Pandemi Covid-19 adalah cobaan bagi seluruh umat manusia. Hampir seluruh negara di muka bumi ini terpapar. Yang membedakan adalah sikap warga negara dan pengambil kebijakan terhadapnya, yang akhirnya berdampak pada pilihan ikhtiar dalam menanganinya, termasuk kecepatannya.
Di beberapa negara, pengambil kebijakan melihat pandemi Covid-19 sebagai ancaman nyata. Mereka tidak menolak keberadaannya. Mereka tidak menganggapnya sebagai hoaks atau bahkan konspirasi. Mereka tidak meremehkannya. Sikap seperti ini terbukti membimbing pengambil kebijakan untuk cepat mengambil tindakan, untuk mengamankan keselamatan jiwa warganya dan tindakan relevan lainnya.
Di sini, kita bisa tulis beberapa negara, termasuk Jerman di bawah kepemimpinan Kanselir Angela Merkel dan Selandia Baru di bawah pengawalan Perdana Menteri Jacinda Ardern. Mereka berdua percaya dengan sains dan menggunakan pendekatan saintifik dalam menangani pandemi.
Mereka berdua memilik latar belakang yang berbeda. Merkel sendiri adalah mantan peneliti dan pemegang gelar doktor di bidang kimia kuantum. Merkel terjun ke dunia politik pada usia 35 tahun dan menjadi menteri perempuan dan pemuda ketika berumur 37 tahun. Merkel menjadi kanselir saat berumur 51 tahun.
Ardern merupakan politisi muda dengan karier yang gemilang: terjun ke dunia politik pada usia 17 tahun, menjadi anggota parleman ketika berumur 28 tahun, memimpin Partai Buruh pada usia 37 tahun, dan dua bulan sesudahnya, menjadi perdana menteri pada usia yang sama: 37 tahun.
Meski berbeda latar belakang, namun ada yang menyamakan keduanya, selain mengakui dampak dahsyat dari pandemi: keduanya mencintai rakyatnya, dan mengambil banyak kebijakan berdasar sains dengan cepat. Efeknya memang bisa berbeda, karena kondisi kedua negara yang tidak sama, termasuk karakteristik demografis warga dan geografis wilayah.
Tentu, daftar negara yang sangat baik menangani pandemi ini dapat ditambah, termasuk di dalamnya ada Vietnam.
Namun, di belahan Dunia Baru, seorang presiden meremehkan kehadiran pandemi dan mengabaikan informasi yang diberikan oleh para saintis yang jujur. Sang presiden bahkan berkonflik secara terbuka dengan para saintis. Bahkan, ketika pandemi ini, pernah mengusulkan injeksi disinfektan ke dalam tubuh manusia.
Apakah Saudara percaya dengan saran ini? Saya yakin tidak. Tetapi di negara tersebut, beberapa orang meminum disinfektan karena percaya dengan saran presidennya, dan akhirnya harus berakhir di rumah sakit dan diterapi psikiater. Pada akhir April 2020, setelah saran dari Sang Presiden diberitakan, menurut sebuah laporan, kenaikan kasus keracunan disinfektan di negara tersebut meningkat 20%.
Pemimpin negara yang meremehkan kehadiran pandemi Covid-19, tidak hanya Sang Presiden dari dunia baru. Masih ada beberapa yang lain, termasuk presiden sebuah negara besar di Amerika Selatan, yang akhirnya dirinya terkonfirmasi positif Covid-19.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita bisa menilai sendiri negara tercinta, berdasar data yang ada. Beberapa pertanyaan ini bisa membantu mencari jawab. Apakah ada penyangkalan dari para pengambil kebijakan? Apakah saran dari para saintis, termasuk para profesor di bidang kesehatan didengar dengan baik oleh para pengambil kebijakan? Ataukah, ada komentar yang menyepelekan kehadirannya? Ataukah beragam kebijakan sudah diambil untuk mengatasinya?. Sebagian dari kita mungkin akan sampai kepada kesimpulan: negara kita sudah berbuat baik, tapi seharusnya bisa lebih baik lagi. Beragam perspektif lainnya bisa dituliskan dalam daftar panjang.
Ada satu hal penting yang harus dicatat di sini. Selain kebijakan yang tepat, konsistensi pengawalan kebijakan di lapangan secara istikamah sangatlah penting.
Saat ini, baik menurut mereka yang menerima maupun yang menyangkal adanya pandemi (paling tidak di awal kemunculannya), semuanya sudah merasakan dampaknya yang dahsyat, termasuk pada sektor ekonomi. Karena pandemi sudah menjadi masalah lintasteritorial (negara, provinsi, kabupaten), maka penangannnya tidak mungkin efektif tanpa kerja sama antaraktor lintasteritorial.
Semua ikhtiar tersebut, sudah seharusnya dibingkai secara saintifik.
Sambutan pada Kuliah Pembuka Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, 2 Oktober 2020.