Diskursus dan ikhtiar integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami[1] sudah lama digaungkan, mulai sekitar lima dekade yang lalu, di awal 1970an. Istilah awal yang digunakan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa tokoh besar bisa dituliskan di sini, termasuk Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Naquib Al-Attas. Beragam pendekatan diusulkan. Al-Faruqi mengusulkan tiga tahapan dalam islamisasi, dengan menguasai disiplin modern, menguasai warisan disiplin islami, dan melakukan sintesis kreatif keduanya (Al-Faruqi, 1987). Al-Attas mengusulkan dua tahapan besar: isolasi elemen yang membentuk peradaban dan infusi elemen islami.

Inisiatif tersebut pun tidak serta merta disambut positif. Kritik dengan argumentasi beragam dialamatkan, mulai dari sudut pandang epistemologis, ranah disiplin, sampai dengan strategi praksis. Sesuatu yang sangat lazim dalam dunia akademik.

Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam ranah tersebut secara mendalam. Pembaca yang tertarik dengan diskursus ini dapat merujuk misalnya ke Rahman (1988), Nasr (1991), Stenberg (1996), dan Hashim dan Rossidy (2000).

 

Memperkuat alasan integrasi

Beragam alasan muncul dalam literatur mengapa integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami. Saya hanya ingin menekankan dua poin, di sini.

Pertama, integrasi harus diniatkan untuk meningkatkan kualitas. Pengembangan psikologi islami, misalnya, harus membuktikan bahwa sub-disiplin ini (jika kita ingin menyebutnya seperti itu) menawarkan perspektif baru yang menjawab masalah yang belum dapat dipecahkan secara baik oleh perkembangan disiplin psikologi mutakhir. Atau paling tidak, memberi alternatif baru untuk pemecah masalah yang lebih efektif di kelompok muslim. Tetapi lebih dari itu, validitas kontribusi psikologi islami seharusnya perlu diuji dengan penggunaannya di luar komunitas muslim, dengan penyesuaian yang diperlukan.

Kedua, integrasi bisa berkontribusi memperkuat landasan epistemologis atau bahkan landasan etis dan teologis pengembangan disiplin psikologi, terutama di kalangan muslim. Di sinilah, perlunya kalangan muslim mendesain masa depannya sendiri untuk berkembang bersama dengan peradaban lain saling berdampingan.

Dalam konteks ini, saya lebih suka mengedepankan semangat ko-eksistensi peradaban dibandingkan dengan benturan peradaban seperti diungkap oleh Huntington (1996). Catatan sejarah pengembangan ilmu pengetahuan di Zaman Keemasan Islam, nampaknya dapat menjadi argumen. Pada saat itu, banyak ilmuwan non-muslim yang terlibat dan bekerja sama dengan para ilmuwan muslim. Menurut Abdelhamid Sabra, sejarawan sains Islam dari Universitas Harvard, “Peradaban tidak berbenturan. Mereka saling belajar. Islam adalah contoh yang baik.” (Overbye, 2001). Tentu, sangat mudah dipahami bahwa pendapat ini dapat memantik diskusi lanjutan.

 

Mendesain masa depan

Pengembangan psikologi islami bisa menjadi bagian dari ikhtiar sepanjang hayat ini: mendesain masa depan baru, membangun peradaban baru. Umat Islam perlu meningkatkan literasi dan kemampuan dalam mendesain masa depannya sendiri. Dengan demikian, umat Islam diharapkan lebih proaktif terhadap perkembangan mutakhir dan tidak membocorkan banyak energi karena pendekatan “pemadaman api” karena bersifat reaktif atas satu tantangan ke tantangan lain dan bergerak dari satu jalan buntu ke jalan buntu lain. Menurut Sardar (2006), hal ini terjadi karena umat Islam tidak mampu mengapresiasi kekuatan dirinya sendiri, gagap dalam memahami realitas kontemporer, dan lambat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat.

Integrasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai islami, bisa dianggap sebagai kesadaran mengenali kekuatan internal, mendedah harta karun khazanah islami.  Ini adalah salah satu anak tangga menuju masa depan.

Ada pertanyaan penting di sini, yang perlu mendapatkan jawaban, supaya energi umat tidak banyak mengalami kebocoran. Pertanyaanya adalah: masa depan yang mana?

