Menguatkan dan merealisasikan nilai dan tujuan dalam berkeluarga menjadi hal penting guna memicu terbangunnya keharmonisan seluruh anggota keluarga. Hadirnya pandemi telah memberikan dampak bagi ketahanan keluarga. Semakin baik ketahanan keluarga, semakin baik pula kemampuan keluarga menghadapi perubahan akibat pandemi dan pasca pandemi. Dengan memilih kebijakan yang tepat dapat mencegah keluarga di Indonesia berada dalam situasi krisis sekaligus memastikan ketahanan keluaga tetap utuh dan tangguh.

Read more

Saya memulai tulisan ringkas ini dengan pertanyaan untuk menguji akal sehat kita. Jika ada dua hal yang berbeda, apakah keduanya selalu berseberangan secara diametral? Setelah merenung sejenak, nampaknya tidak sulit untuk bersepakat bahwa hal-hal yang berbeda tidak selalu bertentangan. Bahkan, sebagian dari kita sampai pada kesimpulan tambahan: yang berbeda itu bisa jadi berangkat dari posisi berdiri yang berbeda, dan ujungnya, bisa saling melengkapi.

Pola pikir seperti ini penting untuk menghindarkan diri dari jebakan berpikir sempit dan bersumbu pendek. Tidak sulit mencari contoh, energi umat atau bangsa sudah banyak bocor karena jebakan ini. Akibatnya mengerikan: setiap yang berbeda harus dimatikan dan akhirnya hadir adalah monopoli tafsir kebenaran: yang lain salah dan yang benar hanya dirinya atau kelompoknya.

Dalam konteks perspektif terhadap Islam, misalnya, mari kita lihat beberapa contoh ringan tetapi bisa membawa kita ke dalam diskusi serius yang mendalam. Kata “Islam” tidak jarang diberi predikat yang mencirikan sebuah perspektif yang dianut (sebuah konsep), seperti Islam inklusif (di mesin pencari ditemukan 19.000 entri), Islam pribumi (7.660), Islam puritan (9.400), Islam moderat (204.000), Islam rasional (24.900), Islam rahmatan lil alamin (349.000), Islam syari’at (37.700), Islam transformatif (16.500), Islam liberal (251.000), Islam pluralis (7.110), Islam kebangsaan (42.400), Islam berkemajuan (70.300), dan Islam nusantara (2.030.000). Angka entri di mesin pencari “hanya” untuk memberikan gambaran bahwa konsep tersebut nyata dan dikembangkan.

Konsep tersebut juga terdokumentasi, dilantangkan, atau mewujud dalam bentuk kajian serius, seperti disertasi, jurnal ilmiah, buku, dan bahkan sebuah gerakan kolektif.

Mari jujur akui, seberapa sering kita memikirkan irisan atau persamaam dari beragam “konsep” tersebut? Sebaliknya, apakah energi kita lebih sering kita gunakan untuk mempertentangkannya? Pertentangan tersebut bisa mewujud dalam beragam bentuk, mulai keenggaan berkomunikasi, ketidakmauan bekerjasama, sampai saling menyindir, saling merundung, saling menghinakan, dan bahkan mengkafirkan. Yang terakhir ini sudah melampaui kewenangan manusia, dan menjadi Tuhan, karena sudah mengkapling surga dan neraka untuk manusia.

Jika ini yang terjadi, akan sulit membayangkan berapa banyak energi umat yang terbuang, karena sangat luar biasa. Sebaliknya, jika titik temu (kalimah sawa) dapat diikhtiarkan bersama, saya termasuk yang yakin, umat akan mengumpulkan energi melimpah untuk maju. Di sinilah pentingnya titik temu, melihat irisan terbesar dari setiap perbedaan dan membangun semangat ko-eksistensi, hidup bersama berdampingan dan saling menghargai.

Pesan agama Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, sangat jelas: kita dilarang mengolok-olok kelompok lain, karena bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik (QS Al-Hujurat 49:11). Pun demikian, sampai hari ini, tidak sulit mencari contoh penganut aliran nyinyirisme, yang menikmati ketika menghujat kelompok lain.

Tema Sekolah Pemikiran Islam (SPI) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII) kali ini, Islam kebangsaan, pun sangat mungkin juga mendapatkan nyinyiran. Alasan bisa dicari dan argumen bisa diproduksi. Tema ini menurut saya penting, tanpa bermaksud memborong habis tafsirnya, karena dalam beberapa tahun terakhir, muncul pemahaman yang ingin mempertentangkan ghirah keislaman dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Dua hal ini seharusnya bisa kita teriakkan dalam satu tarikan nafas: “Merdeka, Allahu akbar!”.

UII sendiri dibangun di atas dua semangat atau nilai ini. UII yang dalam bahasa Arabnya Al-jami’ah Al-islamiyah Al-Indunisiyah, berarti Universitas Islami Indonesiawi. Ghirah keislaman dan semangat kebangsaan, karenanya selalu kita ikhtiarkan untuk dirawat dan dikembangkan.

