Masa depan berawal dari imajinasi. Kegagalan dalam berimajinasi merupakan awal yang problematik dalam mendesain masa depan. Imajinasi kolektif menjadi lebih berbobot karena memberikan arah jalan bersama yang harus ditempuh.

Demikian juga universitas. Beragam imajinasi dimunculkan dan ditawarkan. Revolusi industri 4,0, misalnya, sering dianggap titik tolak perubahan universitas. Banyak yang mengamini. Beragam konseptualisasi ditawarkan. Praktik salin tempel konsep dari konteks asing pun tidak jarang mengisi meja diskusi.

Adakah yang salah? Mungkin ya, barangkali tidak. Tergantung kepada nilai pijakan dalam memandang peran universitas. Setiap ide yang muncul harus dilihat dengan kacamata nilai pijakan. Praktik terbaik yang terbukti sukses di sebuah konteks, tidak menjamin memunculkan cerita serupa di konteks lain. Kemampuan mengkontekstualisasi ide sangat penting.

Kekuatan ide penyintas

Idelah yang ditranslasikan ke sebuah konteks. Karenanya, praktik terbaik bukan diadopsi, tetapi diadaptasi. Ide yang dikandung praktik yang dimaknai. Praktik hasil kontekstualisasi seharusnya bersifat tulen karena menjadi kongruen dengan nilai pijakan.

Nilai pijakan bisa beragam: kapitalisme, humanisme, keserakahan, kelestarian, atau lainnya. Setiap ide dapat dilacak nilai pijakannya. Ide dengan nilai pijakan kapitalisme, sangat mungkin tidak bisa berdampingan dalam harmoni dengan ide yang muncul dari tradisi humanisme. Ide yang muncul karena keserakahan, sulit berjalan seiring dengan ide yang mengedepankan kelestarian.

Nilai pijakan mungkin berubah sejalan dengan waktu, meski tidak mudah. Studi yang dilakukan oleh Collins dan Porras (2004) yang terekam dalam buku “Built to Last”, menemukan bahwa institusi penyintas yang berusia panjang dan hebat adalah yang setia mengawal nilai pijakan. Mereka menyebutnya ideologi inti yang disandingkan dengan tujuan inti.

Tapi nilai pijakan saja tidak cukup menjadi bekal universitas menjadi penyintas, yang sanggup beradaptasi dengan perubahan. Diperlukan imajinasi berani dan tulen yang berangkat dari pemahaman yang baik atas konteks. Konteks di sini bisa mewujud dalam dimensi ruang dan waktu yang unik. Lokasi geografis, preferensi warga universitas, kebutuhan lingkungan, kematangan infrastruktur merupakan contoh keunikan konteks.

Universitas terimajinasi

Beragam imajinasi universitas dapat didaftar di sini, seperti universitas kelas dunia, universitas riset, dan universitas entrepreneurial. Tidak jarang, imajinasi ini diucapkan dan ditulis sambil lalu, sonder konseptualisasi. Beberapa pertanyaan dapat diajukan. Apakah imajinasi tersebut berangkat dari pemahaman yang baik atas konteks? Apakah imajinasi tersebut telah dikonseptualisasi dengan memadai? Tanpa jawaban yang tegas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, imajinasi universitas masa depan menjadi kabur.

Bingkai yang ditawarkan oleh Barnett (2018) dalam bukunya “The Ecological University” menarik untuk didiskusikan. Universitas berhubungan dengan beragam ekosistem: ekologi pengetahuan, institusi sosial, subjektivitas manusia, ekonomi, pembelajaran, budaya, dan lingkungan alam. Meski penuh tantangan, optimisme dalam melihat peran universitas harus terus dipupuk. Karenanya, universitas harus sensitif terhadap ekosistem yang melingkupinya. Kehadiran universitas tidak semata karena alasan instrumental, terutama ekonomi yang cenderung kapitalistik.

Perspektif ini berbeda dengan prediksi Christensen dan Eyring (2011), penulis buku “The Innovative University” yang menyatakan bahwa separoh universitas swasta nirlaba di Amerika Serikat akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan, karena penyebaran pembelajaran daring. Beragam respons muncul atas prediksi ini. Bahkan rektor dari sebuah universitas di Amerika Serikat menawarkan taruhan senilai satu juta dolar Amerika untuk prediksi Christensen ini. Konteks dalam buku tersebut, tentu tidak bisa disalin mentah-mentah ke Indonesia.

