Masa depan berawal dari imajinasi. Kegagalan dalam berimajinasi merupakan awal yang problematik dalam mendesain masa depan. Imajinasi kolektif menjadi lebih berbobot karena memberikan arah jalan bersama yang harus ditempuh.
Demikian juga universitas. Beragam imajinasi dimunculkan dan ditawarkan. Revolusi industri 4,0, misalnya, sering dianggap titik tolak perubahan universitas. Banyak yang mengamini. Beragam konseptualisasi ditawarkan. Praktik salin tempel konsep dari konteks asing pun tidak jarang mengisi meja diskusi.
Adakah yang salah? Mungkin ya, barangkali tidak. Tergantung kepada nilai pijakan dalam memandang peran universitas. Setiap ide yang muncul harus dilihat dengan kacamata nilai pijakan. Praktik terbaik yang terbukti sukses di sebuah konteks, tidak menjamin memunculkan cerita serupa di konteks lain. Kemampuan mengkontekstualisasi ide sangat penting.
Kekuatan ide penyintas
Idelah yang ditranslasikan ke sebuah konteks. Karenanya, praktik terbaik bukan diadopsi, tetapi diadaptasi. Ide yang dikandung praktik yang dimaknai. Praktik hasil kontekstualisasi seharusnya bersifat tulen karena menjadi kongruen dengan nilai pijakan.
Nilai pijakan bisa beragam: kapitalisme, humanisme, keserakahan, kelestarian, atau lainnya. Setiap ide dapat dilacak nilai pijakannya. Ide dengan nilai pijakan kapitalisme, sangat mungkin tidak bisa berdampingan dalam harmoni dengan ide yang muncul dari tradisi humanisme. Ide yang muncul karena keserakahan, sulit berjalan seiring dengan ide yang mengedepankan kelestarian.
Nilai pijakan mungkin berubah sejalan dengan waktu, meski tidak mudah. Studi yang dilakukan oleh Collins dan Porras (2004) yang terekam dalam buku “Built to Last”, menemukan bahwa institusi penyintas yang berusia panjang dan hebat adalah yang setia mengawal nilai pijakan. Mereka menyebutnya ideologi inti yang disandingkan dengan tujuan inti.
Tapi nilai pijakan saja tidak cukup menjadi bekal universitas menjadi penyintas, yang sanggup beradaptasi dengan perubahan. Diperlukan imajinasi berani dan tulen yang berangkat dari pemahaman yang baik atas konteks. Konteks di sini bisa mewujud dalam dimensi ruang dan waktu yang unik. Lokasi geografis, preferensi warga universitas, kebutuhan lingkungan, kematangan infrastruktur merupakan contoh keunikan konteks.
Universitas terimajinasi
Beragam imajinasi universitas dapat didaftar di sini, seperti universitas kelas dunia, universitas riset, dan universitas entrepreneurial. Tidak jarang, imajinasi ini diucapkan dan ditulis sambil lalu, sonder konseptualisasi. Beberapa pertanyaan dapat diajukan. Apakah imajinasi tersebut berangkat dari pemahaman yang baik atas konteks? Apakah imajinasi tersebut telah dikonseptualisasi dengan memadai? Tanpa jawaban yang tegas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, imajinasi universitas masa depan menjadi kabur.
Bingkai yang ditawarkan oleh Barnett (2018) dalam bukunya “The Ecological University” menarik untuk didiskusikan. Universitas berhubungan dengan beragam ekosistem: ekologi pengetahuan, institusi sosial, subjektivitas manusia, ekonomi, pembelajaran, budaya, dan lingkungan alam. Meski penuh tantangan, optimisme dalam melihat peran universitas harus terus dipupuk. Karenanya, universitas harus sensitif terhadap ekosistem yang melingkupinya. Kehadiran universitas tidak semata karena alasan instrumental, terutama ekonomi yang cenderung kapitalistik.
