University rankings need a rethink“, demikian judul tulisan yang diterbitkan oleh Nature pada 24 November 2020 (Gadd, 2020). Bagi mereka yang familier dan peduli dengan metodologi pemeringkatan perguruan tinggi (PT), isu tersebut bukan hal baru. Sama sekali tidak mengagetkan.

 

Sejarah ringkas

Pemeringkatan perguruan tinggi bukan praktik baru. Praktik ini sudah dilakukan lebih dari satu abad lalu di Inggris, ketika jurnal bergensi The Lancet menerbitkan artikel berjudul “Where we get our best men“, pada 18 Agustus 1900.

Kemunculannya secara lebih luas dan terakses secara publik terjadi di Amerika, ketika US News and World Report melansir “America’s Best Colleges” pada 1983. Sekitar satu dekade kemudian, praktik serupa muncul di Inggris, tatkala harian The Times, meluncurkan “Good University Guide” pada 1993 (Marope & Wells, 2013).

Sekitar satu dasawarsa kemudian, pada Juni 2003, The Academic Ranking of World Universities (ARWU) diluncurkan. ARWU sangat elistis karena memasukkan poin pemenang hadial Nobel di dalam metodologinya. Selain ini, publikasi yang diperhitungkan dalam komponen hanya yang diindeks oleh Science Citation Index-Expanded (SCIE) dan Social Science Citation Index (SSCI) dan yang terbit di Science dan Nature .

Setahun kemudian, pada 2004, majalah Times Higher Education (THE) bekerja sama dengan Quacquarelli Symonds (QS) menerbitkan Times Higher Education World University Rankings. Kerja sama ini berjalan sampai 2009, sebelum mereka pecah kongsi. THE akhirnya berkolabarasi dengan Thomson Reuters sebagai pemasok data. QS membuat pemeringkatan sendiri menggandeng Elsevier yang menyediakan basisdata Scopus, mulai 2007.

Masih banyak lembaga pemeringkatan lain di luar sana, baik yang menggunakan indikator (yang diklaim) generik maupun yang spesifik pada bidang tertentu.

 

Minus dan plus

Beberapa pesan keras dibawa tulisan di Nature tersebut: pemeringkatan PT cacat dari lahir, digunakan dengan buruk, dan membudidayakan ketidakadilan (Gadd, 2020). Pemeringkatan sudah memunculkan debat sejak kemunculannya.

Sudah banyak pemikir yang menyatakan pendapatnya, baik melalui buku, artikel jurnal ilmiah, maupun kanal lain. Debat isu ini juga direkam dalam buku berjudul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses yang diterbitkan oleh Unesco pada 2013.

Sulit menghitung artikel jurnal yang membahas isu ini dari berbagai perspektif (e.g. Van Raan [2005]; Sih (2007); dan Amsler dan Bolsmann [2012]). Soh (2007) misalnya membuat daftar tujuh dosa besar pemeringkatan, termasuk presisi palsu, diskrepansi bobot dan redundansi indikator. Secara tajam, Amsler dan Bolsmann (2012) menyatakan bahwa pemeringkatan PT adalah telah membuat kelas kapitalis baru lintasnegara dan memfasilitasi bentuk baru eksklusi sosial.

Tentu, tidak semua pemikir memberikan kritik pedas. Banyak yang menjadikannya sebagai objek analisis dan menawarkan alternatif yang diklaim lebih komprehensif (lihat misalnya Guarino et al. [2005], Taylor & Braddock [2007], dan Amsler [2014]).

Terlepas dari plus dan minus pemeringkatan, nampaknya ada beberapa poin yang harus disepakati. Ekselensi PT perlu diupayakan dengan serius. Di dalamnya, termasuk memastikan dampak positif aktivitas akademik, baik dalam bentuk lulusan maupun artefak akademik yang berkualitas. Cara mengukurnya pun bisa beragam.

Selain itu, aroma komersialisasi pemeringkatan PT juga tercium kuat (lihat misalnya Vaughn [2002] dan beberapa tulisan dalam Marope, Wells, & Hazelkorn [2013]). Sebagian orang, bisa jadi, menganggap ini sebagai simbiosis mutualisme. Bagi lembaga pemeringkat, penerimaan dari PT akan meningkatkan legitimasinya. Sebaliknya, PT seringkali mengkapitalisasi hasil pemeringkatan untuk keperluan promosinya. Mungkin hal ini juga yang menjadikan praktik pemeringkatan semakin menguatkan eksistensinya.