Terlepas dari itu, perubahan perspektif ini menjadi penting karena akan mempengaruhi beragam instrumen untuk menilai kinerja sebuah universitas. Pendekatan reduksionis yang hanya mengedepankan angka atau indeks bisa membimbing ke arah yang salah. Pendekatan positivistik dengan angka memang memudahkan untuk membandingkan, tetapi perlu dicatat dengan tinta tebal, hasilnya tidak akan komprehensif.

Reduksi imajinasi universitas dalam bentuk angka, tentu akan menggadaikan ideologi dan tujuan inti kehadirannya. Tujuan kehadiran universitas sangatlah mulia, tri darma, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang. Universitas harus menjalankan tiga misi: produksi pengetahuan melalui penelitian yang berdampak, diseminasi pengetahuan lewat pengajaran dan publikasi yang berkualitas, dan aplikasi pengetahuan dalam beragam bentuk pengabdian kepada masyarakat yang tepat program dan sasaran.

Untuk membangun imajinasi kolektif, frasa operatif terpenting dalam konteks ini adalah “yang berdampak”, “yang berkualitas”, dan “yang tepat program dan sasaran”. Fakta di lapangan memberikan bukti bahwa ketiga darma tersebut dapat ditunaikan dalam ragam kualitas yang variatif, mulai dari sekedar menggugurkan kewajiban sampai dengan sepenuh hati.

Universitas masa depan

Jika pilihan sepenuh hati disepakati, maka universitas tidak boleh lagi beroperasi pada menara gading yang eksklusif. Universitas sudah tidak lagi menjadi menara yang mentransmisikan pengetahuan kepada mahasiswa, sampai mahasiswa menjadi menara pengetahuan yang siap mentransmisikan pengetahuan ketika memasuki masyarakat. Sialnya, otomasi pembelajaran berbasis mesin, masih mewarisi perspektif ini.

Universitas juga tidak boleh hanya menjadi pabrik pekerja masa depan. Indikasinya beragam, seperti banjir permintaan kebermanfaatan kompetensi, skema pemeringkatan, dan efisiensi luaran. Kinerja universitas pun tidak jarang direduksi dalam daftar periksa dan angka. Nampaknya tidak sulit mencari ilustrasi empiris di Indonesia.

Universitas masa depan harus berikhtiar bersama dengan masyarakat, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, dalam mengembangkan kemitraan yang kritikal-kreatif untuk menghadirkan manfaat, pengetahuan, dan warga masyarakat masa depan. Universitas mempunyai nilai pijakan sebagai basis moral yang kuat. Perubahan lingkungan direspons dan perkembangan teknologi diadaptasi, tetapi tanpa melupakan nilai pijakan.

Universitas yang terimaji seharusnya juga dapat hidup berdampingan dengan ekosistem yang melingkupinya, untuk mendukung dan mengembangkannya. Ekosistem dan universitas saling mempengaruhi secara resiprokal. Peran pengambil kebijakan dan regulasi yang dibuatnya juga sangat penting untuk menjaga iklim yang kondusif.

Karenanya, mata dan telinga harus terjaga untuk menjadi radar sensitif dalam menangkap sinyal perubahan. Ini merupakan ikhtiar kolektif, melibatkan sebanyak mungkin warga universitas. Tanpanya, universitas akan gagal menjadi penyintas ruang dan waktu, yang legitimasi dan relevansinya disangsikan.

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Opini Harian Republika pada 4 April 2019.

Seperti sering saya sebut dalam beragam kesempatan, UII berkembang karena tiga faktor besar. Pertama adalah keikhlasan para pendiri. Terlalu banyak cerita yang saya baca dan saya dengar menggambarkan bagaimana para pendiri telah rampung dengan dirinya dan tidak punya pamrih personal. Para pendiri adalah para peletak nilai-nilai dasar atau fondasi ideologis.

Faktor penentu kedua adalah kontribusi dan kiriman doa tanpa henti dari banyak orang, termasuk alumni, para mitra, dan masyarakat. Kita tidak tahu, dari mulut siapa, doa akan dikabulkan Allah. Karenanya bagi UII, seribu kawan masih kurang, satu musuh terlalu banyak. Para kawan itulah yang akan senantiasa mengirim harapan dan doa untuk UII.

Ketiga, kemajuan UII juga dipengaruhi oleh ikhtiar terbaik yang dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Beragam inisiatif dan program invensi kami laksanakan untuk menjaga UII tetap pada relnya dan mengembangkannya untuk merespons perubahan lingkungan yang semakin menuntut perhatian.

