Publikasi naskah dari suatu penelitian bagi kebanyakan civitas akademika menjadi hal yang lumrah dilakukan. Pasalnya publikasi naskah ini menjadi syarat untuk memperoleh gelar terutama pada strata pendidikan magister dan doktoral. Kemampuan dalam menyesuaikan jurnal yang sesuai dengan naskah yang telah dikerjakan agar dapat terpublikasi di jurnal tersebut. Merespon hal tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar pelatihan program “Publishing in Academic Outlet” pada 24-28 Juni 2019.

Program ini merupakan hibah dari Erasmus+ yaitu program peningkatan mutu sumber daya manusia perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara. UII menjadi penyelenggara program Erasmus+ REPESEA di Indonesia bersama dengan Universitas Gadjah Mada.

Read more

Sukses menyelenggarakan UII MUN CONFERENCE 2018, Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) yang tergabung dalam UII MUN kembali menggelar UII MUN CONFERENCE yang ke-5 pada tahun ini. Acara yang dilaksanakan selama tiga hari ini dibuka pada Jum’at, (21/6) di Hotel Forris Hotel Yogyakarta. Pada tahun ini, UII MUN CONFERENCE mengusung tema “The Sustanability of International Cooperation: To be One or To Be War”.

Read more

Ikatan Keluarga Ibu-Ibu Universitas Islam Indonesia (IKI UII) mengisi kegiatan Syawalan 1440 H dengan fashion show wastra nusantara, pada Jum’at (21/6), di Auditorium Abdulkahar Muzakkir, Kampus UII Terpadu.

Hadir memamerkan karyanya Essy Masita dan Leila Rauf. Kedua designer tersebut turut memukau para hadirin yang tergabung dalam IKI UII. Mereka diantaranya berasal dari ibu-ibu dosen, ibu-ibu istri pejabat di UII, istri dosen serta ibu-ibu Tenaga Kependidikan di lingkungan UII.

Read more

Bulan Syawal merupakan momen penting bagi umat muslim untuk menjalin silaturahmi, tidak terkecuali bagi ibu-ibu yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Ibu-Ibu (IKI) UII. Pada bulan Syawal ini, IKI UII menyelenggarakan kegiatan syawalan sekaligus pelepasan jamaah calon haji 1440 H.

Kegiatan silaturahmi yang berlangsung di Auditorium Abdulkahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII pada jumat (21/6) diisi oleh Drs. Imam Mujiono, M.Ag. Materi yang disampaikan bertemakan Hikmah Syawalan. Mengawali tausiyahnya, Ustad Imam Mujiono menyajikan slide yang bertuliskan “Ibu, sang pembentuk mindset damai anak”. Menurutnya ibu bertanggung jawab dan berfikir keras untuk menjadikan seorang anak cinta damai.

Pantaskah kita disebut sebagai khaira ummah, disaat terjadi begitu banyak masalah? Pertanyaan ini disampaikan Ustad Imam Mujiono dihadapan pengurus serta anggota IKI UII dan tamu undangan yang hadir. Dalam penuturannya, di masa kanak-kanak mereka mencintai kedamaian dan setelah dewasa mereka bercerai berai. Sedangkan Islam mengajarkan kedamaian.

Ustad Imam Mujiono menunjukkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Askari dan Rahman mengenai negara-negara yang islami dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan berdasarkan beberapa indikator. Di antara indikator-indikator tersebut yakni hubungan manusia dengan Tuhan, hak asasi manusia, hubungan sesama, ekonomi, politik, kepemerintahan, moralitas dan sebagainya. Hasilnya menunjukkan, Indonesia berada di posisi ke 140.

Penelitian lain yang juga ditampilkan mengenai faktor-faktor kesuksesan yang dilakukan oleh Standford University menunjukkan 70% dipengaruhi oleh kemampuan bergaul dan sisanya oleh kecerdasan. Tidak berakhir pada kedua hasil penelitian tersebut, penelitian ke tiga yang disampaikan dilakukan oleh Thomas J. Stanley tentang 100 faktor yang mempengaruhi kesuksesan. Tiga faktor teratas adalah kejujuran, kedisiplinan dan mudah bergaul.

