Mari bandingkan kedua tukang kayu imajiner ini. Tukang kayu A mendapatkan kayu sisa dengan ukuran kecil yang tidak seragam. Kualitasnya pun bervariasi. Tukang ini dengan teknik yang dikuasainya, meski dengan kakas seadanya, berhasil menjadikan material tersebut menjadi sebuah meja yang artistik. Tukang kayu B terdidik secara formal. Dia mendapatkan kayu dengan kualitas terbaik dalam ukuran jumbo. Dengan kakas modern, tukang ini menjadikannya meja yang indah, tanpa sambungan.
Tukang kayu mana yang lebih hebat? A atau B. Sulit memberi jawab dengan pasti. Sebagian kita akan menjawab A dengan titik tekan pada kreativitas dan utilisasi kakas yang ada. Sebagian lain tertarik dengan meja tanpa sambungan, karena alasan yang lain.
Seperti inilah masalah dalam pemeringkatan, termasuk di kalangan perguruan tinggi (PT). Perspektif pemeringkat yang mewujud dalam beragam indikator menjadikan perbedaan hasil. Jangankan bagi orang awam, bagi praktisi pendidikan pun tapi abai dengan metodologi yang digunakan, bisa terjebak dalam interpretasi yang menyesatkan. Karenanya, tidak mengherankan, ketika banyak yang berseloroh, peringkat kok mudah sekali berubah dalam waktu yang sangat singkat.
Diskusi tentang muslihat peringkat bukan hal baru. Sebagai contoh, UNESCO pada 2013 pernah menerbitkan buku berjudul Rankings and Accountability in Higher Education: Uses and Misuses. Satu tulisan di dalamnya menjelaskan perkembangan pemeringkatan dari generasi pertama yang yang mengandalkan survei dan membuat daftar. Generasi kedua memasukkan aspek transparansi, akuntabilitas, dan sistem informasi manajamen; dan generasi ketiga lebih cenderung komersial: mengukur dan menguatkan kinerja pasar. Di sini ada diskusi terkait dengan kebijakan politis negara sampai dengan kultur selebritas. Singkatnya, ada sisi positif dan sekaligus sisi negatif pemeringkatan di perguruan tinggi.
Berikut adalah beberapa catatan untuk menghindari muslihat peringkat. Pertama, pahami bahwa setiap pemeringkatan menggunakan metodologi yang berbeda-beda, yang tercermin dalam indikator yang dipilih. Tidak ada indikator yang komprehensif (meski kadang diklaim demikian), dan karenanya, sulit menyatakan dengan pasti bahwa PT A lebih baik dari PT B, dan seterusnya. Harus ditambahkan pertanyaan: dalam indikator apa. Peringkat, hanya efektif untuk komparasi sebatas indikator yang digunakan, dan tidak mungkin komprehensif. Ingat kerumitan memeringkat dua tukang kayu di atas.
Sialnya, pemahaman terhadap indikator ini ternyata bisa memicu muslihat lain yang justru dipraktikkan oleh PT. Sebagai ilustrasi, ketika sebuah pemeringkatan melihat volume konten, tidak sulit menemukan PT di Indonesia, mengunggah skripsi tidak menjadi satu dokumen utuh, tetapi dipecah menjadi belasan dokumen, mulai dari sampul, halaman judul, per bab, sampai dengan daftar pustaka. Praktik yang marak dilakukan ini akan memperbesar volume konten. Dulu, ketika koneksi Internet masih sangat lambat, ada alasan masuk akal untuk memecahnya. Tapi saat ini, nampaknya akal sehat dikesampingkan untuk mengejar peringkat.
Kedua, gunakan hasil pemeringkatan untuk memanen manfaat yang mungkin tanpa melibatkan muslihat. Interpretasikan peringkat dengan jujur. Hindari pesan yang dapat mengelabuhi akal sehat publik, karena PT tidak jarang memanen peringkat untuk promosi dan sejenisnya. Publik, sampai saat ini, masih melihat PT sebagai lembaga terhormat. Karenanya, PT perlu tetap menjaga sukma kejujurannya dalam mengkomunikasi hasil pemeringkatan kepada khalayak. Jika ini dilakukan, hasil pemeringkatan akan dapat dimaknai sebagai sebagai kaca benggala untuk berbenah melalui komparasi indikator.
Terakhir, meski bukan afkir. Ketiga, pastikan bahwa peringkat hanyalah efek samping karena PT mengerjakan perkerjaan rumahnya, dan bukan tujuan. Apalagi dengan bingkai “menang” dan “kalah”. Apakah PT yang tidak masuk peringkat dipastikan jelek? Tidak juga. Setiap PT bisa menentukan fokus aktivitasnya dan tidak selalu sejalan dengan indikator yang dipilih oleh lembaga pemeringkat. Karenanya, ambil manfaat peringkat dengan jujur dan hindari jebakan muslihat peringkat!
Tulisan ini sudah dimuat dalam Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2020.