Perspektif ini berbeda dengan prediksi Christensen dan Eyring (2011), penulis buku “The Innovative University” yang menyatakan bahwa separoh universitas swasta nirlaba di Amerika Serikat akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan, karena penyebaran pembelajaran daring. Beragam respons muncul atas prediksi ini. Bahkan rektor dari sebuah universitas di Amerika Serikat menawarkan taruhan senilai satu juta dolar Amerika untuk prediksi Christensen ini. Konteks dalam buku tersebut, tentu tidak bisa disalin mentah-mentah ke Indonesia.
Terlepas dari itu, perubahan perspektif ini menjadi penting karena akan mempengaruhi beragam instrumen untuk menilai kinerja sebuah universitas. Pendekatan reduksionis yang hanya mengedepankan angka atau indeks bisa membimbing ke arah yang salah. Pendekatan positivistik dengan angka memang memudahkan untuk membandingkan, tetapi perlu dicatat dengan tinta tebal, hasilnya tidak akan komprehensif.
Reduksi imajinasi universitas dalam bentuk angka, tentu akan menggadaikan ideologi dan tujuan inti kehadirannya. Tujuan kehadiran universitas sangatlah mulia, tri darma, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang. Universitas harus menjalankan tiga misi: produksi pengetahuan melalui penelitian yang berdampak, diseminasi pengetahuan lewat pengajaran dan publikasi yang berkualitas, dan aplikasi pengetahuan dalam beragam bentuk pengabdian kepada masyarakat yang tepat program dan sasaran.
Untuk membangun imajinasi kolektif, frasa operatif terpenting dalam konteks ini adalah “yang berdampak”, “yang berkualitas”, dan “yang tepat program dan sasaran”. Fakta di lapangan memberikan bukti bahwa ketiga darma tersebut dapat ditunaikan dalam ragam kualitas yang variatif, mulai dari sekedar menggugurkan kewajiban sampai dengan sepenuh hati.
Universitas masa depan
Jika pilihan sepenuh hati disepakati, maka universitas tidak boleh lagi beroperasi pada menara gading yang eksklusif. Universitas sudah tidak lagi menjadi menara yang mentransmisikan pengetahuan kepada mahasiswa, sampai mahasiswa menjadi menara pengetahuan yang siap mentransmisikan pengetahuan ketika memasuki masyarakat. Sialnya, otomasi pembelajaran berbasis mesin, masih mewarisi perspektif ini.
Universitas juga tidak boleh hanya menjadi pabrik pekerja masa depan. Indikasinya beragam, seperti banjir permintaan kebermanfaatan kompetensi, skema pemeringkatan, dan efisiensi luaran. Kinerja universitas pun tidak jarang direduksi dalam daftar periksa dan angka. Nampaknya tidak sulit mencari ilustrasi empiris di Indonesia.
Universitas masa depan harus berikhtiar bersama dengan masyarakat, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, dalam mengembangkan kemitraan yang kritikal-kreatif untuk menghadirkan manfaat, pengetahuan, dan warga masyarakat masa depan. Universitas mempunyai nilai pijakan sebagai basis moral yang kuat. Perubahan lingkungan direspons dan perkembangan teknologi diadaptasi, tetapi tanpa melupakan nilai pijakan.
Universitas yang terimaji seharusnya juga dapat hidup berdampingan dengan ekosistem yang melingkupinya, untuk mendukung dan mengembangkannya. Ekosistem dan universitas saling mempengaruhi secara resiprokal. Peran pengambil kebijakan dan regulasi yang dibuatnya juga sangat penting untuk menjaga iklim yang kondusif.
Karenanya, mata dan telinga harus terjaga untuk menjadi radar sensitif dalam menangkap sinyal perubahan. Ini merupakan ikhtiar kolektif, melibatkan sebanyak mungkin warga universitas. Tanpanya, universitas akan gagal menjadi penyintas ruang dan waktu, yang legitimasi dan relevansinya disangsikan.
Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Opini Harian Republika pada 4 April 2019.