Tema kali ini juga mengusung konteks temporal: masa pandemi. Saya membacanya ini sebagai semangat untuk menjadikan Islam sebagai solusi sesuai dengan tuntutan zaman. Tentu ajaran Islam normatif dalam teks suci perlu ditadabburi untuk diopersionalkan. Inilah saatnya kita membangun kesadaran bersama untuk menjadi ajaran agama sebagai gas, pendorong perubahan. Sebaliknya, jangan terjebak sikap yang hanya menjadikan agama sebagai rem, untuk menakut-nakuti. Dua aspek ini harus selalu disandingkan, karena rasulullah diutus menjalankan dua misi ini: membawa kabar gembira (mubasysyiran) dan memberi peringatan (nadziran).

Gembira dengan agama kita dan beragama dengan gembira sangatlah penting, terutama untuk generasi milenial yang membutuhkan pendekatan pas untuk dakwah yang menggerakkan, untuk menjadi orang baik dan bermanfaat.

Sambutan pada Pembukaan Sekolah Pemikiran Islam ke-4 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia dengan tema “Islam Kebangsaan dan Peran Pemuda Milenial di Era Pandemi” pada 12 Agustus 2020.

Sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi dinilai semakin mendesak. Data menunjukkan pada tahun 2019, tenaga kerja konstruksi yang bersertifikat baru sekitar 9%. Hal ini dikemukakan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga dosen Teknik Lingkungan UII, Dr.-Ing. Ir. Widodo Brontowiyono, M.Sc. melalui aplikasi pesan singkat yang diterima Bidang Humas Universitas Islam Indonesia (UII) pada Selasa (11/8).

Read more

Tema diskusi malam ini adalah “merawat intelektualisme, meruwat demokrasi”.  Tema ini memberi dua pesan kepada kita. Pertama, bahwa intelektualisme, konsistensi untuk selalu mempertanyakan banyak hal berdasar ilmu, harus dijaga. Tujuannya adalah menjaga kewasaran nalar. Tidak hanya nalar personal, tapi lebih dari itu, adalah nalar kolektif. Kedua, demokrasi tidak tumbuh dengan sendirinya. Diperlukan adanya intervensi aktif untuk merawatnya dengan sepenuh hati.

Mengapa demokrasi perlu diruwat? Demokrasi di Indonesia masih berusia muda. Di sini, demokrasi diterjemahkan dalam bingkainya yang sangat luas. Salah satu hal penting dalam demokrasi, adalah bahwa kanal suara publik dibuka dan masukannya diperhatikan. Singkatnya: kebebasan berpendapat dijamin. Mengapa ini penting? Indonesia pernah berada di suatu masa ketika bersuara jujur saja bisa berujung di penjara dan keputusan negara sangat elitis, meski menyangkut hajat hidup orang banyak.

Salah satu buah reformasi pada 1998 adalah ruang publik yang lebih nyaman untuk mendiskusikan banyak hal. Publik mulai diberikan kanal kebebasan untuk menyampaikan opini dan aspirasi. Inilah salah satu esensi demokrasi yang harus disyukuri sebagai anak bangsa.

Meski tidak sulit untuk bersepakat bahwa ada ekses dari ini. Pengalaman berdemokrasi yang baru seumur jagung dan proses menjadi bangsa yang belum tuntas, nampaknya turut memberi andil. Tidak sulit mencari bukti munculnya konflik negara berhadapan dengan warganya dan konflik horisontal antarwarga. Politik primordial dan politik identitas, untuk kepentingan kelompok sesaat, adalah beberapa bukti lain, bahwa Indonesia masih memerlukan waktu untuk utuh menjadi sebuah bangsa.

Acemoglu dan Robinson (2020) dalam bukunya The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, membahas mahalnya harga kebebasan. Mereka berargumen bahwa kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.

Masih menurut Acemoglu dan Robinson, kebebasan membutuhkan koridor, bukan pintu, karena mencapainya adalah sebuah proses yang merupakan sebuah perjalanan panjang sampai kekerasan dikendalikan, hukum ditulis dan ditegakkan, dan layanan publik yang berkualitas disediakan. Dalam perjalanan ini, negara dan para elit belajar hidup bersama kekangan yang dibuat oleh warga, dan beragam segmen warga harus belajar bekerja sama di tengah keragaman.

Menjamin adanya kebebasan sangatlah menantang, dan tidak jarang koridornya menyempit atau dipersempit karena kepentingan tertentu. Aksi “borong habis tafsir demokrasi”, meminjam istilah dari Prof. Ni’matul Huda, oleh para elit dalam kekuatan oligarki bisa membahayakan persatuan bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sulit menjadi bukti pola pikir dikotomis, “dia” versus “saya”, “mereka” lawan “kita”, dalam beragam jargonnya, marak ditemukan di kalangan warga negara. Dampak negatifnya menjadi sangat berbahaya, ketika semakin banyak warga tidak siap menjadi pemikir mandiri, yang diperparah dengan kemampuan verifikasi minimal.

