Pada Agustus 2019, Pew Research Center meliris hasil surveinya tentang kepercayaan warga Amerika Serikat terhadap saintis. Sejak 2016, baru pada survei terakhir tersebut, kepercayaan publilk kepada saintis melebihi kepada militer. Sebanyak 86% responden percaya kepada saintis. Bandingkan dengan tingkat kepercayaan kepada militer (82%) dan bahkan politisi terpilih (35%).

Mereka percaya bahwa sains sangat penting untuk masyarakat. Hasil ini berbeda dengan sikap Sang Presiden Dunia Baru yang sering menyerang sains. Tak terkecuali ketika pandemi Covid-19 melanda. Tidak sulit menemukan rekam jejak digital untuk memberikan ilustrasi. Ide terakhirnya menuai reaksi riuh dari para saintis. Berlagak bak seorang dokter, Sang Presiden menyarankan injeksi disinfektan ke dalam tubuh.

Di pojok lain bumi, di Dunia Lama, seorang pemimpin perempuan diapresiasi karena menggunakan pendekatan saintifik dalam menangani pandemi. Latar belakang lampaunya sebagai saintis terungkap. Dia adalah periset dan doktor di bidang kimia kuantum. Dia jalani peran ini sampai runtuhnya tembok Berlin pada 1989, momentum awal dia terjun ke dunia politik. Dia tahu apa yang dilakukan dan jujur tentang yang belum diketahui oleh sains. Dia adalah Konselir Jerman, Angela Merkel.

Saat ini, warga dunia masih berharap cemas, menanti antivirus yang dikembangkan pada saintis, berpacu dengan waktu. Ilustrasi di atas, menunjukkan bahwa sains memberi bukti telah menghadirkan solusi masalah dan menjadi modal penting untuk menyelamatkan serta meluhurkan peradaban manusia.

 

Sains dan Zaman Keemasan

Perkembangan sainslah yang membawa Eropa meninggalkan Zaman Kegelapan yang dimulai dengan keruntuhan Kekaisaran Romawi pada abad kelima sampai lahirnya Zaman Renaisans pada abad ke-14, yang dimulai di Italia dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa.

Ketika itu, dunia Islam justru berada pada Zaman Keemasan (atau Zaman Pertengahan), ketika sains berkembang dengan pesat dan para saintis mendapatkan posisi terhormat. Zaman Keemasan itu dimulai ketika Dinasti Abbasiyyah menggantikan Umayyah.

Abu Ja’far Al-Mansur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyyah (754-775 M) pernah mengirim utusan ke Kaisar Byzantium untuk mendapatkan kara-karya tentang matematika. Kaisar mengirimkan buku karya Euclid dn karya-karya lain di bidang fisika. Gairah dalam pengembangan sains ini terus bertumbuh.

Ketika Harun Al-Rasyid menjadi khalifah (kelima, 786-809 M), Rumah Kebijaksanaan (Baitul Hikmah) didirikan untuk menggairahkan pengembangan sains. Upaya ini diteruskan oleh anaknya, Abul Abbas Al-Ma’mun. Ketika Al-Ma’mun menjadi khalifah (ketujuh, 813-833 M), para duta dikirimkannya ke Byzantium untuk mencari buku-buku sains Yunani dan menerjemahkannya. Ibnu Khaldun merekam episode ini dalam bukunya, Muqaddimah. Cerita ini sekaligus menjadi bukti bahwa peradaban Islam bukan kilometer nol.

Banyak saintis besar muslim yang dilahirkan ketika itu. Sebut misalnya, Ibnu Rusyd (filsuf), Ibnu Sina (filsuf, dokter), Al-Khwarizmi (matematikawan, astronom), Al-Kindi (filsuf), Sanad Ibnu Ali (astronom), Jabir Ibnu Hayyan (ahli metalurgi). Pada dasarnya banyak dari mereka yang merupakan polymath, menguasi lebih dari satu bidang. Para saintis inilah yang menghadirkan Zaman Keemasan Islam.