Debat ini nampaknya tidak akan berujung. Ini mirip dengan berbalas pantun antara dua orang yang mempunyai energi berlebih. Setiap kubu mempunyai argumennya masing-masing. Setiap metodologi mempunyai basis dan dipastikan mempunyai kekurangan. Pemeringkatan pada intinya hanya efektif untuk komparasi, tetapi tidak untuk mendapatkan gambaran komprehensif.

 

Epilog

Sadar dengan hal ini, aforisme “All models are wrong, but some are useful” sering disitir oleh Ben Sowter, Senior Vice President Quacquarelli Symonds (QS) dalam banyak presentasinya.

Akhirnya, semuanya terserah kita. Gunakan hasil pemeringkatan dengan bijak dan jangan terjebak pada angka peringkat. Selisikan terhadap data nominal mentah, biasanya lebih banyak memberikan tilikan untuk pijakan perbaikan.

Selain itu, semua perlu dilakukan dengan satu catatan tebal: tidak ada ruang toleransi untuk praktik tidak etis dalam pemeringkatan, termasuk fabrikasi dan duplikasi data dengan sengaja.

Apakah praktik tidak etis ini ada? Garis demarkasi antara yang etis dan tidak etis bisa jadi sangat tipis. Verifikasi atasnya pun tidak mudah, karena tidak semua lembaga pemeringkatan membuka datanya. Wallahualam.

 

Referensi

Amsler, S. (2014). University ranking: A dialogue on turning towards alternatives. Ethics in Science and Environmental Politics13(2), 155-166.

Amsler, S. S., & Bolsmann, C. (2012). University ranking as social exclusion. British Journal of Sociology of Education33(2), 283-301.

Gadd, E. (2020). University rankings need a rethink. Nature587, 523.

Guarino, C., Ridgeway, G., Chun, M., & Buddin, R. (2005). Latent variable analysis: A new approach to university ranking. Higher Education in Europe30(2), 147-165.

Marope, M. & Wells, P. (2013). University rankings: The many sides of the debate. Dalam P.T.M. Marope, P.J. Wells, & E. Hazelkorn (ed.). Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Prancis: Unesco.

Marope, P.T.M., Wells, P.J. & Hazelkorn, E. (ed.) (2013). Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Prancis: Unesco.

Soh, K. (2017). The seven deadly sins of world university ranking: A summary from several papers. Journal of Higher Education Policy and Management39(1), 104-115.

Taylor, P., & Braddock, R. (2007). International university ranking systems and the idea of university excellence. Journal of Higher Education Policy and Management29(3), 245-260.

Van Raan, A. F. (2005). Fatal attraction: Conceptual and methodological problems in the ranking of universities by bibliometric methods. Scientometrics62(1), 133-143.

Vaughn, J. (2002). Accreditation, commercial rankings, and new approaches to assessing the quality of university research and education programmes in the United States. Higher Education in Europe27(4), 433-441.

 

Refleksi ringan, 29 November 2020.

Catatan: Tidak seperti biasanya, tulisan Pojok Rektor ini memang sengaja dibuat agak “berat” dengan banyak referensi.

Public figure sekaligus influencer, Zaskia Adya Mecca menjadi pemateri dalam rangkaian acara Growth Fest IBISMA UII yang diadakan secara daring pada Rabu (25/12). Webinar bertemakan “Inspiring Womenpreneur” Bangkit Perempuan Indonesia! ini mengupas bagaimana peran perempuan dalam memberikan dampak ke masyarakat serta menjalankan bisnis di masa pandemi.

Rininta Hanum, M.Eng. selaku Kepala Program Inkubasi IBISMA membuka sesi dengan mengatakan bahwa 80% UMKM yang ada di Indonesia dimiliki oleh perempuan. Hal tersebut terbukti bahwa wanita merupakan penggerak roda perekonomian yang ada di Indonesia. Perempuan juga dapat berperan penting terhadap perekonomian salah satunya melalui wirausaha.

