Pertukaran ide dalam diskusi yang seharusnya mencerahkan seringkali menjelma menjadi debat kusir yang menjengahkan. Debar kusir ini bisa terjadi di banyak tempat: angkringan, grup media sosial, atau ruang publik lain, seperti layar kaca. Yang mengasyikkan, di tengah kejengahan, kadang muncul hiburan ketika dalil “pokoknya”, jurus pamungkas, dikeluarkan oleh peserta diskusi.
Sialnya, kadang kita pun tanpa sadar melakukan hal serupa. Keberanian menertawakan diri sendiri merupakan sebuah kemewahan yang sudah jarang ditemui. Akhiri dengan koreksi diri. Mari berkaca dengan dua fragmen berikut.
Sumbu panjang
Di tengah ceramahnya, Car Nur (Nurcholis Madjid) menunjukkan surat belasan halaman yang dikirimkan ke Romo Franz Magnis-Suseno. Cak Nur juga menunjukkan surat tebal serupa dari Romo Magnis. Episode ini terjadi di suatu siang pada 1996, 24 tahun yang lalu, di Pondok Pesantren Al Kamal, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Cak Nur saat itu, kami undang menjadi salah satu pembicara Pesantren Wawasan Nasional (Sanwanas) yang rutin digelar oleh sekelompok mahasiswa lintasorganisasi antarkampus. Sanwanas merupakan kerja sama ideologis dan aksi antara pegiat Masjid Manarul Ilmi ITS, Jamaah Shalahuddin UGM, HMI Yogyakarta, HMI Semarang, Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB, dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) UIN Syarif Hidayatullah. Sanwanas pada saat itu menghadirkan banyak tokoh nasional, seperti Adnan Buyung Nasution, Adi Sasono, Din Syamsuddin, dan Budhy Munawar Rachman.
Apa isi surat Cak Nur dan Romo Magnis? Mereka berdua sedang mendiskusikan salah satu isu sensitif dalam agama. Karenanya mereka memilih jalur surat yang bersifat personal. Seingat penulis, menurut cerita Cak Nur, Romo Magnis keberatan dengan salah satu poin dalam tulisan Cak Nur. Alih-alih marah secara emosional, Romo Magnis mengirim surat sangat panjang kepada Cak Nur, yang berisi beragam argumen.
Cak Nur pun sama, membalasnya dengan surat yang tidak pendek, penuh dengan argumen dan sitasi literatur. Penulis tidak ingat berapa ronde pertukaran surat ini terjadi. Kawan Sanwanas penulis, yang saat ini tersebar dengan berbagai peran, yang membaca tulisan ini dan ingat episode tersebut dapat memverikasi. Begitu pun Romo Magnis yang masih sehat.
Bukan cacah ronde yang menjadi fokus tulisan ini. Sikap beliau berdualah yang menjadi pelajaran. Ini contoh diskusi personal yang tidak mudah kita cari padanannya. Keduanya tidak bersumbu pendek dan tidak mudah tersulut emosi.
Buku dilawan buku
Jika memutar waktu ke belakang, kita juga temui contoh diskusi akademik yang ciamik. Diskusi ini melibatkan beberapa tokoh besar.
Al-Ghazali mengkritisi pemikiran para filsuf, termasuk Ibnu Sina dan Al-Farabi, yang direkam dalam buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Al-Ghazali mengkritik ilmu filsafat yang digagas Ibnu Sina yang dianggapnya tidak sesuai dengan akidah Islam.
Ibu Sina yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern ini merupakan peminat karya-karya filsuf Yunani. Beragam buku dilahap oleh Ibnu Sina, termasuk, Organon karya Aristoteles yang membahas logika, Elements karya Euclid yang berisi matematika, Almagest besutan Ptolomeus yang mendiskusikan astronomi dengan pendekatan matematis, sampai Metaphysics karya besar Aristoteles tentang metafisika.
