Saya percaya kita sepakat bahwa kemerdekaan dari penjajah merupakan syarat untuk melakukan pembangunan. Tanpa kemerdekaan, sulit membayangkan bagaimana pembangunan menemukan cara. Kita semua berhutang budi kepada para pejuang yang membebaskan Indonesia dari penjajahan. Kita kirimkan doa terbaik kepada para syuhada yang gugur. Tanpa mereka, dan kehendak Allah, Indonesia tidak mungkin memulai membangun jiwa dan raganya.
Untuk saat ini, pertanyaan selanjutnya adalah pembangunan itu apa? Beragam perspektif kita temukan dalam literatur.
Namun, ada satu perspektif yang menarik hati saya, yaitu konsep pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom) yang dikenalkan oleh Amartya Sen (1999), ekonom kelahiran India yang sudah malang melintang di perguruan tinggi kelas dunia, seperti University of Oxford, MIT, LSE, University of Cambridge, dan saat ini di Harvard University. Sen adalah penerima hadiah Nobel bidang ekonomi pada 1998.
Sen memperkenalkan pisau analisis untuk mengevaluasi pembangunan, dengan konsep capability approach (CA). CA mengasumsikan setiap proses konversi dari sumber daya (resources) atau komoditas yang dimiliki oleh seseorang menjadi kapabilitas (capability). Kapabilitas adalah keadaan atau tindakan yang mungkin dicapai. Sebagai contoh, ponsel adalah sumber daya. Kepemilikan atau akses terhadap ponsel menghadirkan beragam kapabilitas, seperti melakukan komunikasi, mencari informasi, atau mengikuti pembelajaran daring. Nah, kapabilitas yang ditingkatkan inilah tanda pembangunan berhasil.
Selanjutnya, kapabilitas akan memberikan kemerdekaan kepada pemiliknya untuk menjadikannya mewujud nyata (functioning), menjadi sesuatu yang bernilai. Contohnya adalah ponsel yang akhirnya digunakan untuk mencari informasi atau mengikuti pembelajaran daring. Pemilik ponsel pun bisa memilih tidak menggunakannya. Ini lagi-lagi juga karena kemerdekaan yang dipunyainya, bukan keterpaksaan yang merupakan satu-satunya pilihan.
Dalam konteks yang luas, functioning dapat mewujud dalam berapa bentuk, seperti mengakses layanan pendidikan, fasilitas kesehatan, sumber pendapatan, atau kebebasan berpendapat. Ini adalah contoh kemerdekaan, kapabilitas yang ditingkatkan.
Sebaliknya, ketidakmerdekaan dalam mewujud dalam bentuk yang mengerikan: kemiskinan, tirani, kesempatan ekonomi yang terbatas, fasilitas publik yang buruk, intoleransi, negara yang represif, ketakutan massal dalam menyuarakan kebenaran, ketiadaan kanal untuk menyalurkan aspirasi, dan masih banyak contoh lainnya.
Untuk memberikan ilustrasi dari bidang yang saya geluti, teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Di satu sisi, TIK bisa memerdekakan manusia, sebagai sekaligus bisa menambah dalam jurang kesenjangan antarwarga. Saat ini, misalnya, pembelajaran daring dengan bantuan TIK yang saat ini dijalankan di dunia pendidikan, masih menjadi pengalaman mewah untuk sebagian anak bangsa.
Kisah miris pun kita baca. Seorang mahasiswa meninggal dunia karena kecelakaan ketika malam hari naik sepeda motor mencari lokasi untuk mendapatkan sinyal Internet. Mahasiswa lain harus meregang nyawa karena terjatuh saat memanjat menara masjid untuk mengirim tugas kampusnya. Sekelompok anak sekolah harus berjalan berkilo-kilo meter untuk sekedar mencari sinyal Internet. Atau, sekelompok anak SD harus ke makam desa untuk belajar daring.
Bahkan, hati kita seakan teriris ketika membaca berita seorang bapak yang ditangkap polisi karena mencuri laptop untuk sekolah daring anaknya. Seorang juru parkir pun tergoda mencuri motor yang seharusnya dijaganya untuk membelikan ponsel untuk belajar anaknya. Seorang anak sekolah harus datang ke sekolah sendirian untuk bisa belajar berdua dengan gurunya. Sebagian guru harus mendatangi anak didik yang disayanginya untuk sekedar menemaninya belajar.
Daftar di atas hanya contoh dari satu sisi kecil kondisi warga negara. Masih banyak sisi lain yang belum tertangkap kamera dan masuk berita.
Ketika kapabilitas warga masih terbatas, apalagi di masa pandemi ini, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah pembangunan sudah memberikan janjinya, memerdekakan warga? Setiap kita bisa melakukan refleksi dan mencari jawab secara leluasa.
Kita memang sudah merdeka dari penjajah. Kita juga sudah lama membangun negeri ini. Sebagian anak bangsa sudah menikmatinya. Tapi, masih banyak saudara kita di pojok Indonesia nun jauh di sana, yang masih menunggu di antar menuju gerbang kemerdekaan, oleh negara dan mungkin juga oleh kita, sebagai warga negara yang berpunya dan bahagia. Di masa pandemi seperti ini, solidaritas sesama anak bangsa sangat penting untuk terupaya.
Nampaknya tidak sulit untuk sepakat, bahwa masih banyak pekerjaan rumah menunggu dikerjakan untuk memerdekaan semua warga negara, sehingga tak satu pun yang tertinggal kereta merdeka.
Mari bersama, tetap manjaga asa, bahwa masa itu akan tiba, dengan kerja bersama antara negara dengan punggawa yang sudah selesai dengan dirinya dan bisa dipercaya, bersama dengan warganya. Semoga!
Dirgahayu Indonesiaku!
Refleksi yang disampaikan pada Expresi Anak Negeri: Bagun Jiwa, Bangun Raga untuk Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK) DIY, 15 Agustus 2020.
Referensi: Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.