Senada, Zaskia juga menegaskan sebagian produk endorse yang diterimanya juga dimiliki oleh perempuan. “Kelebihan dari perempuan itu bisa multitasking dan tetap fokus sama semuanya misalnya ketika aku menyetir aku  masih bisa nelpon dan bahas urusan lain. Berbeda sama mas Hanung apabila nyetirnya harus fokus dan jika tidak biasanya sudah nyasar yang harusnya belok malah lurus,” terang perempuan yang akrab disapa Bia itu.

Siasat Bisnis di Tengah Pandemi

Ia juga banyak bercerita bagaimana menjalankan usaha di masa pandemi. Menurutnya, sangat penting mengajak karyawan untuk turut merasakan kepemilikan dalam bisnis. Salah satunya dengan terbuka dengan kondisi keuangan perusahaan, keuntungannya, hingga modal yang dibutuhkan.

Di luar dugaan, walaupun di masa pandemi bisnis fashionnya tidak mengalami penurunan penjualan dan bahkan stabil. Para karyawannya tergerak menjadi tenaga pemasar, padahal biasanya hanya bagian pengemasan. Baju-baju, kerudung, dan produk-produk lain mereka tawarkan ke tetangga agar bisa mencapai target penjualan.

“Tapi targetku sendiri tidak ambil keuntungan yang banyak setiap produk, biasanya lebih dari sepuluh ribu sekarang cuma ambil sepuluh ribu. Tentunya agar banyak yang beli dan uangnya  bisa berputar untuk modal lagi”, imbuhnya.

“Usahaku yang lumayan agak terdampak itu di sektor oleh-oleh. Meski tidak sampai memberhentikan karyawan, namun sistem kerja diubah menjadi gajian per hari yang mereka masuknya juga cuma setengah hari. Dari situ aku mulai inovasi, tidak melulu jualan oleh-oleh, aku mulai membuat burger Bleger karena tidak mungkin menargetkan wisatawan di masa pandemi. Produk ku menyasar masyarakat Jogja dan aku pilih makanan yang bisa dimakan di mana aja, praktis, dan mengenyangkan.”, terangnya.

Tidak Melupakan Kewajiban

Zaskia mengingatkan bahwa memulai bisnis tidak harus diawali dengan uang yang banyak. Memulai suatu juga bisa melalui modal kreativitas, inovasi, inisiatif, dan konsistensi. Terlebih sekarang banyak teknologi yang bisa jadi sarana bisnis misalnya bikin akun instagram parenting atau akun yang ngebahas sehari satu Hadits dan akun lain yang sesuai dengan passion diri, ketika sudah mempunyai banyak follower bisa dijual atau dijadikan paid promote.

Rahasia suksesnya bisnis yang ia bangun adalah ridho dari suami. “Ingat kewajiban fokus pertama adalah menjadi seorang istri dan seorang ibu. Jika punya pemasukan lebih besar dari suami jangan sombong. Istri adalah makmum suami. Jika diawali dengan niat seperti itu insyaAllah berkah dan tambah dimudahkan Allah SWT.

“Konsep sedekah juga jangan dilupakan. Ketika memulai usaha kita harus ada niat sedekah karena usaha tidak cuma buat diri kita tapi juga buat orang lain,” ujarnya.

Zaskia menambahkan tips untuk selalu bahagia bahwa jangan pernah menjadikan semuanya beban. Ia menghilangkan semua standar dalam hidup. Misalnya standar anak harus punya nilai bagus, standar harus liburan ke luar negeri, dan menyederhanakan standar bahagia. (HN/ESP)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY dan Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama mengadakan webinar “Pilkada dan Partisipasi Politik Kaum Millennial” pada Kamis (26/11). Webinar bagian dari agenda KPU Goes to Campus ini bertujuan meningkatkan partisipasi politik kaum milenial dalam pilkada mendatang. Narasumber acara ini di antaranya Dr. Rohidin, S.H., M.Ag. selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni UII, Dr.rer.soc Masduki, MA, M,Si. selaku dosen Ilmu Komunikasi UII, dan Siti Ghoniyatun sebagai Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU DIY.

Read more

Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan Cilacs UII untuk menjalin jejaring kerjasama dengan berbagai institusi. Salah satunya kerjasama peningkatan kualitas pengembangan UKM bahasa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah. Belum lama ini, FEBI UIN Walisongo mengunjungi Cilacs UII untuk studi banding tentang manajemen pengelolaan unit bahasa. Pertemuan dengan memperhatikan protokol kesehatan berlangsung di Gedung Cilacs UII Unit Demangan Jl. Demangan Baru 24 Yogyakarta.

