Pandemi Covid-19 membawa universitas di Australia mengalami krisis ekonomi. Demikian pesan yang diusung oleh harian The Guardian (14/4/20). Seberapa parah? Sebanyak 21.000 orang diramalkan akan dirumahkan, dalam enam bulan ke depan, jika pemerintah tidak memberikan tambahan dukungan finansial. Seperti diketahui, sektor pendidikan di Australia merupakan industri ekspor terbesar ketiga dengan sumbangan mahasiswa asing. Inilah salah satu kontributor utama krisis.
Ketika Australia tidak lagi menjadi pilihan studi mahasiswa asing, pendapatan pun menurun drastis. Pendapatan yang hilang diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar Australia atau 45,4 triliun rupiah. Tidak terlalu sulit membayangkan, masalah apa yang mungkin terjadi, ketika sebuah universitas papan atas menggantungkan 40% pendapatan dari mahasiswa asing. Melengkapi cerita nestapa ini, empat hari kemudian (18/4/20), harian yang sama menulis bahwa mahasiswa asing merasa ditelantarkan.
Kisah suram juga berasal dari negara jiran, Malaysia. Asia Sentinel (2/4/20) menurunkan tulisan bahwa pandemi Covid-19 telah memperparah masalah perguruan tinggi swasta (PTS) di sana. Sebuah studi menunjukkan bahwa 55% PTS di Malaysia mengalami kerugian. Karenanya, diprediksi sebanyak separuh PTS dapat bangkrut secara permanen. Universitas kelas dunia, University of Reading dan University of Nottingham, yang membuka kampus cabang di Malaysia pun tidak luput dari masalah ini dan sudah gulur tikar, paling tidak, sementara.
Potret Indonesia
Kabar pahit di atas membangunkan kita yang merasa baik-baik saja dari lamunan. Bagaimana dengan perguruan tinggi di Indonesia? PT negeri (PTN) nampaknya tidak akan banyak terpengaruh. Dana dari pemerintah yang digelontorkan, paling tidak untuk membayar pos belanja pegawai, akan sangat membantu. Apalagi dengan kebijakan penerimaan mahasiswa baru yang terkesan dilakukan dengan menutup mata, lupa kalau ada PTS di sekitarnya. Alasannya yang mencuat seringkali adalah bahwa PTN lebih berkualitas dibandingkan PTS. Klaim ini tidak selalu benar. Namun yang jelas, di Indonesia dengan disparitas yang luar biasa, pendidikan bukan hanya soal kualitas, tetapi juga akses alias pemerataan. Misi ini tidak mungkin dilakukan negara tanpa bantuan PTS.
Bagaimana nasib PTS? Sampai saat ini, tidak banyak terdengar apa yang akan dilakukan pemerintah untuk PTS. Justru yang terdengar agak lantang adalah bagaimana pajak PTS dapat dipanen secara maksimal. “Siapa yang suruh mendirikan PTS”, nyinyir seseorang ketika suatu waktu penulis bercerita tentang isu ini. Astaghfirullah.
Tidak ada data siap tayang bagaimana pandemi ini berdampak kepada PTS. Namun, diskusi informal antarpemimpin PTS sudah mencium bau tidak sedap. Ini kabar buruk. Sudah banyak PTS yang merasa kesulitan, baik secara teknis maupun finansial. Nampaknya, ketika semua pihak kewalahan, termasuk negara yang mengeluarkan surat utang pandemi dengan nomimal yang fantastis, PTS harus mencari akar lain untuk pegangan, supaya tidak terseret arus yang semakin deras. Mengharap fasilitas seperti PTN tentu bak mimpi di siang bolong. Tidak pada tempat dan waktunya. Meski pahit, ini merupakan pilihan paling realistis.
Ancang-ancang
Karenanya, penulis mengajak semua PTS untuk menyiapkan kuda-kuda, ambil ancang-ancang. Memang kuda-kuda tidak selalu menjamin seorang pesilat tidak jatuh terjerembap, tapi paling tidak akan membuatnya bertahan lebih lama, sambil menunggu kabar baik datang.