 

Sayap peradaban yang patah

Pada saat itu, sains digemari dan saintis dihormati. Pengembangan sains merupakan salah satu sayap peradaban Islam. Kapan dan mengapa sayap ini mulai patah? Tidak ada penjelasan tunggal yang disepakati bersama. Yang paling sering kita dengar adalah karena serangan bangsa Mongol yang meluluhlantakkan Baghdad pada pertengahan abad ke-13.

Namun, literatur menyimpan beragam teori, termasuk di dalamnya adalah krisis ekonomi di Iran pada abad ke-11 yang telah membuat para saintis bermigrasi, naiknya kuasa pemimpin agama yang menjadikan fokus berubah ke pengembangan ilmu agama dan memberi ruang terbatas untuk pengembangan sains. Penjelasan lain memasukkan konflik yang dimulai dengan Perang Salib, alokasi energi untuk layanan agama karena umat semakin bertambah, dan bahkan naiknya popularitas sufisme. Kejadian-kejadian di atas akan meruntuhkan dua pilar utama pengembangan sains: komunikasi dan dukungan dana.

Beberapa teori di atas, dibuktikan secara menarik oleh Eric Chaney, sejarawan alumnus Universitas Harvard yang saat ini mengajar di Universitas Oxford. Chaney menggumpulkan informasi 23.287 buku dari 4.056 penulis pada Zaman Keemasan. Informasi ini didapatkan dari koleksi Perpustakaan Universitas Harvard yang mencapai 13.283.463 buku. Tentu, tidak semua buku yang ditulis saintis Zaman Keemasan dapat diselamatkan dan disimpan di sana. Tapi, ikhtiar mencari penjelas berdasar data empiris melengkapi potret yang ada.

Ketika produksi sains di dunia Islam menurun, mulai abad ke-10 sampai ke-13, di negara-negara Eropa, terutama Spanyol, justru penerjemahan karya-karya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan Ibrani dilakukan secepat mungkin. Hasilnya adalah kelahiran kembali iklim saintifik yang ujungnya adalah transformasi peradaban Barat.

 

Mencari skenario bangkit

Variasi perspektif umat Islam di beragam pojok dunia, terhadap pengembangsan sains, direkam secara apik oleh Ziauddin Sardar dalam sebuah artikel di Nature edisi November 1979 yang berjudul “A revival for Islam, a boost for science?”. Meski perspektif yang muncul sangat positif, tapi sampai 2010, kontribusi negara-negara Islam dalam pengembangan sains dunia hanya sekitar 2%.

Sampai hari ini, hanya dua saintis muslim yang memenangkan Hadiah Nobel, yaitu Abdus Salam (asal Pakistan) di bidang fisika pada 1979 dan Ahmed Zewail (asal Mesir) di bidang kimia 1999. Keduanya melakukan penelitian di luar negaranya.

Herwig Schopper, mantan Direktur Jenderal CERN, pusat riset nuklir Eropa memberikan beberapa resep dalam tulisan berjudul “Where are the new patrons of science?” yang terekam di Nature, edisi November 2006. Pertama, riset yang ditujukan untuk kesejahteraan manusia perlu lebih dihargai. Dalam jangka pendek, hal ini memerlukan patronasi dari aktor politik papan atas. Kurangnya pendanaan disebut sebagai salah satu faktor yang bertanggung jawab atas rendahnya produksi sains di negara-negara Islam. Sumber daya juga harus disediakan secara memadai untuk riset dasar. Alokasi ini perlu dilihat sebagai investasi dan bukan pengeluaran.

Resep ini mengingatkan kepada praktik pada Zaman Keemasan. Dana yang besar dialokasikan oleh Al-Ma’mun untuk mendukung pengembangan sains. Karen Armstrong mencatat bahwa penulis buku dan penerjemah, pada saat itu, baik muslim maupun non-muslim, diberi penghargaan emas seberat buku tersebut.

Kedua, para saintis muslim perlu menguatkan jaringan internasional. Menurut Schopper, riset saintifik bermutu tinggi hanya dapat dicapai dengan kompetisi di tingkat internasional. Lagi-lagi, ini juga terjadi di Zaman Keemasan. Khalifah Al-Mansur dan Al-Ma’mun, misalnya mengirim utusan ke Byzantium untuk mendapatkan akses ke karya-karya saintis Yunani. Para saintis di Rumah Kebijaksanaan juga berasal dari beragam bangsa. Sebagai amsal, Al-Khwarizmi dan Ibnu Sina adalah orang Persia, Ibnu Rusyd orang Andalusia, Sanad Ibnu Ali orang Irak, dan Al-Kindi orang Arab.