Dalam pemamaparannya, Ustad Imam Mujiono ingin menunjukkan betapa pentingnya menjalin hubungan baik antar sesama. Terbukti bahwa menjaga hubungan akan menciptakan perdamaian, dan meningkatkan kesuksesan. Kegiatan silaturahmi pada bulan Syawal menjadi jembatan yang dapat memperkuat hubungan antar sesama muslim.

Mengakhiri ceramahnya, Ustad Imam Mujiono memberikan sedikit bekal bagi para calon jamaah haji agar memperoleh haji yang mabrur. Lima indikator yang harus diperhatikan oleh calon jamaah haji agar memperoleh haji yang mabrur yaitu afsyussalam, silul arham, ath imu tho’am, toyibul kalam dan shollu billayli wannasu niyam. (NR/RS)

Hadirnya revolusi industri 4.0 mempengaruhi banyak aspek kehidupan manusia. Dalam bidang ekonomi, perkembangan bisnis berbasis teknologi, contohnya saja seperti kehadiran ruang belajar online, aplikasi online shopping, hingga pemesanan penginapan dan tiket transportasi yang cepat dan mudah melalui gawai. Bercermin dari perkembangan ini, banyak peluang yang bisa digarap para wirausahawan muda.

Hal inilah yang mendorong Program Magister Teknik Informatika Universitas Islam Indonesia (UII) menyediakan pelatihan melalui Kelas Inspirasi bertajuk “Menjadi Enterpreneur” Best Practices Membuat Business Plan di Era Digital, di Auditorium Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, pada Kamis (20/06). Acara ini pembicara, CEO Cakratalk, Novi Wahyuningsih serta Aryo Wiryawan selaku Founder Jala.

Read more

Kemenristekdikti kembali menyelenggarakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) guna mendukung potensi para mahasiswa Indonesia untuk mengkaji, mengembangkan, dan menerapkan ilmu dan teknologi yang telah dipelajarinya di perkuliahan kepada masyarakat luas.

Salah satu tim mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) dari Fakultas Teknologi Industri (FTI) yang diketuai Mohammad Fadhillah Naufal (Teknik Industri 2015), beranggotakan Bella Azis Dewanti Putri (Teknik Industri 2015), Mufti Sayid Muqaffi (Teknik Industri 2015), Danang Amangkurat Mas (Teknik Industri 2015) dan Halida Ulfah (Teknik Industri 2017) berhasil lolos dari beberapa tahap untuk memenangkan pendanaan tahun 2019 PKM-Kewirausahaan.

“Sebagai mahasiswa yang paling muda di tim ini, merupakan tantangan yang paling besar bagi saya untuk berfikir kritis untuk menyeimbangkan pikiran saya dengan kakak tingkat yang lain,” ujar Halida Ulfah yang merupakan angkatan 2017.

Read more

Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah jumlah lulusannya. Adalah Jayanti Puspitaningrum, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Yapis Papua yang berhasil lulus dan mendapatkan gelar doktor bidang Ilmu Hukum.

Bertempat di Auditorium UII Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta, Senin (17/6), Promovenda diuji oleh tujuh orang dewan penguji yang terdiri dari, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. sebagai Promotor, Dr. Saifudin, S.H., M.Hum, sebagai Co. Promotor, serta Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., Prof. Dr. Achmad Sodiki, Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi, S.H., M.M., Prof. Jawahir Thontowi S.H., Ph.D., Dr. Drs. Muntoha, S.H., M.Ag, sebagai anggota penguji.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Syawalan dan Pelepasan Jamaah Calon Haji Tahun 1440 H, yang sekaligus menandai berakhirnya masa libur Idulfitri 1440 H. Momen silaturahmi yang berlangsung di Auditorium Prof. KH. Abdulkahar Mudzakkir, pada Kamis (13/6), dihadiri para dosen, tenaga kependidikan, perwakilan lembaga mahasiswa, Ikatan Keluarga Ibu-Ibu UII, satpam, pensiunan serta sejumlah perwakilan dari instansi mitra UII.

Read more

Alhamdulillah, Allah telah memudahkan kita dalam menyelesaikan puasa Ramadan dan mengisi Ramadan dengan amalan-amalan terbaik lainnya.

