampaknya pas ketika digunakan untuk memaknai bagaimana bersikap kita kepada orang tua, manusia termulia sejagad. Tidak boleh ada rasa sombong sekecil apapun melekat di diri kita ketika berhadapan dengan mereka. Sehebat apapun kita, sebaik apapun kita kepada mereka, tidak mungkin dapat menggantikan pengorbanan dan kasih sayang yang telah dicurahkan kepada kita.

Ketika sayap, instrumen yang berpotensi memunculkan kesombongan, diminta untuk diturunkan, dibutuhkan energi besar untuk menawar harga diri pada tingkat yang rendah. Karenanya, di sisi lain, sayap bisa menjadi instrumen perlindungan yang mengayomi. Sayap ayam ketika menangkup akan memberikan rasa aman dan nyaman untuk anak-anaknya, dan melindungi mereka dari serangan predator. Ini adalah inspirasi untuk pemimpin. Bahwa dalam konteks ini, seorang pemimpin diminta santun, lembut, ramah dengan pengikut yang seide dengannya.

 

Kenakan jaket semesta

Mari dengan santai kita elaborasi inspirasi di atas. Apa yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin yang terpilih? Beragam jawaban dapat diberikan. Tapi, nampaknya pembaca sepakat, kepercayaan dari banyak orang menjadi kunci. Ketika seseorang memberikan suaranya, maka di dalamnya terkandung pernyataan kepercayaan (dan tentu saja harapan).

Yang menarik, meski ketika pemilihan tidak semua suara mendukung 100%, tetapi dalam konteks publik, yang wajib dipimpin tidak hanya yang memilih, tetapi juga yang bahkan awalnya berseberangan dengan pemimpin. Apalagi dalam konteks lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi.

Hajatan pemilihan demokratis hanya merupakan metode memilih. Setelahnya, keluarga besar harus dikedepankan. Ketika seorang pemimpin fakultas (universitas), terpilih dari program studi (fakultas) A, misalnya, tidak lantas tugasnya hanya mengembangkan program studi (fakultas) asalnya. Jika ini terjadi, maka dia akan terjebak sikap primordialisme sempit dan tidak akan dapat menggagas masa depan fakultas (universitas), tetapi justru terjebak pada misi sempit yang sampai tidak tertentu akan kontra-produktif.

Ketika terpilih, maka semua pemimpin harus menanggalkan baju primordialnya dan menggantikannya dengan jaket semesta. Dia tidak lagi milik kelompok primordialnya, tetapi sudah menjadi milik publik. Inilah salah satu cara merendahkan sayap untuk kolega yang tidak berasal dari kelompok yang sama.

Ketika sudah menjadi pemimpin, kecintaan buta kepada asal primordial dan berlagak rabun terhadap kelompok lain, bisa masuk kepada level “haram” dalam diskusi manajemen organisasi. Apa dampaknya jika hal ini terjadi? Pembaca dapat bebas berimaji. Salah satunya adalah luruhnya kepercayaan. Ini dari perspektif warga organisasi beda kelompok primordial atau yang masih sehat akalnya.

Jika semakin akut, bisa memunculkan sikap “masa bodoh” dan bahkan “bibit separatisme”. Hal ini, insyaallah tidak terjadi ketika pemimpin dengan ikhlas merendahkan sayapnya, menjadi pelindung dan pengayom semua anak-anaknya. Tidak ada lagi anak emas dan anak buangan yang kurang perhatian.

Mudah? Tidak selalu. Tetapi, saya yakin bisa diupayakan, ketika kesadaran menjadi pemimpin publik tetap dijaga, harga diri selalu dikelola, dan kepentingan pribadi atau kelompok tidak mengalahkan kepentingan orang banyak.

Yang terakhir ini menarik, mengapa? Berikut adalah contoh sederhana. Saya sering ditanya, mengapa 5.000-6.000 tanda tangan basah atas dokumen ketika menjelang wisuda tidak digantikan dengan cap saja? Saya jawab: bisa jadi bagi saya itu melelahkan, tetapi setiap dokumen yang diterima oleh wisudawan dengan tanda tangan basah yang diberikan dengan ikhlas (dan diawali/diiringi kalimat yang baik) akan sangat bermakna. Bagi saya paling hanya beberapa detik, tetapi bagi penerima, makna dan manfaatnya bisa sepanjang hayatnya. Ini adalah contoh lain merendahkan sayap kepada mahasiswa atau wisudawan.

Pembaca bisa menambahkan ribuan dan bahkan jutaan ilustrasi tentang bagaimana sayap dapat tetap direndahkan. Apakah akhirnya tidak menjadi pemimpin yang lemah? Sebagian orang berpendapat demikian. Tetapi maaf, itu bukan mazhab saya.

Renungan ringan pada 14 Februari 2020.

Sajadah merupakan sarana yang seringkali digunakan oleh umat Islam di Indonesia untuk beribadah. Namun, hal yang perlu dicermati kebanyakan sajadah yang digunakan di Indonesia merupakan produk impor. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif, Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada, Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII) Hadza Min Fadhli Robby, S.I.P., M.Sc. pada Pembukaan Pameran Sajadah Imaji Indonesia di Gedung YBW UII, Jalan Cik Ditiro No. 1 Yogyakarta, pada Kamis siang (13/2).

Read more

Mendengar kata klitih yang saat ini menjadi masalah yang tengah menjadi sorotan pemberitaan dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat, kebanyakan orang akan langsung memiliki perspektif negatif. Namun siapa sangka jika “Klitih” dulu sebenarnya memiliki makna yang netral. Demikian disampaikan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, sekaligus pemerhati kriminologi, Dr. Aroma Elmina Martha, SH., M.H.

“Kalau di Jogja itu ada istilah Klitah-Klitih yang artinya keluyuran, punya waktu luang yang banyak, rileks. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan paradigma terhadap pengertian Klitih, yang tadinya bermakna positif bergeser menjadi negatif. ” katanya ketika diwawancara jurnalis Humas UII di kampus FH UII belum lama ini.

Read more