Rumah Kebijaksanaan saat itu juga tidak hanya menjadi tempat berkumpul ilmuwan muslim. Di sana, misalnya ada Hunayn bin Ishaq yang Kristen, ilmuwan dan penerjemah yang handal. Ada juga Tsabit Ibnu Qurra (beragama Sabian) yang menerjemahkan karya dari bahasa Yunani, Ibnu Na’ima Al-Himsi (beragam Kristen) yang juga menerjemahkan karya dari bahasa Yunani ke Arab, dan Yusuf Al-khuri (pendeta Kristen) yang menerjemahkan buku dari bahasa Syiria ke Arab.

Berbeda dengan tesisnya Samuel Huntington, menurut Abdelhamid Sabra, sejarawan sains Islam dari Universitas Harvard, “Peradaban tidak berbenturan. Mereka saling belajar. Islam adalah contoh yang baik.” Dia ungkapkan itu dalam sebuah wawancara dengan The New York Times edisi 30 Oktober 2001, hampir dua dekade yang lalu. Di edisi yang sama, Farouk El-Baz, saintis ruang angkasa dari Universitas Boston yang terlibat dalam Proyek Apollo, memberikan perspektif menarik. Katanya, “Sains bersifat internasional. Tidak ada sains islami. Sains ibarat mendirikan bangunan besar, sebuah piramid. Setiap orang meletakkan bata. Bata ini tidak punya agama. Tidak relevan mendiskusikan warna kulit orang yang meletakkannya.”

 

Dua sayap mengepak

Gairah untuk mendalami ilmu agama (tafaqquh fi ad-din) sudah seharusnya tidak mengabaikan ikhtiar dalam pengembangan sains. Mungkinkah para saintis dianggap sebagai para mujahidin di “medan perang” yang berada di jalan Allah? (QS 9:122; Jami’ At-Tirmidzi 1385). Jika cacah kemunculan sebuah kata dalam Al-Qur’an menunjukkan tingkat kepentingannya, maka sains (‘ilm) dalam posisi yang sangat terhormat. ‘Ilm muncul sebanyak 105 kali, lebih banyak dibandingkan dengan penyebutan ad-din yang sebanyak 103 kali. Jika ini disepakati, maka kedua sayap peradaban Islam akan kembali mengepak.

Franz Rosenthal, orientalis dari Universitas Yale, dalam pengantar bukunya The Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, untuk menggambarkan posisi istimewa sains pada Zaman Keemasan, menulis: “Nyataya tidak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya yang sama dampaknya dengan konsep pengetahuan (‘ilm). … Tidak ada satu cabang pun dalam kehidupan intelektual muslim, kehidupan religius dan politik muslim, dan kehidupan sehari-hari muslim kebanyakan yang tidak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap pengetahuan sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi dalam menjadi seorang muslim.”

Ketika memberikan kritik terkait kondisi mutakhir, Ziauddin Sardar menyatakan bahwa umat Islam saat ini  dipaksa bertindak reaktif atas satu tantangan ke tantangan lain, bergerak dari satu jalan buntu ke jalan buntu lain. Menurutnya, umat Islam tidak mampu mengapresiasi kekuatan dirinya sendiri, memahami realitas kontemporer, dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat.

Pengembangan sains akan berbarengan dengan kemajuan sebuah bangsa. Banyak masalah manusia yang akan dipecahkan oleh sains, seperti ilustrasi pembuka di atas. Sembari mendalami ilmu agama, kini saatnya, menjadikan kembali pengembangan sains menjadi kredo setiap muslim untuk mendesain masa depannya dan tidak lagi terjebak di bawah bayang-bayang nostalgia masa lampau.

Ini adalah kerja kolektif peradaban. Tidak perlu membayangkan setiap muslim dapat memainkan instrumen yang sama karena akan menguras energi. Cukuplah setiap muslim sepakat untuk berada pada tangga nada yang sama: tangga nada peradaban baru.

