Meski saya orang awam dari perspektif keilmuan arsitektur, hasil pembacaan terbatas saya mengantarkan pada sebuah kesimpulan sementara, bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi para arsitek dalam menjalankan perannya. Saya temukan di literatur yang merekam beragam konsep untuk merespons pandemi dengan program intervensi kreatif, termasuk desain interior yang membatasi penularan virus sampai dengan desain rumah tinggal yang dapat mengakomodasi kebutuhan ruang kerja, ketika sampai hari ini kerja dari rumah (KdR), masih menjadi pilihan yang masuk akal.
Pandemi ini bukan masalah beberapa pekan ke depan, karena sampai hari ini, kita belum melihat bahwa pandemi akan segera berakhir. Sebagian ahli mengatakan bahwa keadaaan tidak akan kembali normal sampai vaksin ditemukan. Ketika vaksin ditemukan pun perlu waktu untuk memproduksinya untuk miliaran umat manusia. Sebagian ahli yang lain mengingatkan bahwa keadaan normal antara sebelum dan bakda pandemi akan sangat berbeda.
Dampak dan contoh
Di kesempatan yang singkat ini, saya ingin mengajak para arsitek untuk terus memasang mata dan telinga, mengikuti perkembangan yang ada, dan melakukan refleksi atasnya. Siapkan diri untuk belajar hal baru, yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi telah memberikan pelajaran di depan mata, bahwa banyak kejadian yang di luar imajinasi, dan kita harus siap meresponsnya.
Seorang profesor bidang arsitektur di Korea, seperti dilaporkan di The Korea Herald[1] memprediksi beragam kemungkinan respons tersebut. Untuk desain rumah, termasuk di antaranya adalah desain rumah yang membuat KdR lebih nyaman, rumah yang lebih besar, rumah dengan teras, rumah dengan sirkulasi udara dan akses cahaya yang baik, ruang dengan multifungsi, dan lain-lain.
Dalam konteks yang lebih luas, di luar rumah, beberapa perubahan diprediksi akan terjadi dan sudah mulai menemukan buktinya. Desain ruang publik yang memastikan jarak fisik, desain yang memperhatikan betul alur mobilitas manusia, desain yang fleksibel, sampai penggunaan teknologi bangunan modular yang akan menghadirkan proses kontruksi yang cepat dan fleksibel.
Perlu kita catat di sini, respons yang baik harus kontekstual dan contoh di atas dapat diperpanjang daftarnya hampir tak terbatas. Setiap konteks akan memberikan sederet contoh yang berbeda.
Untuk menghindarkan jebakan contoh, mari kita naik ke level abstraksi yang agak tinggi.
Mendesain afordans
Terkhusus untuk para arsitek muda, apapun yang dibuat oleh manusia bersifat artifisial, tidak alami. Karenanya, semua karya manusia tersebut disebut artefak. Ketika sebuah artefak berinteraksi dengan aktor di sebuah lingkungan, muncullah kemungkinan tindakan, yang disebut dengan affordance (afordans, mari kenalkan istilah ini). Begitu pun karya arsitektur ketika pandemi dan bakda pandemi. Saya percaya bahwa konsep afordans, dapat mempersenjatai para desainer (termasuk arsitek) dalam menghasilkan artefak, termasuk memberikan makna ulang kepada artefak yang sudah ada.
Saya ingin meminjam rangkuman yang dibuat tiga kawan baik saya (Lanamäki, Thapa, Stendal [2016]). Afordans dapat bersifat kanonikal, sesuai dengan kesepakatan bersama atau konvensi. Misal, sulit menemukan orang yang tidak sepakat ketika kita mengatakan bahwa “rumah digunakan untuk tinggal”. Karenanya di Indonesia, disebut dengan rumah tinggal. ini adalah afordans kanonikal (canonical affordance). Dengan kacamata ini, desainer tidak punya kuasa, karena afordans ini merupakan pemahaman kulural kolektif. Atau, kalau pun bisa, memerlukan waktu yang lama untuk menjadikan sebuah “konsep” baru diterima secara kultural, tanpa debat.