Tentu, sebagai orang beriman, kita percaya, semuanya ikhtiar tersebut tidak akan membuahkan hasil tanpa rida Allah Swt.

Saya pribadi, dan UII sebagai institusi, mengucapkan selamat untuk pencapaian semua wisudawan. Menyelesaikan studi bukanlah tanpa rintangan. Tetapi dengan keteguhan dan kerja keras, semuanya dapat dilalui dengan tuntas. Ucapan selamat juga saya sampaikan kepada keluarga para wisudawan. Dukungan dan doa yang terkirim tiap hari telah menerangi dan melapangkan jalan, serta menghalau rintangan dalam studi.

Namun perlu disadari sepenuhnya, perkuliahan di perguruan tinggi, bukanlah akhir sebuah perjalanan studi. Dalam pandangan Islam, belajar adalah misi sepanjang hayat, selama nyawa masih melekat, selama nafas belum tersendat. Tidak ada garis finis dalam belajar.

Dunia nyata yang akan Saudara masuki adalah kelas belas tanpa dinding, kampus tanpa pagar, dan laboratorium hidup. Saudara dapat belajar banyak hal, yang belum sempat Saudara pelajari di kampus. Pelajaran yang Saudara dapatkan di bangku kuliah, adalah modal dasar untuk belajar lebih lanjut. Teruslah belajar.

Ke depan, bisa jadi, apa yang hari ini Saudara kuasai akan kedaluwarsa. Saudara harus terus mengasah diri. Perubahan lingkungan yang sangat cepat menuntut Saudara untuk menyesuaikan diri.

Saudara mungkin tidak asing dengan beberapa perubahan lingkungan sosial ekonomi ini berikut: gaya bekerja yang lebih fleksibel, hadirnya kelas menengah di negara berkembang, perubahan iklim. Atau, perkembangan teknologi seperti: Internet bergerak, teknologi awan, mahadata, Internet of Things, ekonomi berbagi, dan kecerdasan buatan. Semuanya itu beberapa contoh adalah pendorong perubahan. Mereka sudah hadir hari ini, dan membutuhkan respons kreatif.

Karenanya, keterampilan baru dibutuhkan. Saudara masih punya waktu untuk mengasah diri dan menajamkan kurva pembelajaran. World Economic Forum merangkum 10 keterampilan yang saat ini dan ke depan dibutuhkan.

Pertama, complex problem-solving. Saudara harus mengasah kemampuan dalam memecahkan masalah yang kompleks dengan mengembangkan kapasitas untuk memecahkan masalah baru yang tidak mudah didefinisikan dan dalam lingkungan dunia nyata yang kompleks.

Kedua, critical thinking. Saudara dituntut untuk mengembangkan logika dan penalaran untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan setiap solusi, kesimpulan, atau pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah.

Ketiga, creativity. Saudara perlu mengembangkan diri untuk terbiasa menghadirkan ide-ide yang tidak biasa dan cerdas untuk beragam situasi dan mengembangkan cara kreatif untuk memecahkan masalah.

Keempat, people management. Saudara adalah pemimpin masa depan. Saudara dituntut untuk mampu memotivasi, mengembangkan, dan mengarahkan orang dalam bekerja dan mengidentifikasi orang terbaik untuk setiap pekerjaan.

Kelima, coordinating with others. Saudara juga perlu mengembangkan keterampilan sosial, mampu menyesuaikan tindakan untuk merespons orang lain. Kemampuan berkoodinasi dengan orang lain sangat diperlukan untuk mengorkestrasi perubahan.

Keenam, emotional intelligence, yaitu keterampilan dalam menyadari reaksi orang lain dan memahami mengapa mereka melakukan itu. Asahlah selalu kepekaan emosi Saudara.

Ketujuh, judgment and decision-making. Ini merupakan keterampilan sistem. Saudara harus mempunyai keterampilan menilai setiap tindakan dari sisi biaya dan manfaatnya, dan memilih yang paling sesuai. Selalu kembangkan kemampuan membuat pilihan cerdas atas beragam alternatif.

Kedelapan, service orientation, yaitu keetrampilan yang secara aktif mencari beragam cara untuk menolong orang lain. Mengembangan orientasi dalam melayani tidak selalu mudah. Apalagi untuk orang yang sudah terbiasa menuntut dan minta dilayani, atau terbiasa menikmati beragam fasilitas.