Perwakilan tamu disambut hangat oleh Lizda Iswari, M. Sc (Kepala Cilacs UII) didampingi oleh Aldhika Deinza, M.M (Kadep Litbang) serta Aisyiyah, M.M (Kadep Keuangan). Sedangkan rombongan FEBI UIN Walisongo dipimpin oleh Drs. Saekhu, M.H (Wakil Dekan III), Abdul Hakim, M.Ag (Kabag Tata Usaha), Nur Aini Fitriya Ardiani A, MBA (Dosen), Candra Hendrawan (DEMA FEBI), dan Alief Nurrohman (UKM ELC).

Dalam sambutannya, Lizda Iswari berterimakasih karena telah menjadi tujuan studi banding FEBI UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah. Menurutnya, keberadaan Cilacs UII saat ini diakui masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

“Perkembangan dan kemajuan Cilacs UII dari awal hingga saat ini melalui proses panjang yang dilakukan dengan komitmen yang tinggi oleh semua pihak. Untuk menumbuhkan kepercayaan tentu perlu dedikasi tinggi dan mewujudkan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat”, katanya.

Selanjutnya Lizda memaparkan bagaimana cara Cilacs UII mengelola produk jasa layanan bahasa yang dibutuhkan masyarakat. Pada prinsipnya, pelanggan adalah prioritas yang harus diutamakan, apapun kebutuhannya sebisa mungkin dipenuhi dengan mengedepankan kualitas.

Sementara itu, Saekhu menyampaikan bahwa kunjungan ini bertujuan untuk saling bertukar pikiran bagaimana meningkatkan upaya pengelolaan manajemen serta peningkatan kompetensi bahasa bagi mahasiswa. Lebih lanjut disampaikan bahwa pertemuan ini bisa menjadi inspirasi bagi kemajuan ELC FEBI UIN Walisongo Semarang di masa mendatang.

Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, kedua belah pihak juga menjajaki kemungkinan kerjasama yang bisa dilakukan untuk kemajuan institusi. Pertemuan ditutup dengan saling bertukar souvenir serta foto bersama sembari menyampaikan harapan agar pertemuan tersebut dapat membawa manfaat bagi kedua institusi.

Menjajaki Kerjasama Pelaksanaan Tes Bahasa Jepang  (JLFW)

Di kesempatan lain, Cilacs UII bertemu dengan International Testing Service (ITC)-Jakarta untuk menjajaki kerjasama dalam pelaksanaan tes kompetensi Bahasa Jepang, Japan Language for Foreign Workers (JLFW) di Yogyakarta. Kegiatan berlangsung di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan ditemui secara langsung oleh Kepala Departemen Pemasaran Cilacs UII, Aditya Suci, S.Pt.

Tes JLFW merupakan perangkat tes untuk mengukur kemampuan bahasa Jepang dasar dari The Japan Foundation. Tes ini diperlukan untuk mengukur kemampuan berkomunikasi dalam situasi sehari-hari dan lingkup pekerjaan di Jepang. Format tes adalah computer-based

Sejauh ini tes baru diselenggarakan di Jakarta dan Bandung, sehingga jika berjalan mulus Cilacs UII nantinya akan menjadi CTAS (Certified Test Administration Site) yang pertama di area Yogyakarta. Tes akan menampung peserta yang berasal dari wilayah D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Berbeda dengan tes JLPT, tes JLFW ini secara spesifik diperuntukkan bagi Tenaga Kerja Indonesia yang akan bekerja di Jepang.

Dengan tersedianya ujian sertifikasi kemampuan Bahasa Jepang ini dapat meningkatkan keterserapan tenaga kerja Indonesia yang mempunyai rencana untuk bekerja di luar negeri, khususnya Jepang.

Disampaikan Aditya Suci, saat ini Cilacs UII sedang melakukan persiapan dan pemenuhan persyaratan perangkat bersama FBE UII untuk pelaksanaan tes tersebut. (Ank/Adt/ESP)

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D, membuka Sekolah Online Ketahanan Keluarga (SEKOLA) pada Selasa malam (24/11). Acara yang diisi dengan studium generale Ketahanan Keluarga untuk Peradaban Rahmatan Lil Alamin ini menghadirkan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K).