Di tahapan selanjutnya, barulah arsitek bisa masuk. Artefak yang dihasilkan berdasar imajinasi tentang apa yang akan dilakukan oleh penggunanya. Di sini, arsitek akan menghadirkan yang diimajinasikan atau dipersepsikan akan memungkinkan penggunaannya untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya, gedung kampus didesain sebagai ruang pembelajaran yang memungkinkan interaksi antara dosen dan mahasiswa, atau rumah tinggal satu lantai yang didesain untuk pasangan lansia yang mempunyai kesulitan mobiltas fisik “vertikal”, atau rumah tinggal beberapa lantai untuk keluarga besar di tanah yang terbatas. Inilah afordans yang didesain (designed affordance).
Pertanyaan selanjutnya, apakah afordans yang didesain akan digunakan oleh pengguna seperti yang dibayangkan oleh penggunanya? Belum tentu. Banyak contoh yang bisa diberikan. Di sebuah daerah di Sumatera, dekat Muaro Jambi, misalnya, banyak rumah bertingkat yang tidak ditinggali dan dibiarkan untuk rumah burung walet. Atau, ketika pandemi saat ini, ruang yang tadinya didesain untuk kepasitas 20 orang, hanya dihuni oleh 10 orang.
Kapasitas ruang untuk 20 orang adalah afordans potensial (potential affordance). Apakah pengguna riil akan menggunakannya untuk 20 orang, semua terserah pengguna. Kuasa desainer di sini, sudah berpindah ke pengguna. Pengguna bisa membayangkan beragam potensi penggunaan ruang. Jika di kampus, ruang tersebut dapat digunakan sebagai ruang kelas, ruang diskusi, atau bahkan musala kecil. Di rumah, saat ini, ruang tamu bisa dipersepsikan oleh pengguna sebagai ruang kerja. Teras bisa juga dipersepsikan menjadi tempat rapat daring, bahkan untuk lintaslembaga atau lintasnegara.
Dunia nyata tidak dibentuk oleh afordans potensial, tetapi oleh afordans yang teraktualisasi (actualized affordance). Ketika pandemi seperti saat ini, afordans yang teraktualisasi menjadi tidak selalu mudah ditebak dan bisa sangat berbeda dengan yang dibayangkan oleh arsitek ketika mendesainnya. Gedung olah raga bisa berubah menjadi tempat produksi alat pelindung diri, laboratorium teknik mesin menjadi tempat produksi pelindung wajah, pabrik tekstil memproduksi masker yang tidak pernah dilakukan sejak berdirinya, dan hotel menjadi tempat karantina pasien yang terpapar virus.
Di waktu seperti ini, kreativitas arsitek dalam memaknai ulang fungsi artefak menjadi penting. Karenanya, fleksibilitas dalam desain menjadi menarik dikaji untuk menjadikan artefak arsitektur responsif untuk kejadian yang tidak terduga. Desain kursi ruang pelatihan atau rapat yang dapat ditumpuk atau meja yang dapat dilipat adalah beberapa contoh sederhana. Ruang menjadi nyaman digunakan terlepas dari cacah peserta pelatihan atau rapat yang menggunakan.
Pesan saya kepada para arsitek muda, jangan mudah percaya dengan yang saya sampaikan. Selalu telaah dengan skeptis dan kritis. Lawan dengan argumen lain jika diperlukan. Ingat, latar belakang saya bukan arsitektur. Saya hanya mencoba menggunakan pisau analisis yang saat ini digunakan di bidang saya, sistem informasi, dan menggunakannya untuk melihat di konteks arsitektur.
Satu hal yang saya yakini, dan mungkin Saudara sepakat, bagi saya, yang didesain oleh seorang arsitek bukanlah bangunan atau gedung, tetapi afordans yang diimajinasi.
Selamat berkarya dan berimajinasi.
Sambutan pada acara Sumpah Profesi Arsitek, Program Studi Profesi Arsitek, Universitas Islam Indonesia, 13 Agustus 2020.
Referensi
Lanamäki, A., Thapa, D., Stendal, K. (2016) When Is an Affordance? Outlining Four Stances. Dalam Introna L., Kavanagh D., Kelly S., Orlikowski W., Scott S. (eds) Beyond Interpretivism? New Encounters with Technology and Organization. IS&O 2016. IFIP Advances in Information and Communication Technology, 489, Springer.
[1] http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20200528000802