Kesembilan, negotiation. Saudara dituntut mampu menyatukan orang dan mengambil jalan tengah atas perbedaan yang ada. Kemampuan ini menjadi sangat penting ketika perbedaan dan bahkan konflik sudah terbiasa terjadi secara terbuka, termasuk di media sosial.

Kesepuluh, cognitive flexibility. Sebagai calon pemimpin, Saudara harus selalu mengembangan kemampuan untuk membuat atau menggunakan beragam aturan untuk secara kreatif mengkombinasikan atau mengelompokkan beragam hal. Fleksibilitas kognitif ini diperlukan untuk menghadirkan hasil yang paling optimal.

Singkatnya: Saudara dituntut selalu mengembangkan kemampuan diri untuk selalu adaptif dalam merespons segala bentuk perubahan.

Di atas semua keterampilan atau kemampuan itu, mohon jangan dilupakan, bahwa di UII, Saudara dikenalkan kepada tiga komitmen penting dan harus dirawat sepanjang hayat.

Pertama, komitmen keilmuan. Setiap tindakan Saudara, sudah seharusnya didasarkan pada ilmu yang dikuasai. Jadikanlah ilmu Saudara selalu menghadirkan manfaat. Namun demikian, tetaplah merasa bodoh, karena dengannya, kita akan terus tersadar untuk terus belajar. Selalu kembangkan diri dan jaga akal sehat.

Kedua, komitmen kebangsaan. Ingat selalu, bahwa UII yang menjadi bagian dari hidup Saudara, lahir bersama dengan bangsa ini. Pendiri negara ini adalah juga pembesut UII. Selalu asah kepedulian terhadap masalah masyarakat dan bangsa.

Ketiga, komitmen keislaman. Selalu amalkan ajaran dan nilai-nilai Islam di manapun Saudara berada, untuk menjaga muruah Islam. Asah sensitivitas Saudara terhadap masalah umat. Saudara yang bukan Muslim pun, tetap bisa mengimplementasikan nilai-nilai Islami dalam hidup, seperti dengan selalu jujur, gemar menolong,  dan mengutamakan kepentingan orang banyak.

Tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya ditangisi.

Disarikan dari sambutan rektor pada wisuda Universitas Islam Indonesia, 30 Maret 2019.

Sebagai daerah yang termasuk kawasan rawan bencana, mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) perlu memahami pentingnya pelatihan dalam menghadapi situasi bencana. Hal inilah yang mendorong Takmir Masjid Ulil Albab menyelenggarakan “Ulil Albab Emergency Regency” pada hari Minggu (31/03) pukul 08.00 – 15.00 WIB, bertempat di Gedung Perpustakaan Pusat Universitas Islam Indonesia.

Pelatihan Tanggap Bencana tersebut menghadirkan dua pemateri yakni Ahmad Zaki Ali (Tersertifikasi Field Coordinator of BNSP) & Ruri Nugroho (Tersertifikasi First Aid Manager of BNSP). Pelatihan dilakukan dalam dua sesi, sesi pertama menjelaskan Tanggap Dampak Bencana dan sesi kedua menjelaskan tentang Pertolongan Pertama Gawat Darurat.

Read more

Anak-anak usia sekitaran 14 – 15 tahun yang mengunakan media sosial selama 10 jam seminggu cenderung 56 kali merasa tidak bahagia, dibanding dengan teman-temannya yang tidak menggunakan media sosial. Selanjutnya mereka yang mengakses media sosial 6 jam selama seminggu cenderung 46% merasa tidak bahagia.

Demikian disampaikan Wakil Rektor 1 Bidang Pengembangan Akademik dan Riset, Dr. Drs. Imam Djati Widodo., M.Eng., S.c dalam acara Sumpah Profesi Psikolog periode 43 yang dilaksanakan pada Sabtu (30/03), bertempat di Auditorium lt. 3, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) secara konsisten turut mendukung kampanye Earth Hour, melalui aksi switch off pada Sabtu (30/3). Aksi dimatikannya seluruh jaringan listrik di lingkungan kampus UII ini, berlangsung selama satu jam, yakni mulai 20.30 sampai 21.30 WIB.

Dalam pelaksanaan kampanye peduli lingkungan kali ini, UII mengajak seluruh komponen kampus untuk turut berpartisipasi. Mulai dari dosen, pegawai, mahasiswa serta para alumni. Di kampus UII, aksi Earth Hour ditandai dengan seremoni pemadaman listrik di Gedung Mohammad Hatta, yang juga merupakan titik pertama listrik dipadamkan.