Versi lebih singkat dari tulisan ini telah dimuat di Republika Online pada 27 April 2020.

 

covid-19

Persoalan yang muncul akibat Covid-19 diakui telah merangsek di berbagai sektor. Dunia pendidikan, tak terkecuali perguruan tinggi pun turut merasakan dampak dari mewabahnya virus Corona ini. Menanggapi hal tersebut, Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Webinar Talk Series Measuring the Global Impact of Covid-19 session 3 dengan judul The Impact of Covid-19 on Thailand Higher Education.

Read more

covid-19

Pandemi virus corona (Covid-19) membuat perguruan tinggi harus putar otak agar layanan pendidikannya tetap berjalan optimal. Selain mulai beralih ke platform daring, perguruan tinggi juga mengubah sistem pelayanan, asesmen penilaian, dan metode pembelajaran dalam praktek mengajar. Hal ini guna memastikan agar mahasiswa tetap mendapat kualitas pelayanan dan pendidikan yang sama layaknya sebelum pandemi. Seperti tengah diupayakan universitas yang ada di Inggris dan Taiwan.
Topik tersebut tercermin dalam kegiatan Webinar Series Mobilitas dan Internasionalisasi Perguruan Tinggi di Masa Pandemi Covid-19, Sharing session from UK and Taiwan. Kegiatan berlangsung pada Kamis (23/04) melalui aplikasi pertemuan daring.

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Tidak meratanya pendistribusian dokter di Indonesia masih menjadi persoalan, terlebihi di tengah situasi pandemi Covid-19 yang saat ini sudah di tetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah. Hal ini diharapkan juga menjadi perhatian para dokter lulusan Fakultas Kedokteran UII yang secara resmi dilantik dan diambil sumpahnya pada Kamis (23/4).

Read more

Beberapa lembaga non-pemerintah yang berbasis di Eropa menuding Tiongkok sebagai biang keladi pandemi virus corona (Covid-19) yang kini menyebar ke seluruh dunia. Mereka bahkan berencana membawa permasalahan itu ke Peradilan Internasional. Merespon isu tersebut, CLDS UII mengadakan seminar yang mengundang pakar hukum dan hubungan internasional. Acara diadakan secara daring sebagai langkah memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Read more

Pertukaran ide dalam diskusi yang seharusnya mencerahkan seringkali menjelma menjadi debat kusir yang menjengahkan. Debar kusir ini bisa terjadi di banyak tempat: angkringan, grup media sosial, atau ruang publik lain, seperti layar kaca. Yang mengasyikkan, di tengah kejengahan, kadang muncul hiburan ketika dalil “pokoknya”, jurus pamungkas, dikeluarkan oleh peserta diskusi.

Sialnya, kadang kita pun tanpa sadar melakukan hal serupa. Keberanian menertawakan diri sendiri merupakan sebuah kemewahan yang sudah jarang ditemui. Akhiri dengan koreksi diri. Mari berkaca dengan dua fragmen berikut.

 

Sumbu panjang

Di tengah ceramahnya, Car Nur (Nurcholis Madjid) menunjukkan surat belasan halaman yang dikirimkan ke Romo Franz Magnis-Suseno. Cak Nur juga menunjukkan surat tebal serupa dari Romo Magnis. Episode ini terjadi di suatu siang pada 1996, 24 tahun yang lalu, di Pondok Pesantren Al Kamal, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Cak Nur saat itu, kami undang menjadi salah satu pembicara Pesantren Wawasan Nasional (Sanwanas) yang rutin digelar oleh sekelompok mahasiswa lintasorganisasi antarkampus. Sanwanas merupakan kerja sama ideologis dan aksi antara pegiat Masjid Manarul Ilmi ITS, Jamaah Shalahuddin UGM, HMI Yogyakarta, HMI Semarang, Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB, dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) UIN Syarif Hidayatullah. Sanwanas pada saat itu menghadirkan banyak tokoh nasional, seperti Adnan Buyung Nasution, Adi Sasono, Din Syamsuddin, dan Budhy Munawar Rachman.