Berangkat dari kesadaran ini, Sardar dan Sweeney (2016) memberikan arahan. Masa depan dari perspektif temporal dapat dibagi menjadi tiga, masa depan dekat (extended present, 1-10 tahun ke depan), masa depan menengah (familiar futures, 10-20 tahun), dan masa depan jauh (unthought futures, lebih dari 20 tahun). Setiap tahapan ini mempunyai cirinya masing-masing, termasuk tingkat ketidakpastian dan penguasan pengetahuan tentangnya yang kita punya. Karenanya, setiapnya juga membutuhkan strateginya masing-masing untuk mengimajikannya.

Di sini, saya ingin menambahkan satu aspek lagi. Selain atribut temporal masa depan yang menjadikannya jamak (tidak tunggal) dari sisi horizon waktu, masa depan yang diimaji setiap komunitas muslim atau bahkan setiap muslim sangat mungkin berbeda. Kita bisa menyebutkan sebagai atribut komunal (atau bahkan atribut personal) masa depan.

Beberapa orang mungkin membayangkan kesatuan masa depan, tapi pengalaman empiris berabad-abad nampaknya tidak memberikan ruang untuk itu. Memaksakan imaji masa depan tunggal sendiri memerlukan energi yang luar biasa, dan jika gagal membingkainya dalam semangat ko-eksistensi, justru dapat menjadi pemantik benturan yang semakin membocorkan semakin banyak energi. Tidak terlalu sulit mencari contoh kasusnya di Indonesia.

Karenanya, koridor yang agak longgar perlu dibangun untuk mewadahi keragaman imaji masa depan ini. Semua pemilik imaji masa depan harus merasa nyaman berjalan bersama dalam koridor ini. Jika semangat ini dijaga, maka imaji masa depan yang berbeda akan konvergen pada muara yang sama, tanpa saling menafikan atau menjadikan resulante gaya yang dikeluarkan saling meniadakan. Menyepakati batas-batas koridor sendiri bukanlah pekerjaan ringan.

Untuk menghindari pontensi benturan dan menjaga pagar koridor, aktivitas memperbincangkan keragaman imaji masa depan ini menjadi penting. Untuk apa? Untuk mencari irisan terbesar dan mengembangkan semangat saling memahami dan menghormati.

Wallahualam bissawab.

 

Referensi

Al-Faruqi, I. R. (1987). Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan. Herndon: International Institute of Islamic Thought.

Hashim, R., & Rossidy, I. (2000). Islamization of knowledge: A comparative analysis of the conceptions of AI-Attas and AI-Fārūqī. Intellectual Discourse8(1), 19-44.

Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster.

Nasr, S. V. R. (1991). Islamization of knowledge: A critical overview. Islamic Studies30(3), 387-400.

Overbye, D. (2001). How Islam won, and lost, the lead in science. The New York Times, 30 Oktober. Tersedia daring: nytimes.com/2001/10/30/science/how-islam-won-and-lost-the-lead-in-science.html

Rahman, F. (1988). Islamization of knowledge: A response. American Journal of Islamic Social Sciences5(1), 3-11.

Stenberg, L. (1996). The Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing and Islamic Modernity (Vol. 6). Lund: Religionshistoriska avdelningen, Lunds universitet.

Sardar, Z. (2006). What do we mean by Islamic futures? Dalam M Abu-Rabi’. The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (hal. 562-586). Malden, MA: Blackwell Publishing.

Elaborasi ringan dari sambutan pembuka pada The 2nd International Intensive Course on Islamic Psychology (IICIP 2020) yang diselenggarakan secara daring oleh Jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan The International Institute of Islamic Thought Indonesia dan International Association of Muslim Psychologists (IAMP), pada 7-21 November 2020.

[1] Penggunaan istilah nilai-nilai islami atau psikologi islami nampaknya lebih tepat dibandingkan dengan nilai-nilai Islam atau psikologi Islam. Islami di sini sebagai kata sifat atau ajektif.

Tak terhitung tahun kita lewati, banyak prestasi yang sudah digapai, sudah 26 tahun Informatika UII berkiprah, teruslah berkibar almamaterku tercinta. Pantun ini dibawakan Sri Winiarti, S.T., M.Cs., alumnus angkatan pertama Jurusan Informatika Universitas Islam Indonesia (UII) yang kini menjabat Dekan Fakultas Teknologi Industri Universitas Ahmad Dahlan. Ia menjadi moderator dalam acara Talkshow Milad Informatika UII bertajuk “Reflection Diversity and Unity”.