Idulfitri adalah momentum untuk mengevaluasi yang sudah kita lakukan selama bulan Ramadan dan melanjutkan serta meningkatkannya di masa mendatang. Sebuah misi yang tidak selalu mudah, tetapi dengan ikhtiar terbaik dan pertolongan Allah, insyallah kemudahan akan selalu hadir.

Misi akhir puasa seperti dipesankan oleh Allah adalah menjadi orang yang bertakwa. La’allakum tattaqun.

Hanya saja, tak satu ayat pun dalam Alquran yang memberikan previlese atau hak kepada kita untuk menilai takwa orang lain dan menghakiminya. Yang dipesankan oleh Alquran adalah sederet tanda atau ciri yang bisa kita jadikan indikator atau barometer ketakwaan kita. Kata takwa (termasuk derivasinya) muncul lebih dari 200 kali dalam Alquran.

Berikut adalah beberapa ayat yang menggambarkan ciri orang bertakwa, yang terekam dalam Alquran.

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Albaqarah 2: 177)

 (133) Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (134) (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan, (135) dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali Imran 3: 133-135)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Alhasyr 59: 18).

Tentu, masih banyak ayat yang menggambarkan ciri orang bertakwa.  Berdasar ketiga ayat di atas, kita bisa membuat daftar singkat ciri tersebut sebagai pengingat bersama.

Menurut Alquran, orang yang bertakwa itu

  1. dermawan, suka berinfak baik dalam keadaan lapang maupun sempit;
  2. penyabar, penahan amarah;
  3. pemaaf, jika orang lain membuat kesalahan kepada kita dan meminta maaf;
  4. penepat janji, jika berjanji termasuk janji profesional sebagai pemimpin/manajemen, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa;
  5. pemohon ampun kepada Allah, jika berbuah zalim kepada diri sendiri; dan
  6. berpikir jauh ke depan, visioner, dan tidak terjebak pada kekinian, apalagi masa lampau.

Ciri tersebut di atas terkait dengan aspek hubungan antarmanusia (hablun minannas) (poin 1-4 di bawah), hubungan dengan Allah (hablun minallah) (poin 5), dan kesadaran akan masa depan (poin 6). Hubungan antarmanusia adalah dimensi menyamping, hubungan dengan Allah adalah dimensi mengatas, dan kesadaran akan masa yang akan datang adalah dimensi mengedepan.

Semoga kita dimudahkan Allah untuk menapak jalan terjal untuk menjadi orang yang bertakwa sesungguhnya. Yang menjadikan takwa menantang adalah dimensi yang menyertainya. Takwa tidak bersifat kadang-kadang. Takwa tidak terbatas waktu dan ruang.  Takwa adalah ikhtiar sepanjang hayat, selama nyawa masih melekat dan nafas belum tersedat. Takwa dilakukan di mana pun kita berada.

Semoga kita dimudahkan Allah untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dermawan, lebih sabar, lebih murah dalam memberikan maaf, lebih menepati janji, lebih mudah memohon ampunan kepada Allah jika berbuat zalim, dan berorientasi pada masa depan.

Semoga Idulfitri kali ini menjadi momentum untuk menemukan kembali fitrah kita dan menjadikannya sebagai acuan dan mewarnai semua aktivitas kita. Semoga Allah subhanahu wata’ala selalu meridai dan memudahkan langkah kita dalam beribadah kepadaNya. Amin.

Disarikan dari sambutan pada Syawalan Universitas Islam Indonesia pada 13 Juni 2019.

 

Idulfitri hari kemenangan yang membahagiakan bagi orang beriman yang telah berhasil menjalankan perintah suci puasa selama Ramadan. Sebagian dari kita  mungkin merasa bahwa dalam Ramadan tahun ini, sangat berat untuk menjaga kesucian hati karena bertepatan dengan rangkaian pemilu yang dihelat oleh bangsa ini. Alhamdulillah, pemenangnya adalah bangsa Indonesia. Kita semua.

Selama Ramadan, dan bahkan jauh hari sebelumnya, tidak jarang kata yang keluar dari mulut, sulit kita kendalikan, dan lebih sering lagi, jari-jemari kita kadang ringan untuk memroduksi dan membagikan informasi yang berpotensi menghinakan saudara kita, menyebarkan kebencian kepada kelompok lain, dan merobek ukhuwah yang telah terjalin. Kita bahkan bisa jadi tidak sadar bahwa yang kita lakukan memberikan dampak yang buruk bagi orang lain dan mengoyak perdamaian.