Read more

Situs Web UII menerima anugerah perunggu (bronze winner) dalam Public Relations Indonesia Award (PRIA) 2019 yang diselenggarakan oleh PR Indonesia. Sebagai satu-satunya ajang kompetisi PR paling komprehensif di Indonesia, PRIA merupakan salah satu barometer unjuk kerja kehumasan yang patut diikuti oleh segenap praktisi PR korporasi/organisasi. Pemberian penghargaan PRIA tahun ini adalah yang keempat kalinya sejak pertama kali diselenggarakan di tahun 2016.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 992 lulusan pada pelaksanaan Wisuda Periode IV Tahun Akademik 2018/2019, di Auditorium Abdulkahar Mudzakkir, Sabtu (30/3). Wisudawan terdiri dari 13 ahli madia, 816 sarjana, 88 magister, dan lima doktor. Dengan wisuda ini, UII telah meluluskan 96.520 alumni.

Read more

Dalam dunia hiburan dikenal istilah melodrama yakni upaya mengelola emosi pemirsa untuk membuatnya betah berlama-lama melihat produk hiburan. Ciri-ciri melodrama antara lain melihat tokoh serba hitam-putih sehingga memunculkan kultus mengidolakan seseorang dan begitu membenci orang yang memiliki karakter berkebalikan dengan idolanya. Rupanya melodrama juga turut dibawa dalam budaya dan kehidupan politik bangsa Indonesia.

Hal inilah yang turut menjadi keprihatinan salah satu sineas kenamaan, Garin Nugroho. Seperti diungkapkannya pada kuliah umum dan bedah buku “Negara Melodrama” yang diadakan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (Nadim), Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII), pada Kamis, (28/3). Kegiatan tersebut berlangsung di Auditorium lantai 3, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.

Read more

Pemerataan ekonomi menjadi isu yang hangat di masyarakat Indonesia. Terlebih Indonesia saat ini sedang memasuki era industri baru yang ditandai dengan digitalisasi di pelbagai sektor industri. Pemenuhan kebutuhan yang cepat serta perubahan era digital ini tentunya secara tidak langsung akan berdampak pada perekonomian Indonesia ke depan.

Menjawab tantangan tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Tokopedia menyelenggarakan seminar bertajuk Tech A Break Goes To Campus “Machine Learning: A Game Changer In Tech Industry” bertempat di Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII (29/3).

Seminar menghadirkan Head of Research Scientist Tokopedia, Dr. Irvan Bastian Arief dan Software Engineer Lead Tokopedia, Muhammad Auliya. Jalannya seminar dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Networking & Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D.

Read more

Pemilu yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 merupakan bagian dari ritual bangsa dalam merawat demokrasi di Indonesia. Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di muka bumi. Pelaksanaan pemilu secara serentak untuk pertama kalinya guna memilih pasangan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPR provinsi, dan DPR kabupaten/kota, telah memunculkan harapan dan sekaligus tantangan tersendiri.

Pemilu adalah salah satu ikhitar menjaga legitimasi yang terpilih. Legitimasi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Namun, berkaca dari cerita belahan dunia lain, kita sebagai bangsa, harus secara bersama-sama mengawal kualitas proses. Kebocoran dalam proses akan sangat mungkin meningkatkan ketidakpercayaan warga, dan ujungnya adalah rendahnya legimitasi yang terpilih.

Untuk memberikan ilustasi, pada September 2016, CNN[1] menurunkan laporan dari Afrobarometer (afrobarometer.org), sebuah institut riset lintas Afrika tentang rendahnya kepercayaan terhadap pemilu. Hanya sebanyak 44%  warga Afrika  yang menjadi responden di 36 negara yang percaya dengan pemilu. Sebabnya beragam. Suap, intimidasi, dan korupsi adalah beberapa alasan di belakang rendahnya kepercayaan terhadap pemilu. Sebanyak 51% responden bahkan tidak percaya dengan Komisi Pemilihan Umum di sana. Potret ini semakin buram karena sekitar 70% responden mengaku pernah ditawari “suap” untuk memilih calon tertentu.

Tentu, kita tidak ingin, potret buram ini terjadi di Indonesia. Harapan terhadap hadirnya pemilu yang damai adalah anti-tesis dari temuan Afrobarometer tersebut.

Potensi kebocoran proses dengan segala bentuknya dalam pemilu selalu ada. Konteks Indonesia tidak terlepas dari potensi itu. Apalagi, pada saat ini ketika teknologi informasi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pemilu, termasuk ketika musim kampanye. Sisi buram teknologi informasi dapat dieksploitasi untuk kepentingan jangka pendek oleh mereka yang ‘gelap mata’.