Read more

Sukses Berkarir Sesuai Syariat Islam

Perasaan negatif yang dialami akibat tidak bisa terhubung, tidak bergabung, ketinggalan ataupun kelewatan momen yang dimiliki oleh orang lain hampir dialami oleh semua orang. Hal ini dikemukakan Clinical Psychologist Candidate Zunea Farizka Azyza H.U., S.Psi., di webinar nasional yang diadakan oleh Pusat Studi Psikologi Islam Universitas Islam Indonesia (UII), beberapa waktu yang lalu. Webinar yang mengangkat tema Fear of Missing Out (FoMo) ini dihadiri ratusan peserta dari seluruh Indonesia. Dalam materinya ia mengambil judul “It’s your life you’re missing out on”.

Read more

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Wakil Rektor Bidang Networking & Kewirausahaan Universitas Islam Indonesia (UII), Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. mengemukakan perkembangan jumlah mahasiswa asing yang menempuh studi menjadi faktor ukuran kesiapan dan kinerja perguruan tinggi dalam menghadapi persaingan global. Karenanya penyelenggaraan program internasionalisasi harus dapat dipersiapkan dengan matang.

Read more

Pentingnya Menjaga Sport Performance

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar Growth Festival dengan menggandeng beberapa mitra strategis dalam kerangka penta-helix dari ekosistem inovasi dan kewirausahaan di Indonesia. Kegiatan tahunan ini bertujuan untuk mendorong pemanfaatan hasil penelitian dan invensi di perguruan tinggi. Selain itu juga untuk mendorong berbagai macam aktivitas pengembangan kewirausahaan dari sivitas akademika yang kemudian dihilirisasi dan dikomersialisasi demi menyelesaikan berbagai persoalan bangsa melalui inovasi.

Read more

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini menjadi hal yang tak terpisahkan dalam perkembangan teknologi modern. Pembahasan mengenai AI tersebut menjadi tema utama dalam webinar yang diadakan Program Studi Informatika UII pada Sabtu (31/10). Agenda webinar bertema “Applied AI” ini bertujuan mengeksplorasi penelitian berkelanjutan di bidang informatika. Narasumber yang dihadirkan adalah Izzati Muhimmah, Ph.D dari UII dengan bahasan tentang Computer Aided Pathology. Selanjutnya ada Hansung Lee, Ph.D dari Universitas Youngsan, Korea Selatan dan Dr. Yuliant Sibaroni dari Universitas Telkom.

Read more

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Universitas Islam Indonesia (UII) Ratna Permata Sari, S.I.Kom., M.A. mengatakan dari waktu ke waktu tantangan dan dinamika perkuliahan semakin berbeda. Tidak sedikit dari mahasiswa yang saat ini telah menikmati perkuliahan secara daring ketimbang harus kembali lagi ke Yogyakarta (kampus).

Read more

Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) UII bekerjasama dengan Prodi Pendidikan Dokter dan Ekonomi Islam UII melaksanakan Webinar Nasional Keislaman seri 3 dengan tema “Solusi Islam pada Dilema antara Ekonomi vs Kesehatan di Krisis Covid-19”. Webinar ini menghadirkan tiga pemateri, yakni Aidil Akbar Madjid, Chairman dan President IARFC Indonesia, Muhammad Khaeruddin Hamsin, Lc., L.LM., Ph.D., Dosen Ushul Fiqh UMY, dan dr. Agus Taufiqurrohman, M.Kes., Sp.S., praktisi kesehatan sekaligus dosen FK UII.

Read more

Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII) menggelar kajian online dalam rangka Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw, pada Minggu (1/11). Kajian dengan tema “Merefleksikan Figur Intelektual Nabi, Berkhidmat Tanpa Henti” ini menghadirkan pembicara Dewan Syuro Majelis Rasulullah, Habib Ir. Nabiel Al Musawa, M.Si. dan diikuti ratusan jamaah.

Read more

Penjenamaan (branding) awalnya memang praktik di dunia bisnis, tapi perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa penjenamaan menjadi lazim juga di sektor publik (pemerintahan) dan bahkan organisasi nirlaba, termasuk perguruan tinggi (PT). Penjenamaan adalah bagian kecil dari pemasaran. Apa tujuannya? Beragam. Salah satunya adalah untuk membangun citra baik organisasi di benak khalayak.