Read more

Perempuan muda tersebut duduk dengan penuh konsentrasi di balkon salah satu ruang sidang komisi di gedung DPR RI. Jemarinya lincah mengetik dengan gawainya. Dia tidak sedang mengabaikan lingkungannya dan asyik dengan dunianya. Tetapi, dia sedang aktif membuat cuit dengan Twitter.

Perempuan itu bernama Hayati Indah Putri, pencetus dan pengawal WikiDPR.org, inisiatif nirlaba yang dengan sepenuh hati mengikuti dan mencatat diskusi pada hampir semua sidang di gedung tersebut. Kondisi hamil tidak menghalangi Mbak Indah, panggilan akrabnya, pemegang gelar master dari salah satu universitas terkemuka di Kanada, untuk ‘berkantor’ hampir setiap hari.

Dia dan puluhan relawan siap menjadi ‘penyambung suara wakil rakyat’ dengan menulis cuit secara langsung ketika sidang sedang berlangsung. Rangkuman sidang kemudian dimuat dalam laman WikiDPR.org. “Saya ingin rakyat tahu apa yang didiskusikan oleh wakilnya, melalui media sosial,” kata Mbak Indah ketika berdiskusi dengan penulis. Banyak orang mengatakan bahwa media sosial dapat menjadi kanal komunikasi antara rakyat dengan wakilnya, para politisi.

Betulkah demikian? Pengamatan dan diskusi penulis dengan beberapa politisi dan konsultan media sosial memberikan beberapa tilikan. Paling tidak terdapat empat mazhab terkait dengan media sosial yang diadopsi oleh para politisi.

Mazhab pertama adalah absen. “Saya mengandalkan pertemuan tatap muka dengan konstituen saya, sosial media tidak populer di kalangan mereka,” terang seorang politisi muda. Politisi tersebut termasuk aktivis media sosial, tetapi berasal dari sebuah daerah di mana penetrasi Internet dan sosial media tidak begitu kentara.

Media sosial tidak menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi. Hingar-bingar sosial media seringkali tidak mewakili jeritan mereka yang terpendam dalam. Untuk konteks seperti itu, penggunaan media sosial sebagai kanal partisipasi publik, laksana memberi sabun kepada pengungsi yang kelaparan.

“Saya sekarang sudah tidak percaya lagi dengan media sosial,” kata seorang konsultan media sosial yang terlibat banyak hajatan politik. Dia sering dijuluki “manipulator” media sosial, karena kecanggihannya dalam mempermainkan opini publik dengan beragam pesan di media sosial. Yang terpampang di media sosial adalah kosmetik untuk menjadikan seseorang politisi tampak lebih ‘kinclong’. Namun tidak demikian dalam kenyataannya.

Nampaknya banyak politisi yang kepincut dengan layanan manipulasi jenis ini. Inilah mazhab kedua, mazhab manipulatif. Penganut mazhab ini dapat menjadikan isu sepele menjadi penting atau sebaliknya, mengalihkan perhatian dari isu penting. Politisi bermazhab ini tidak jarang menggunakan jasa para selebritas media sosial dengan banyak pengikut untuk menggiring opini publik, dengan imbalan yang cukup fantastis. Sebuah cuit dapat berharga puluhan juta.

Observasi penulis di beberapa tempat menemukan mazhab ketiga, yaitu instrumental. Politisi mazhab ini menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan rakyat, tetapi dengan meminjam tangan orang lain. Kapasitas politisi yang terbatas adalah alasannya.

Pesan yang terunggah pada media sosial adalah cerminan sikap politisi tersebut, yang dilakukan oleh asistennya, atau lembaga yang dipimpinnya. Tidak ada yang salah dalam mazhab ini, meski komunikasi yang dibangun cenderung mekanis.

Adakah mazhab yang lain? Mazhab keempat bersifat tulen, “genuine”. Politisi dalam mazhab ini membangun komunikasi organik yang lebih humanis. Setiap pesan yang terunggah media sosial lahir dari ketikan tangan politisi tersebut. Mazhab ini banyak diisi oleh politisi muda yang melek teknologi dan tidak ‘jaim’.

Tidak semua politisi berani menjadi penganut mazhab ini. Hanya politisi dengan kadar keberanian dan kesabaran tingkat tertentu yang sanggup. Mereka siap menghadapi kemungkinan terburuk, berupa hujatan dan perundungan, atau ‘ditelanjangi’ secara daring. Mereka biasanya tidak tersandera masa lalunya.