Allah sudah menurunkan pesan terkait masalah ini kepada Nabi Muhammad belasan abad yang lalu, yang kadang kita lupa untuk mentadabburinya. Kita berlindung kepada Allah, semoga tidak termasuk orang yang menolak pesan ini.

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu (QS Al-Hujurat 49:6).

Hubungan antarmukmin

Idulfitri kali ini, sungguh tepat kita jadikan momentum untuk kembali merajut kerukunan dan melantangkan pesan perdamaian. Pesan Allah dalam Alquran sangat jelas, sebening kristal.

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat 49:10).

Orang Mukmin itu bersaudara. Karenanya, ketika terjadi perselisihan, kita diperintahkan Allah untuk mendamaikan. Kita bersyukur jika dapat menjadi bagian dari juru damai, bagian dari solusi. Tetapi, tanpa sadar, tidak jarang justru kita adalah pihak yang perlu didamaikan. Kita telah menjadi bagian dari masalah. Semoga Allah menjauhkan kita dari yang demikian.

Bahkan Rasulullah Muhammad memberikan metafor:

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, bagaikan satu tubuh, Ketika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan tidak bisa tidur dan demam. (HR Al-Bukhari [6011] dan Muslim [2586]).

Pesan di atas sudah lebih dari cukup sebagai landasan moral membina perdamaian. Indonesia yang damai dan maju merupakan dambaan semua anak bangsa. Indonesia damai berarti pula umat Muslim damai, karena sebagian penduduk Indonesia adalah Muslim.

Namun, fakta berikut nampaknya bisa menjadi bahan tadabbur. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan mencintai konflik, tapi kita tidak dapat mengabaikan fakta munculnya konflik di negara-negara Muslim. Jemaah yang hadir di sini pun akan tidak nyaman atau bahkan marah ketika ada yang mengatakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan.

Dalam sejarah modern sampai saat ini, banyak negara Muslim di Timur Tengah, saudara-saudara kita, mendapatkan ujian berupa konflik, yang beberapa di antaranya sudah berlangsung lama dan nampak tak berkesudahan. Korban jiwa sudah mencapai jutaan.

Karenanya, dua orang peneliti dari Peace Research Institute di Oslo (PRIO)[i] memunculkan pertanyaan besar: apakah negara-negara Muslim lebih rentan terhadap kekerasan? Data yang mereka kumpulkan dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2.467 tahun).

Pasca Perang Dingin, sebagian besar perang adalah perang sipil dan proporsi terbesar terjadi di negara-negara Muslim. Bukan hanya karena perang sipil di negara-negara Muslim meningkat, tetapi juga karena konflik di negara lain berkurang. Fakta yang lebih dari cukup untuk membuka mata kita.

Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menurunkan rahmatnya untuk menjadikan negara-negara saudara kita diliputi kedamaian.

Alhamdulilah, catatan optimis masih ada. Empat dari lima negara dengan penduduk Muslim terbesar, tidak terjebak dalam perang sipil. Indonesia salah satunya. Kita semua tentu berharap kedamaian tetap terjaga di Bumi Pertiwi ini.

Satu pertanyaan besar yang sangat mungkin kita ajukan adalah: mengapa kekerasan dan bahkan perang masih terjadi di negara Muslim, padahal Islam mengajarkan perdamaian. Pesan perdamaian melekat dengan Islam sejak kelahirannya. Islam sendiri berarti damai.

Strategi menjaga perdamaian

Bagaimana menghadirkan dan menjaga perdamaian? Mari kita melakukan tadabbur beberapa pesan suci Allah dalam Alquran, terkait bagaimana sesama Mukmin berinteraksi.

Pertama, kerukunan dan perdamaian nampaknya sulit terwujud tanpa adanya sikap yang saling menghargai. Pesan Allah sangat jelas:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat 49:11).

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menjadi saksi bahwa masyarakat Indonesia telah kehilangan sensitivitasnya dan menikmati dalam menghinakan saudaranya. Hadirnya media sosial yang tidak digunakan secara bertanggung jawab telah menjelma menjadi kanal penerus pesan kebencian.