Ini kabar buruknya. Ketika penghasilan orang tua mahasiswa terdampak pandemi, pemimpin PTS harus dapat mengelola ekspektasi terkait dengan kelancaran pembayaran. Ini tidak hanya untuk mahasiswa aktif, tetapi juga untuk calon mahasiswa. Pun demikian, beragam inisiatif untuk menghindarkan mahasiswa putus kuliah karena masalah pembiayaan juga perlu dipikirkan. Subsidi silang bisa menjadi alternatif. Sektor pendidikan seharusnya tidak didekati dengan pola pikir transaksional.
Prioritas pengeluaran publik pun bisa bergeser, yang menempatkan pendidikan tidak pada posisi tertinggi. Animo mahasiswa baru sangat mungkin turun. Karenanya, edukasi publik menjadi sangat penting, sembari menyiapkan inovasi yang mengatasi masalah teknis karena pandemi, seperti dengan memudahkan proses admisi.
Gerakan pengencangan ikat pinggang pun perlu digaungkan secara kolektif, untuk memperpanjang umur finansial. Pembatalan program dan realokasi anggaran adalah beberapa contohnya. Identifikasi pos-pos pengeluaran yang mungkin ditekan. Ini tidak selalu mudah, karena selama ini sudah banyak PTS yang menjalankannya karena anggaran yang tidak lukratif. Penulis sangat yakin, saat ini, otak para pemimpin PTS, dipenuhi banyak pikiran; salah satunya adalah tentang menjamin bahwa gaji dan tunjangan dosen dan tenaga kependidikan masih bisa dibayarkan untuk beberapa bulan ke depan. Bahkan sebagian mungkin sudah membayangkan pemotongan gaji atau meminjam dari pihak ketiga, termasuk bank, untuk menjamin kelangsungan hidup.
Pun demikian, PTS sebagai bagian anak bangsa, tetap harus berikhtiar untuk berandil menangani pandemi, sesuai dengan kapasitasnya.
Berkah tersamar
Ini kabar baiknya. PTS, bersama dengan PTN, dipaksa berubah oleh keadaan. Proses pembelajaran pun dilakukan secara daring. Beberapa kolega merasakan beban yang lebih beran ketika pembelajaran daring. Pun demikian dengan mahasiswa.
Para dosen pun mau tidak mau harus mengikuti irama. Para profesor belajar menjadi Youtuber, awak kamera, atau penyunting video amatir. Semuanya dilandasi rasa sayang kepada para mahasiswa yang tersebar nun jauh di sana. Tidak semuanya dapat memuaskan kebutuhan mahasiswa, yang merupakan pribumi digital dengan ekspektasi tinggi.
Sejalan dengan waktu, penulis yakin, keandalanan para dosen dalam memproduksi konten pembelajara akan semakin baik. Dosen yang dulunya enggan belajar menggunakan beragam fasilitas teknologi informasi, pun berubah. Memang perubahan hanya karena dua hal: sadar atau dipaksa keadaan.
Aneka rapat untuk menjamin bahwa roda organisasi tetap berjalan digelar secara daring. Bahkan seorang kolega, menginginkan, rapat daring yang dijalankan dapat diteruskan, meski pandemi sudah usai.
Pelbagai diskusi atau seminar daring bertebaran. Kini adalah saat yang baik, bagi semua dosen untuk meningkatkan kapabilitas dirinya dan membagi manfaat kepada yang lain. Ini adalah berkah tersamar lain dari pandemi.
Karenanya pilihannya hanya dua: ambil ancang-ancang atau menunggu Godot yang tak kunjung datang. Inilah pilihan realistisnya: panen berkah tersamar, berharap yang terbaik, tetapi siapkan diri untuk yang terburuk.
Meminjam pepatah Tiongkok, para pemimpin PTS, mari nyalakan lilin dan hentikan mengutuk kegelapan. Semoga kabar baik segera datang!
Tulisan ini sudah dimuat di Republika online pada 21 April 2020.