Citra di sini perlu diberi catatan agak tebal, karena akhir-akhir ini, kata pencitraan mempunyai makna peyoratif, yang berkonotasi buruk. Citra yang dibangun seharusnya bersifat tulen (genuine) dan bukan hasil pemutarbalikan fakta untuk mengelabui publik.

Mengapa PT perlu melakukan penjenamaan? Paling tidak terdapat dua alasan utama. Pertama, untuk dikenal khalayak, PT harus tetap terlihat menonjol (outstanding) di tengah kerumunan.  Kerumunan ini tidak hanya lebih dari 4.000 PT di Indonesia, tetapi juga PT asing yang juga menyasar calon mahasiswa dari Indonesia. Kedua, karena memori publik cenderung pendek, maka PT harus selalu mengingatkan publik tentang keberadaan dan kiprah kontributifnya. Karenanya, penjenamaan bukan proses sekali jalan, tetapi proses berulang secara konsisten.

Untuk terlihat menonjol, PT harus mengidentifikasi keunikannya yang menjadikannya berbeda dengan yang lain. Tidak selalu mudah, tapi perlu diikhtiarkan. Keunikan bisa mewujud, paling tidak dalam dua aspek. Pertama, sifat atau karakteristik yang melekat di diri PT, seperti nilai-nilai yang diyakini, sumber daya yang dipunyai, atau prestasi yang dimiliki.

Kedua, keunikan juga bisa diwujudkan dalam bentuk gaya pengkomunikasian. Di sini, inovasi dalam desain, produksi, dan kanal media pemasaran menjadi penting. Unsur kejutan juga perlu dimasukkan, jika memungkinkan. Tentu, karakteristik sasaran ikhtiar pemasaran. Milenial, misalnya, mempunyai preferensi yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial dan media daring dibandingkan dengan media cetak, misalnya.

Sasaran pemasaran tidak hanya calon mahasiswa, tetapi juga calon mitra dan khalayak ramai. Calon mitra penting untuk memperkuat PT dalam menjalankan beragam programnya. Khalayak ramai, termasuk orang-orang terdekat calon mahasiswa, dalam banyak kasus menjadi pemasok informasi kepada calon mahasiswa sebelum mengambil keputusan.

Karenanya, pilihan gaya menjadi penting. Beberapa PT memilih gaya langsung (hard selling). Gaya ini biasanya digunakan untuk menyasar calon mahasiswa, untuk meningkatkan cacah pendaftar. Yang dilakukan termasuk memberi janji-janji jika sudah menjadi mahasiswa dan bahkan ketika lulus. Tidak semua PT merasa nyaman menggunakan pendekatan ini.

Karenanya, beberapa PT lain lebih suka membingkai pemasaran secara halus (soft selling). Yang dituju adalah kesadaran sebelum memutuskan dan mengajak sasaran untuk melakukan refleksi. Tentu, keduanya bisa dikombinasikan karena kedua gaya ini mempunyai keunggulan dan kekurangannya masing-masing.

Sebagai lembaga pendidikan, PT perlu juga menjaga bahwa praktik yang dilakukan dalam penjenamaan tetap dalam koridor etika. Bagaimana caranya? Beberapa prinsip berikut perlu menjadi pertimbangan adalah mendesain pendekataan penjemaan yang tidak mengandung unsur kebohongan, tidak merendahkan PT lain, dan tidak membodohi publik dengan bingkai informasi yang bisa membimbing ke kesimpulan yang tidak tepat. Prinsip-prinsip ini bisa mewarnai diskusi dalam pembuatan konten untuk penjenamaan, mulai dari tema yang dipilih, bingkai untuk mengkomunikasikan, dan bahkan sampai pada diksi dan visualisasinya.

Jangan sampai, sebagai lembaga terhormat, PT menggunakan cara-cara yang jauh dari bermartabat, termasuk membodohi publik. Jika penjenamaan dilakukan dengan jujur, meskipun PT belum dipilih, misalnya, calon mahasiswa dan publik sudah belajar satu hal: kejujuran. Yang terakhir ini bisa jadi membuat mereka berpikir ulang dalam menentukan pilihan.

Sari dari materi pemantik diskusi di MarkeThink UII 2020: Social Media Marketing on the Ball, 31 Oktober 2020.