Apa isi surat Cak Nur dan Romo Magnis? Mereka berdua sedang mendiskusikan salah satu isu sensitif dalam agama. Karenanya mereka memilih jalur surat yang bersifat personal. Seingat penulis, menurut cerita Cak Nur, Romo Magnis keberatan dengan salah satu poin dalam tulisan Cak Nur. Alih-alih marah secara emosional, Romo Magnis mengirim surat sangat panjang kepada Cak Nur, yang berisi beragam argumen.

Cak Nur pun sama, membalasnya dengan surat yang tidak pendek, penuh dengan argumen dan sitasi literatur. Penulis tidak ingat berapa ronde pertukaran surat ini terjadi. Kawan Sanwanas penulis, yang saat ini tersebar dengan berbagai peran, yang membaca tulisan ini dan ingat episode tersebut dapat memverikasi. Begitu pun Romo Magnis yang masih sehat.

Bukan cacah ronde yang menjadi fokus tulisan ini. Sikap beliau berdualah yang menjadi pelajaran. Ini contoh diskusi personal yang tidak mudah kita cari padanannya. Keduanya tidak bersumbu pendek dan tidak mudah tersulut emosi.

 

Buku dilawan buku

Jika memutar waktu ke belakang, kita juga temui contoh diskusi akademik yang ciamik. Diskusi ini melibatkan beberapa tokoh besar.

Al-Ghazali mengkritisi pemikiran para filsuf, termasuk Ibnu Sina dan Al-Farabi, yang direkam dalam buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Al-Ghazali mengkritik ilmu filsafat yang digagas Ibnu Sina yang dianggapnya tidak sesuai dengan akidah Islam.

Ibu Sina yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern ini merupakan peminat karya-karya filsuf Yunani. Beragam buku dilahap oleh Ibnu Sina, termasuk, Organon karya Aristoteles yang membahas logika, Elements karya Euclid yang berisi matematika, Almagest besutan Ptolomeus yang mendiskusikan astronomi dengan pendekatan matematis, sampai Metaphysics karya besar Aristoteles tentang metafisika.

Buku yang terakhir ini membuat dahi Ibnu Sina mengernyit. Meski sudah mengulangnya sebanyak 40 kali, sampai agak hafal, tetapi tetap tidak paham, sampai akhirnya Ibnu Sina membaca buku On the Purpose of the Metaphysics karya Al-Farabi. Buku itu dibelinya seharga tiga dirham dari seseorang yang membutuhkan uang di pojok kota tempat tinggalnya, pada suatu sore.

Tidak banyak yang tahu kalau Ibnu Sina lebih banyak menulis buku filsafat dibandingkan kedokteran. Sebuah sumber menyebutkan, dari 240an karyanya yang bisa diakses sampai hari ini, sebanyak 150 terkait dengan filsafat dan “hanya” 40 yang membahas kedokteran.

Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Rusyd mempertanyakan pemikiran Al-Ghazali dan merekamnya ke dalam buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan). Ibnu Rusyd juga sepaham dengan beberapa poin pemikiran Al-Ghazali yang mengkritik Ibnu Sina.

Yang menarik, keempat nama besar ini tidak hidup sezaman. Ibnu Sina (980-1037) lahir 30 tahun setelah Al-Farabi (872-950) meninggal. Al-Ghazali (1058-1111) menghirup udara dunia 21 tahun setelah Ibnu Sina wafat. Ibnu Rusyd (1126-1198), hadir di muka bumi berselang 25 tahun dari mangkatnya Al-Ghazali.

Penulis tidak dalam kapasitas untuk membahas buku-buku berat yang ditulis orang-orang besar ini. Yang jelas, ketika mereka mengkritik sebuah pemikiran dalam sebuah buku, mereka menuliskannya ke dalam buku lain dengan konseptualisasi yang utuh. Tidak hanya dengan komentar menyengat yang mematahkan semangat dan ide mentah yang tidak dipikir panjang, apalagi dengan dalil “pokoknya” sebagai tanda terpojok. Mereka membaca betul argumen per argumen sebelum mengkritisi. Tidak hanya melihat ringkasan orang lain yang mungkin bias, apalagi hanya melihat sampulnya.

