Dalam beberapa bulan terakhir, pandemi Covid-19 telah mengubah pola hidup milyaran manusia di seantero jagad. Indonesia pun tidak lepas darinya. Kerja dari rumah seakan menjadi kelaziman baru, dengan berbagai catatan.
Di dunia pendidikan, pembelajaran daring yang mewujud dalam beragam moda dan strategi menjadi keniscayaan karena pilihan lain tidak banyak. Dosen dan mahasiswa sama-sama mencari takaran pembelajaran yang pas, terutama yang belum terbiasa dengannya.
Kritik dan kegalauan pun muncul mengiringi praktik baru ini. Sesuatu yang sangat wajar, karena keadaan telah memaksa kita melakoni pola hidup baru.
Pencelik mata
Praktik pembelajaran daring ternyata tidak selalu seindah yang dibayangkan banyak orang. Apalagi jika menengok sedikit ke belakang, ketika diskusi tentang disrupsi dalam pembelajaran yang diprediksi akan menjadikan banyak perguruan tinggi (PT) gulung tikar.
Apakah keyakinan tersebut masih valid, terutama dalam konteks Indonesia, paling tidak dalam horizon waktu satu dekade mendatang? Situasi ini dapat menjadi pencelik mata.
Saat ini semakin mudah meyakinkan orang bahwa disparitas digital di Indonesia masih sangat tajam. Disparitas ini tidak hanya terkait dengan lokasi geografis, tetapi juga status kemajuan.
PT dengan perbedaan lokasi yang dekat, kematangan kesiapan digitalnya dapat sangat berbeda. Fakta ini seharusnya juga mencelikkan mata kita bahwa kebijakan tunggal untuk seluruh wilayah Indonesia akan menemukan banyak hambatan di lapangan.
Faktor disparitas konteks harus selalu dimasukkan dengan serius sebagai konsiderans dalam setiap kebijakan. Karenanya, tidak perlu kaget jika kebijakan pembelajaran daring untuk seluruh perguruan tinggi menimbulkan kegundahan baru.
Untuk saat ini yang mungkin dilakukan adalah melakukan kontektualisasi sebatas daya dukung lembaga. Pada situasi pandemi Covid-19 ini, kita tidak punya kemewahan untuk mendapatkan opsi lain yang terhidang. Ruang tolerasi dan kompromi harus dibuka. Logika lazim perlu kita pinggirkan sejenak. Kita harus belajar mengelola ekspektasi.
Beberapa skenario
Karenanya, membayangkan apa yang terjadi di perguruan tinggi Indonesia bakda pandemi Covid-19 mereda, menjadi sangat menarik. Apakah praktik pembelajaran dan proses bisnis daring dengan semua cerita ikutannya mengubah bagaimana perguruan tinggi mengelola dirinya?
Mari kita bayangkan beberapa skenario masa depan. Pertama, sebagian perguruan tinggi akan menarik pelajaran dari situasi saat ini. Mereka akan secara serius memperbaiki kualitas dan kapasitas layanan teknologi informasinya.
Artinya, kapasitas tersebut tidak hanya untuk mendukung pembelajaran daring, tetapi juga proses bisnis dan layanan digital lainnya. Integrasi layanan digital, mulai dari admisi mahasiswa baru sampai dengan pelacakan alumni akan menjadi salah satu prioritas.
Produksi konten pembelajaran yang lebih bermutu akan mendapat perhatian lebih. Tak ketinggalan, beragam program peningkatan kapabilitas dosen akan menemukan momentum baru.
Sebagian rektor yang dulunya pelit, sangat mungkin akan menggelontorkan tambahan investasi dalam bidang teknologi informasi. Perguruan tinggi kelompok pertama ini akan membuat lompatan karena adanya kombinasi visi baru, kesadaran bersama, dan dukungan sumber daya.
Kedua, sebagian PT akan menemukan kesadaran baru, melihat urgensi untuk berubah, tapi dukungan sumber daya tidak cukup tersedia. Kelompok ini dituntut untuk cerdik dalam membuat perencanaan, termasuk daftar prioritas.
Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup dan eksposur yang memadai terhadap ide-ide serupa yang sudah ditranslasikan di konteks lain.
Jika ini dilakukan, perubahan akan berjalan perlahan tapi pasti. Semakin lama, infrastruktur yang sudah terinstal akan menjadi basis untuk peningkatan skalabilitas dan layanan baru. Namun demikian, ketika peluang untuk mempercepat perubahan terlihat, harus dimanfaatkan sebaik mungkin supaya tidak kehilangan momentum bakda Covid-19.
Ketiga, sebagian PT kemungkinan akan kembali ke bisnis seperti sedia kala. Tidak banyak perubahan drastis yang direncanakan dan dieksekusi. Kalau pun ada lebih sebagai upaya mendapatkan legitimasi.
Mengapa ini mungkin terjadi? Pertama, setiap PT mempunyai nilai unik sebagai pijakan. Ini bukan nilai indah yang termaktub dalam dokumen atau terpampang dalam bingkai di dinding. Nilai yang paling menentukan adalah yang terinternalisasi di benak pengelola PT.
Yang jelas, tidak semua nilai ini kompatibel dengan ide peningkatan kualitas layanan dan kinerja akademik yang tulen. Kedua, tidak semua pengelola PT sensitif dengan perubahan lingkungan. Mentalitas “gini aja bisa” akan menjadi jebakan dan mengekang gerak.
Skenario ketiga mungkin terlihat jahat dan menakutkan. Jika kita ingin mengelak, pertanyaannya: “Siapa yang dapat menjamin bahwa skenario ini tidak mungkin terjadi?”
Epilog
Warga PT yang berakal sehat akan menarik pelajaran berharga dari pandemi Covid-19. Pola hidup baru di dunia perguruan tinggi dalam beberapa pekan terakhir, dan sangat mungkin masih berlanjut, semoga tidak untuk yang lama, telah memantik kesadaran baru yang bisa menjadi pijakan untuk lompatan yang tinggi ke depan. Masa depan tersebut tidak harus berada dalam horizon waktu yang jauh, tetapi bisa kita mulai dari esok hari.
Kita memang tidak bisa memastikan setiap perubahan akan membawa kepada kemajuan, tetapi semua sepakat bahwa untuk maju, PT harus berubah.
Tulisan ini telah dimuat di rubrik Opini Harian Republika, 4 April 2020.