Penggunaan teknologi untuk mempengaruhi hasil pemilu dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 telah menjadi pencelik mata. Pemilu saat ini nampaknya tidak lagi menjadi pesta demokrasi warga negara saja, tetapi juga berpotensi menarik negara asing untuk terlibat dengan kepentingannya masing-masing. Laporan yang diturunkan oleh Majalah Foreign Affairs[2] membahas tentang pemilu yang tidak bisa diretas (the unhackable election).

Laporan memberikan gambaran bagaimana penggunaan teknologi informasi dapat memfasilitasi “kecurangan” pemilu. Bahkan negara asing bisa ikut “nimbrung” (meddle)  di dalamnya. Selain pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016, pemilihan Presiden Prancis 2017, pemilu Italia pada Maret 2018, referendum di Macedonia pada September 2018, pemilu Swedia pada September 2018, dan pemilu Bosnia dan Herzegowina pada Okober 2018, diduga kuat diwarnai dengan “campur tangan” asing melalui penyampaian informasi tertentu (terutama hoaks) dengan upaya terstruktur. Meskipun, sebagaimana dilaporkan oleh Majalah Foreign Affairs, negara-negara tersebut menyangkal adanya “campur tangan” asing.

Sosial media menjadi senjata andalan. Salah satu indikasinya adalah cacah akun palsu media sosial, termasuk Twitter, Facebook, dan Instagram, meningkat tajam mendekati hari-H. Penyebaran konten melalui medis sosial juga tidak jarang menggunakan robot.

Apakah ada penggunaan robot dalam penyebaran informasi pada media sosial di Indonesia? Jawaban singkatnya: ada, dan bisa membuktikan. Ketika ada informasi yang sama dibagi di media sosial dari beragam akun tetapi pada waktu yang sama, sangat patut diduga, bahwa itu di luar kemampuan manusia.

Bagaimana di Indonesia? Meskipun sulit membuktikan “campur tangan” asing, namun berkaca dari kejadian di negara lain yang disebut di atas tadi, secara teoretis, peluang itu ada. Jika ini terjadi dengan bukti nyata, tentu akan sangat mempengaruhi legimitasi hasil pemilu. Siapapun pemenangnya.

Terlepas dari itu, perang pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di media sosial, sampai saat ini sudah sampai pada tarap yang tidak sehat. Beragam ujaran kebencian dan anti-kedamaian telah menjadi menu sehari-hari dan sudah membudaya. Berita bohong (hoaks) pun tidak sulit ditemukan.

Jika budaya ini dibiarkan, dampaknya bisa sangat membahayakan persatuan bangsa. Saat ini, di dunia maya, tidak sulit untuk melihat munculnya polarisasi sosial yang sangat akut. Konflik di dunia maya pun dapat berkembang menjadi konflik di dunia nyata. Sebagian pendukung buta pasangan calon nampaknya telah menjelma menjadi komunitas masokhis sosial yang tuna empati, menikmati kebencian dan penderitaan orang lain. Jika hal ini terus terjadi dan bahkan bereskalasi, pemilu yang damai dan bermartabat akan menjadi taruhan mahal.

Jika memang kebencian itu tidak bisa dihilangkan, pesan Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang disampaikan sekitar 14 abad lalu, yang terekam dalam Kitab Nahjul Balaghah, nampaknya masih relevan untuk dijadikan pedoman:

“Cintailah kekasihmu itu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan mencintainya suatu ketika”

Mari, menjadi pemilih yang mandiri dan mengedepankan akal sehat. Waspadai upaya dari pihak-pihak tertentu untuk melegitimasi pemilu dan kemungkinan campur tangan asing.

Kita bersama berdoa, semoga pemilu segera berlalu dengan berkualitas, menghasilkan orang-orang terpilih dengan legitimasi tinggi. Semoga bangsa Indonesia kembali waras dan tidak membocorkan energi yang terbatas, untuk sesuatu yang tidak berdampak untuk kemajuan bangsa.

Disarikan dari sambutan Rektor Universitas Islam Indonesia dalam pembukaan Seminar Nasional “Mendorong Pemilu Damai dan Substantif: Peta Jalan Menuju Perlindungan Hak Memilih” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) pada 28 Maret 2019.

[1] https://edition.cnn.com/2016/09/25/africa/africa-view-election-distrust/index.html

[2] https://www.foreignaffairs.com/articles/2018-12-11/unhackable-election