Penganut mazhab manakah politisi pujaan Anda? Anda seorang politisi? Pengikut mazhab manakan Anda? Anda sendiri yang tahu.

Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik Opini SKH Kedaulatan Rakyat 15 Februari 2016. Tulisan diuggah ulang karena muatan masih relevan, terutama di masa menjelang musim pemilihan umum kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember 2020. 

Rakyat memiliki hak dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Proses tersebut tergambar lewat pemilu. Bagi calon wakil rakyat yang duduk di parlemen, integritas merupakan nilai penting yang menjadi tolak ukur kepercayaan rakyat. Di samping itu, dibutuhkan juga karakter sebagai kunci utama menjadi seorang pemimpin sukses. Kedua hal itu merupakan kunci ketika memasuki dunia politik dan kepemimpinan.

Hal tersebut dikemukakan alumni Fakultas Hukum UII yang menjabat sebagai anggota DPR RI Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, S.H., LL.M. Ia menyampaikannya ketika menjadi pembicara Webinar Nasional : Drama Panggung Politik Indonesia yang dihelat oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII) belum lama ini secara daring. Kegiatan ini merupakan rangkaian POLA UII 2020 (Politik dan Advokasi). Turut hadir Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan, Prof. Dr. Salim Haji Said, MA., MAIA. Jalannya diskusi dipandu oleh alumni FH UII yang saat ini sebagai News Anchor & Producer Net, Tomy Ristanto.

Read more

Kita semua bermula dari keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama kita sebelum banyak bersentuhan dengan dunia luar. Ibu dan Bapak kita yang mulia adalah gurunya. Saudara-saudara kita adalah para penyemangat yang membentuk sistem pendukung.

Kualitas keluarga sangat menentukan dalam membentuk kita. Keluarga adalah tempat untuk tumbuh bersama.

Lirik lagu Keluarga Cemara, satu dari sedikit sinetron bermutu yang tayang di layar kaca di pertengahan 1990an, sangat mewakili perspektif ini.

Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga.

Karenanya, menjaga kualitas keluarga menjadi sangat penting, sebagai tempat persemaian benih-benih baik, nilai fitrah dari manusia. Agama Islam, misalnya, berpesan kepada setiap kita untuk menjaga diri dan keluarga dalam satu paket, dari siksa api neraka. Dari kacamata operasional, ini berarti menjaga diri dan anggota keluarga menjadi orang baik secara konsisten. Keluarga yang terbina dengan baik akan memberikan ketentraman.

Apakah mudah? Tidak selalu. Iktiar terbaik harus selalu diupayakan, termasuk dengan selalu memperbanyak bekal.

Sekola, Sekolah Online Ketahanan Keluarga, merupakan sebuah ikhtiar untuk itu. Sekola akan mendiskusikan beragam perspektif untuk penguatan ketahanan keluarga. Konteks yang berubah dengan cepat, tak jarang menjadikan pendekatan lampau menjadi perlu dikalibrasi, untuk disesuaikan dengan kebutuhan mutakhir.

Saya ingin berbagi perspektif hasil refleksi dari seorang pelaku, yang sudah menjadi anak selama hampir dari 46 tahun dan sudah berkeluarga selama 22 tahun yang diperkaya dengan rekaman beragam cerita para guru dan senior yang sudah berhasil membina keluarga dengan baik dalam waktu yang lebih lama.

Paling tidak ada delapan kiat yang bisa digunakan untuk menguatkan ketahanan keluarga. Tentu daftar kiat ini dapat dibuat lebih panjang. Terlihat ringan disampaikan, tetapi tidak selalu mudah dijalankan secara konsisten.

Pertama, kelola emosi. Emosi atau nafsu amarah anggota keluarga yang tak terkendali tidak jarang menjadikan kedamaian keluarga terancam. Karenanya, emosi harus dikelola dengan bijak. Jika dibutuhkan, ada saatnya untuk melonggarkan ruang toleransi tanpa melanggar norma dan ajaran agama.