 

Pelajaran

Dua fragmen di atas menyimpan banyak pelajaran penting. Pahami setiap ide sebelum menyanggahnya. Matangkan ide tandingan sebelum mengeluarkannya. Jika tidak, siapkan diri untuk malu seperti seorang pesilat yang masih mentah jurusnya tetapi berani unjuk gigi dengan arogan. Tidak semua ide harus diketahui orang. Kadang kita cukup menyimpannya dalam-dalam; untuk dimatangkan atau menunggu waktu yang pas untuk dimunculkan.

Dalam berdiskusi, ada saatnya berbicara. Tetapi tidak jarang, kita harus mendengar. Kita harus tahu kapan mulut berbicara dan kapan telinga terjaga. Dalam diskusi tertulis, ini serupa dengan menulis dan membaca.

Tidak semua diskusi harus terjadi di ranah terbuka. Isu yang sensitif tidak perlu menjadi konsumsi publik. Nampaknya tidak sulit mencari contoh diskusi publik di negeri ini yang menuai cibiran. Publik memang sudah semakin dewasa, meski kadang tidak seperti yang kita duga.

Dalam berdiskusi, hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin. Mudah? Tidak juga. Kita perlu memperpanjang sumbu, fokus pada ide bukan pada orang. Jangan sakit hati ketika ide tidak terjual. Yang ditolak adalah ide kita, buka kita. Tidak ada ide yang sempurna. Satu lagi: dalam berdiskusi, jangan berharap semua orang harus mengikuti ide kita.

Diskusi yang mencerahkan inilah yang akan mengasah hati dan akal: modal untuk menjadi orang hebat yang tidak mudah dibeli harga dirinya. Ibnu Sina dalam otobiografinya menulis, asistennya yang sangat setia, Abu Ubayd al-Juzjani, sering melantunkan bait syair kepadanya: ketika aku menjadi hebat, tak satupun kota yang mampu menampungku; ketika hargaku naik, tak seorangpun yang sanggup membeliku.

Tulisan ini telah dimuat di Republika Online 23 April 2020, dengan judul yang berbeda.

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Virus corona (Covid-19) memberikan berbagai dampak bagi setiap instansi, tak terkecuali perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Islam Indonesia (UII) merespon perubahan ini dengan mengadakan Webinar Series bertemakan mobilitas dan internasionalisasi perguruan tinggi di masa pandemi Covid-19. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama empat hari mulai tanggal 22 sampai 30 April 2020 yang berlangsung melalui Google Meet.

Read more

UII merespon covid-19

Mewabahnya virus Covid-19 yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi globlal, hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Ketersebaran ‘pageblug’ ini pun telah menerobos batas-batas wilayah dan berdampak di beragam sektor. Situasi ini, mau tidak mau juga harus dihadapi oleh masyarakat di wilayah Yogyakarta.

Read more

Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (IKA FK UII) menyelenggarakan Webinar Series bertajuk “Perkembangan Terkini Covid-19”. Acara yang digelar pada pada Senin (20/4) itu selain mendiskusikan perkembangan terbaru Covid-19 juga menyorot kerja keras para tenaga medis di lapangan. Diskusi dan Seminar yang berlangsung secara daring tersebut menghadirkan tiga alumni Fakultas Kedokteran UII dari berbagai angkatan. Sebagai moderator, dr. Hafidz Alhadi Luqmana (Alumni FK UII 2007), dan dua pembicara, dr. Rahmat Nugroho (Alumni FK UII 2009), serta dr. Kiki Widyastuti Sp.P., M. Kes (Alumni FK UII 2002).

Read more

Menyebarnya virus Corona (Covid-19) yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia tidak hanya membawa dampak besar di bidang kesehatan. Covid-19 juga memberikan dampak global terhadap banyak aspek baik perekonomian, pendidikan, bahkan mempengaruhi hubungan antarnegara. Beberapa negara menghadapi perubahan drastis sebagai dampak adanya pandemi global itu. Hal inilah yang kemudian diarahkan oleh Program Studi Hubungan Internasional UII dengan mengadakan Webinar Talk Series Measuring The Global Impact of Covid-19 – Session 2 dengan mengangkat Topik “Dampak COVID-19 terhadap hubungan Tiongkok dan Eropa”. Kegiatan itu berlangsung pada Selasa (20/4) melalui platform daring guna meminimalisir dampak penyebaran Covid-19.

Read more