Buku yang terakhir ini membuat dahi Ibnu Sina mengernyit. Meski sudah mengulangnya sebanyak 40 kali, sampai agak hafal, tetapi tetap tidak paham, sampai akhirnya Ibnu Sina membaca buku On the Purpose of the Metaphysics karya Al-Farabi. Buku itu dibelinya seharga tiga dirham dari seseorang yang membutuhkan uang di pojok kota tempat tinggalnya, pada suatu sore.
Tidak banyak yang tahu kalau Ibnu Sina lebih banyak menulis buku filsafat dibandingkan kedokteran. Sebuah sumber menyebutkan, dari 240an karyanya yang bisa diakses sampai hari ini, sebanyak 150 terkait dengan filsafat dan “hanya” 40 yang membahas kedokteran.
Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Rusyd mempertanyakan pemikiran Al-Ghazali dan merekamnya ke dalam buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan). Ibnu Rusyd juga sepaham dengan beberapa poin pemikiran Al-Ghazali yang mengkritik Ibnu Sina.
Yang menarik, keempat nama besar ini tidak hidup sezaman. Ibnu Sina (980-1037) lahir 30 tahun setelah Al-Farabi (872-950) meninggal. Al-Ghazali (1058-1111) menghirup udara dunia 21 tahun setelah Ibnu Sina wafat. Ibnu Rusyd (1126-1198), hadir di muka bumi berselang 25 tahun dari mangkatnya Al-Ghazali.
Penulis tidak dalam kapasitas untuk membahas buku-buku berat yang ditulis orang-orang besar ini. Yang jelas, ketika mereka mengkritik sebuah pemikiran dalam sebuah buku, mereka menuliskannya ke dalam buku lain dengan konseptualisasi yang utuh. Tidak hanya dengan komentar menyengat yang mematahkan semangat dan ide mentah yang tidak dipikir panjang, apalagi dengan dalil “pokoknya” sebagai tanda terpojok. Mereka membaca betul argumen per argumen sebelum mengkritisi. Tidak hanya melihat ringkasan orang lain yang mungkin bias, apalagi hanya melihat sampulnya.
Pelajaran
Dua fragmen di atas menyimpan banyak pelajaran penting. Pahami setiap ide sebelum menyanggahnya. Matangkan ide tandingan sebelum mengeluarkannya. Jika tidak, siapkan diri untuk malu seperti seorang pesilat yang masih mentah jurusnya tetapi berani unjuk gigi dengan arogan. Tidak semua ide harus diketahui orang. Kadang kita cukup menyimpannya dalam-dalam; untuk dimatangkan atau menunggu waktu yang pas untuk dimunculkan.
Dalam berdiskusi, ada saatnya berbicara. Tetapi tidak jarang, kita harus mendengar. Kita harus tahu kapan mulut berbicara dan kapan telinga terjaga. Dalam diskusi tertulis, ini serupa dengan menulis dan membaca.
Tidak semua diskusi harus terjadi di ranah terbuka. Isu yang sensitif tidak perlu menjadi konsumsi publik. Nampaknya tidak sulit mencari contoh diskusi publik di negeri ini yang menuai cibiran. Publik memang sudah semakin dewasa, meski kadang tidak seperti yang kita duga.
Dalam berdiskusi, hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin. Mudah? Tidak juga. Kita perlu memperpanjang sumbu, fokus pada ide bukan pada orang. Jangan sakit hati ketika ide tidak terjual. Yang ditolak adalah ide kita, buka kita. Tidak ada ide yang sempurna. Satu lagi: dalam berdiskusi, jangan berharap semua orang harus mengikuti ide kita.
Diskusi yang mencerahkan inilah yang akan mengasah hati dan akal: modal untuk menjadi orang hebat yang tidak mudah dibeli harga dirinya. Ibnu Sina dalam otobiografinya menulis, asistennya yang sangat setia, Abu Ubayd al-Juzjani, sering melantunkan bait syair kepadanya: ketika aku menjadi hebat, tak satupun kota yang mampu menampungku; ketika hargaku naik, tak seorangpun yang sanggup membeliku.
Tulisan ini telah dimuat di Republika Online 23 April 2020, dengan judul yang berbeda.