Tidak sulit menemukan bukti bahwa sesama Mukmin telah saling mengolok, saling mencela, dan memanggil dengan panggilan yang buruk (fasik). Padahal, kata Allah, jika kita tidak bertaubat dari ketiga akhlak buruk ini, kita dimasukkan ke dalam golongan orang yang zalim. Na’udzu billahi min dzalik.

Kedua, perdamaian nampaknya sulit dihadirkan ketika rasa saling percaya tidak ada. Saling curiga dan saling mencari kesalahan bukanlah basis yang benar untuk membangun perdamaian. Allah berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang (QS Al-Hujurat 49:12).

Bahkan Allah memberi metafor yang sangat menjijikkan, bahwa berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan mengunjing ibarat memakan daging mayit saudara kita.

Lagi-lagi, kita menjadi saksi maraknya saling curiga dan ringannya mencari-cari kesalahan saudara Mukmin kita. Dan bahkan, seringkali, tanpa sadar, sebagian dari kita  menjadi bagian pelaku. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketiga, selalu berikhtiar menghadirkan keadilan. Tanpa keadilan, perdamaian juga nampaknya sulit terwujud. Kita tentu tidak hanya menuntut orang lain adil kepada kita, tanpa kita sendiri berusaha sekuat tenaga untuk bersikap adil, meski kepada orang yang kita benci sekalipun. Adil akan mendekatkan diri kita kepada takwa. Allah berpesan:

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan (QS Al-Maidah 5:8).

Keempat, mengakui dan menghargai perbedaan sebagai fakta sosial. Ketika Allah mengganti panggilan ‘Wahai orang-orang yang beriman!, seperti dalam Al-Hujurat ayat 1, 2, 6, 11, dan 12,, dengan ‘Wahai manusia!‘ pada ayat 13, tentu bukanlah kebetulan.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al-Hujurat 49:13)

Manusia oleh Allah diciptakan berbeda-beda, beda bangsa, beda suku, dan diperintahkan untuk saling mengenal. Dalam mengenal memerlukan komunikasi yang jujur dan  saling menghargai. Tanpanya, apa yang kita ketahui dari bangsa atau suku lain, akan bersifat kosmetik dan tidak otentik. Dan sebaliknya.

Namun, di akhir ayat, yang terbaik, kata Allah, sangat jelas, yaitu yang paling bertakwa, persis dengan tujuan akhir perintah puasa.

Penutup

Jika keempat hal di atas:

1.    Mengembangkan sikap saling menghargai dan menjauhi sikap saling menghinakan

2.    Menghindari sikap saling curiga dan mengembangkan sikap saling percaya

3.    Mengikhtiarkan keadilan, bahkan kepada orang yang kita benci

4.    Menerima perbedaan dan mengembangkan komunikasi

kita ikhtiarkan untuk dilakukan secara berjemaah, maka insyallah kita akan mudah dalam merekatkan kerukunan dan bangsa Indonesia dan sesama Mukmin akan senantiasi diliputi kedamaian. Amin Allahumma amin.

Mari momentum Idulfitri ini kita jadikan untuk memperbaiki diri. Semoga puasa dan semua amalan terbaik yang kita jalankan selama Ramadan menjadikan kita pribadi-pribadi yang suci, pribadi-pribadi yang lebih khusyuk dalam beribadah, pribadi-pribadi yang lebih menghargai orang lain, pribadi-pribadi yang menjauhi prasangka buruk kepada sesama saudaranya, dan pribadi-pribadi yang berikhtiar menegakkan keadilan.

Semuanya, kita ikhtiarkan dalam rangka meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah, status yang akhirnya menentukan posisi kita di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa memudahkan kita untuk selalu istikamah, konsisten, dalam menapaki jalan yang diridaiNya. Dan, semoga kita dipertemukan dengan Ramadan tahun depan. Amin ya rabbal alamin.

Disarikan dari Khutbah Idulfitri 1440 di Alun-alun Selatan, Kraton, Yogyakarta.

[i] Gleditsch, N. P., & Rudolfsen, I. (2016). Are Muslim countries more prone to violence?. Research & Politics, 3(2), 1-9.