Kedua, eratkan hubungan. Hubungan dapat dieratkan dengan jalinan komunikasi yang sehat. Ada kejujuran, kenyamanan, dan nilai-nilai baik di sana. Suasana saling menghormati dalam menjalankan peran masing-masing sangatlah penting. Hal-hal kecil yang dijalankan secara istikamah, tak jarang sangat membantu dalam mengeratkan hubungan.

Ketiga, luruskan niat. Bingkai dengan niat suci. Berkeluarga adalah perintah agama. Mendidikan anak juga demikian. Jika bingkai ini selalu dijadikan dasar, insyaallah, bahan bakar ketahanan keluarga akan lestari langgeng dan penuh makna.

Keempat, upayakan moderasi. Setiap anggota keluarga adalah manusia yang mempunyai aspirasi. Aspirasi tersebut sangat mungkin beragam. Mencari titik temu yang pas akan sangat membantu kerekatan keluarga.

Kelima, atur stres. Manusia hidup pasti mengalami tekanan atau stres, karena inilah yang mendinamisasi hidup. Stres perlu dikelola, sehingga tidak sampai mencapai ambang batas yang dapat merusak kebahagiaan keluarga. Ada kalanya mengelola ekspektasi atas setiap anggota keluarga akan sangat membantu.

Keenam, rayakan kebersamaan. Keluarga adalah soal kebersamaan. Upayakan untuk menciptakan dan menikmati setiap momen kebersamaan keluarga. Untuk saat ini, ketika waktu semua anggota keluarga penuh dengan beragam kegiatan, kebersamaan menjadi kesempatan mewah yang patut selalu dirayakan.

Ketujuh, gaungkan pesan positif. Hiasi keluarga dengan pesan-pesan positif termasuk lantunan Kitab Suci. Saat ini, paparan informasi sulit dibendung. Tidak semua informasi tersebut benar dan mengandung manfaat. Penggaungan pesan positif akan menjadikan semua anggota keluarga mempunyai sensitivitas dan ketahanan informasi, sehingga tidak mudah termakan hoaks dan terlibat dalam praktik perundungan dan penyebaran ujaran kebencian.

Kedelapan, asah kepercayaan. Ketenangan diri tidak mungkin tercipta ketika rasa curiga selalu ada. Latih untuk percaya kepada setiap anggota keluarga: saling mempercayai dan saling dapat dipercaya. Khusus untuk anak-anak, orang tua harus selalu dekat, tetapi dengan tetap menjaga jarak nyaman.

Kita ulang kedelapan kiat di atas: kelola emosi, eratkan hubungan, luruskan niat, upayakan moderasi, atur stres, rayakan kebersamaan, gaungkan pesan positif, dan asah kepercayaan. Semuanya bisa diringkas dalam satu singkatan: KELUARGA.

Semoga penguatan ketahanan keluarga, bisa menjadi ikhtiar untuk menghasilkan generasi penerus yang kuat seperti perintah agama. Allah berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa 9).

Semoga Allah memudahkan kita dalam membina keluarga dan mendidik generasi penerus yang kuat dalam hal akidah, ibadah, ilmu, dan ekonominya.

Sambutan dalam pembukaan Sekola, Sekolah Online Ketahanan Keluarga, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia, mulai 24 November sampai dengan 22 Desember 2020.

Segudang penelitian yang telah dilakukan Prof. Dr. Is Fatimah, S.Si., M.Si., menjadikan dirinya sebagai salah satu “Top 2% World Ranking Scientists”. Sepak terjang Prof. Is Fatimah dalam dunia penelitian memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Pasalnya, ini bukanlah kali pertama dirinya mendapat penghargaan sebagai seorang peneliti. Sejumlah penghargaan sudah pernah diraihnya, seperti The World Academy of Science Research Grant 2015-2016, Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) Research Grant 2016, dan masih banyak lagi. Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Menjaga kesehatan pasca kelahiran merupakan hal penting untuk kita perhatikan, baik untuk ibu dan anak. Kesehatan mental seorang ibu menjadi krusial dalam mengasuh, merawat anak dan menjalankan tugasnya sehari-hari secara lebih baik. Tetapi terkait kesehatan mental ini terkadang sering disepelekan, baik oleh pasangan, keluarga, lingkungan dan bahkan oleh ibu itu sendiri. Topik kesehatan mental seorang ibu ini, menjadi tajuk utama pada Webinar Series “Seribu Hari Pertama Kehidupan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII), Sabtu (21/11).

Read more