“University rankings need a rethink“, demikian judul tulisan yang diterbitkan oleh Nature pada 24 November 2020 (Gadd, 2020). Bagi mereka yang familier dan peduli dengan metodologi pemeringkatan perguruan tinggi (PT), isu tersebut bukan hal baru. Sama sekali tidak mengagetkan.
Sejarah ringkas
Pemeringkatan perguruan tinggi bukan praktik baru. Praktik ini sudah dilakukan lebih dari satu abad lalu di Inggris, ketika jurnal bergensi The Lancet menerbitkan artikel berjudul “Where we get our best men“, pada 18 Agustus 1900.
Kemunculannya secara lebih luas dan terakses secara publik terjadi di Amerika, ketika US News and World Report melansir “America’s Best Colleges” pada 1983. Sekitar satu dekade kemudian, praktik serupa muncul di Inggris, tatkala harian The Times, meluncurkan “Good University Guide” pada 1993 (Marope & Wells, 2013).
Sekitar satu dasawarsa kemudian, pada Juni 2003, The Academic Ranking of World Universities (ARWU) diluncurkan. ARWU sangat elistis karena memasukkan poin pemenang hadial Nobel di dalam metodologinya. Selain ini, publikasi yang diperhitungkan dalam komponen hanya yang diindeks oleh Science Citation Index-Expanded (SCIE) dan Social Science Citation Index (SSCI) dan yang terbit di Science dan Nature .
Setahun kemudian, pada 2004, majalah Times Higher Education (THE) bekerja sama dengan Quacquarelli Symonds (QS) menerbitkan Times Higher Education World University Rankings. Kerja sama ini berjalan sampai 2009, sebelum mereka pecah kongsi. THE akhirnya berkolabarasi dengan Thomson Reuters sebagai pemasok data. QS membuat pemeringkatan sendiri menggandeng Elsevier yang menyediakan basisdata Scopus, mulai 2007.
Masih banyak lembaga pemeringkatan lain di luar sana, baik yang menggunakan indikator (yang diklaim) generik maupun yang spesifik pada bidang tertentu.
Minus dan plus
Beberapa pesan keras dibawa tulisan di Nature tersebut: pemeringkatan PT cacat dari lahir, digunakan dengan buruk, dan membudidayakan ketidakadilan (Gadd, 2020). Pemeringkatan sudah memunculkan debat sejak kemunculannya.
Sudah banyak pemikir yang menyatakan pendapatnya, baik melalui buku, artikel jurnal ilmiah, maupun kanal lain. Debat isu ini juga direkam dalam buku berjudul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses yang diterbitkan oleh Unesco pada 2013.
Sulit menghitung artikel jurnal yang membahas isu ini dari berbagai perspektif (e.g. Van Raan [2005]; Sih (2007); dan Amsler dan Bolsmann [2012]). Soh (2007) misalnya membuat daftar tujuh dosa besar pemeringkatan, termasuk presisi palsu, diskrepansi bobot dan redundansi indikator. Secara tajam, Amsler dan Bolsmann (2012) menyatakan bahwa pemeringkatan PT adalah telah membuat kelas kapitalis baru lintasnegara dan memfasilitasi bentuk baru eksklusi sosial.
Tentu, tidak semua pemikir memberikan kritik pedas. Banyak yang menjadikannya sebagai objek analisis dan menawarkan alternatif yang diklaim lebih komprehensif (lihat misalnya Guarino et al. [2005], Taylor & Braddock [2007], dan Amsler [2014]).
Terlepas dari plus dan minus pemeringkatan, nampaknya ada beberapa poin yang harus disepakati. Ekselensi PT perlu diupayakan dengan serius. Di dalamnya, termasuk memastikan dampak positif aktivitas akademik, baik dalam bentuk lulusan maupun artefak akademik yang berkualitas. Cara mengukurnya pun bisa beragam.
Selain itu, aroma komersialisasi pemeringkatan PT juga tercium kuat (lihat misalnya Vaughn [2002] dan beberapa tulisan dalam Marope, Wells, & Hazelkorn [2013]). Sebagian orang, bisa jadi, menganggap ini sebagai simbiosis mutualisme. Bagi lembaga pemeringkat, penerimaan dari PT akan meningkatkan legitimasinya. Sebaliknya, PT seringkali mengkapitalisasi hasil pemeringkatan untuk keperluan promosinya. Mungkin hal ini juga yang menjadikan praktik pemeringkatan semakin menguatkan eksistensinya.
Debat ini nampaknya tidak akan berujung. Ini mirip dengan berbalas pantun antara dua orang yang mempunyai energi berlebih. Setiap kubu mempunyai argumennya masing-masing. Setiap metodologi mempunyai basis dan dipastikan mempunyai kekurangan. Pemeringkatan pada intinya hanya efektif untuk komparasi, tetapi tidak untuk mendapatkan gambaran komprehensif.
Epilog
Sadar dengan hal ini, aforisme “All models are wrong, but some are useful” sering disitir oleh Ben Sowter, Senior Vice President Quacquarelli Symonds (QS) dalam banyak presentasinya.
Akhirnya, semuanya terserah kita. Gunakan hasil pemeringkatan dengan bijak dan jangan terjebak pada angka peringkat. Selisikan terhadap data nominal mentah, biasanya lebih banyak memberikan tilikan untuk pijakan perbaikan.
Selain itu, semua perlu dilakukan dengan satu catatan tebal: tidak ada ruang toleransi untuk praktik tidak etis dalam pemeringkatan, termasuk fabrikasi dan duplikasi data dengan sengaja.
Apakah praktik tidak etis ini ada? Garis demarkasi antara yang etis dan tidak etis bisa jadi sangat tipis. Verifikasi atasnya pun tidak mudah, karena tidak semua lembaga pemeringkatan membuka datanya. Wallahualam.
Referensi
Amsler, S. (2014). University ranking: A dialogue on turning towards alternatives. Ethics in Science and Environmental Politics, 13(2), 155-166.
Amsler, S. S., & Bolsmann, C. (2012). University ranking as social exclusion. British Journal of Sociology of Education, 33(2), 283-301.
Gadd, E. (2020). University rankings need a rethink. Nature, 587, 523.
Guarino, C., Ridgeway, G., Chun, M., & Buddin, R. (2005). Latent variable analysis: A new approach to university ranking. Higher Education in Europe, 30(2), 147-165.
Marope, M. & Wells, P. (2013). University rankings: The many sides of the debate. Dalam P.T.M. Marope, P.J. Wells, & E. Hazelkorn (ed.). Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Prancis: Unesco.
Marope, P.T.M., Wells, P.J. & Hazelkorn, E. (ed.) (2013). Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Prancis: Unesco.
Soh, K. (2017). The seven deadly sins of world university ranking: A summary from several papers. Journal of Higher Education Policy and Management, 39(1), 104-115.
Taylor, P., & Braddock, R. (2007). International university ranking systems and the idea of university excellence. Journal of Higher Education Policy and Management, 29(3), 245-260.
Van Raan, A. F. (2005). Fatal attraction: Conceptual and methodological problems in the ranking of universities by bibliometric methods. Scientometrics, 62(1), 133-143.
Vaughn, J. (2002). Accreditation, commercial rankings, and new approaches to assessing the quality of university research and education programmes in the United States. Higher Education in Europe, 27(4), 433-441.
Refleksi ringan, 29 November 2020.
Catatan: Tidak seperti biasanya, tulisan Pojok Rektor ini memang sengaja dibuat agak “berat” dengan banyak referensi.