Lagi-lagi, di sini, intelektualisme yang mempunyai peran penting untuk menjaga nalar bangsa tetap sehat. Intektualisme menjadi ikhtiar menuju pemikir mandiri dan tidak terbawa arus narasi publik, yang tidak kalis dari kepentingan pada desainernya. Saat ini, kemandirian berpikir menjadi sangat pengting ketika opini emosiona lebih dominan di masa pascakebenaran.

Saya melihat lewat tulisan-tulisannya, Mas AE Priyono memberi contoh kepada kita untuk tak lelah, terus berpikir secara serius. Tidak hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu personal, tapi lebih dari itu, untuk mengedukasi dan membuat perbedaan di tangah-tengah masyarakat. Termasuk buah intelektualisme, adalah kritik jujur terhadap ketidakadilan dan hilangnya akal sehat, yang dilandasi rasa cinta kepada Indonesia dan rindu akan hadirnya bangsa yang lebih bermartabat.

Saya harus melakukan pengakuan. Secara personal saya tidak pernah satu orbit fisik dengan Mas AE. Saya mengenal Mas AE lewat tulisan, termasuk status kritisnya di Facebook, dan cerita para senior di Universitas Islam Indonesia. Sangat jelas terlihat bahwa Mas AE adalah penekun pemikiran serius yang istikamah menjaga keyakinannya.

Lewat tulisan, Mas AE telah menyuarakan kegelisahannya untuk kebaikan bangsa ini, dengan pilihan sikap tegas dan gaya lugas. Untuk penyuka perubahan, tulisan kritisnya sangat bernas. Tapi, bagi mereka yang berseberangan, tulisannya mungkin terasa pedas dan membuat telinga panas.

Selamat jalan Mas AE. Saya yakin, Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuk Njenengan.

Sambutan pembuka pada diskusi bedah buku “Menolak Matinya Intelektualisme” dan “Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi” untuk mengenang wafatnya Mas AE Priyono, 10 Agustus 2020.

Semakin berkembangnya teknologi informasi serta meluasnya jangkauan internet dan penggunaan media sosial memunculkan berbagai permasalahan baru. Salah satunya yakni kekerasan berbasis gender di dunia maya/online (KBGO). Fenomena tersebut diakui sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia paling luas yang difasilitasi kemajuan teknologi. Ironisnya, kaum perempuan menjadi target utama. Secara global, data menunjukkan bahwa satu dari tiga wanita mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya. Tindakan ini sering digunakan untuk menyerang, menindas atau membungkam perempuan di ruang pribadi dan publik dunia maya.

Read more

Banyak tantangan yang akan dihadapi di era new normal. Salah satunya yakni di bidang pemasaran dengan mengikuti model gaya hidup baru. Tips menghadapi tantangan ini dibahas dalam webinar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (IKATI UII) pada Minggu (9/8).

Read more

Sukses membawa bisnisnya hingga ke kancah mancanegara tak lantas membuat Syarif Ihsanuddin menelantarkan perkuliahannya. Mahasiswa semester enam Program Studi Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) ini mengaku sudah mengenal bisnis sejak 2016 saat dirinya masih menempuh pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). “Karena latar belakang orang tua juga pengusaha, jadi dari dulu saya udah nggak asing lagi sama dunia usaha,” jelasnya dalam Bincang Bareng Mahasiswa (BBM) Ekonomi Islam pada, Sabtu (8/8).

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Bincang Sejarah Komunikasi seri 5 dengan topik Membaca Ulang Sistem Penyiaran Indonesia: Dari Era Kolonial Belanda Hingga Pasca Suharto, pada Sabtu (8/8). Bincang sejarah yang diadakan melalui zoom meeting kali ini menghadirkan pembicara Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si., M.A., dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII.

Read more

Pandemi berdampak pada kesehatan fisik dan mental. Aktivitas kuliah dan sekolah yang masih berjalan secara daring juga berpotensi membuat jenuh dan stres. Berkaitan dengan topik ini, Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar seminar kesehatan bertemakan Healthy Lifestyles and Innovation Strategis for The New Normal secara virtual pada Sabtu (8/8). Agenda ini menghadirkan narasumber Founder @bismillahofficial, Narendra Rangga R, S.Ked. dan Duta Generasi Berencana Indonesia 2019, Fachri Muzaki T.A.

Read more

Setiap orang pasti mendambakan kulit yang cantik dan hidup sehat. Oleh karenya, kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat kini semakin besar. Dalam seminar yang diadakan oleh Takmir Masjid Ulil Albab pada Sabtu (8/8), memberikan pencerahan bahwa mengonsumsi makanan sehat setiap hari tidaklah sulit. Sebab banyaknya varian makanan yang dapat dikonsumsi. Seminar yang digelar secara daring dengan judul Miracle of Foods for Beauty Skin ini menghadirkan pembicara dr. Ferihana, Owner Klinik Gratis Dhuafa serta Pengajar di Madrasah Uwais Al-Qorniy.

Read more