Guru besar bukan sembarang guru. Ia adalah maha guru, guru dengan segala kelebihan dan kesaktiannya di bidang akademik. Sudah seharusnya jabatan ini ada dalam daftar harapan semua dosen Universitas Islam Indonesia.
Jangan salah mengira, kalau menjadi guru besar hanya merupakan pilihan personal. Bertambahnya cacah guru besar berarti juga bertambahnya daftar nama dengan kewenangan akademik tertinggi. Profil universitas insyallah pun ikut terdongkrak. Karenanya, peningkatan cacah guru besar juga mempunyai dimensi institusional.
Ijinkan saya dalam kesempatan ini berbagi harapan. Harapan ini dapat bersifat inspirasional yang menarik dari depan, dan sekaligus menjadi pemantik kesadaran kolektif sebagai kalimatun sawa, idealitas yang menyatukan. Idealitas kolektif ini bersifat motivasional, mendorong dari belakang.
Sebagai maha guru tentu bukan akhir cerita kehidupan akademik. Justru ini menjadi momentum untuk menyadarkan diri bahwa di pundak para maha guru, tersemat tanggung jawab yang semakin besar. Publik akademik Universitas Islam Indonesia berharap banyak terhadap para maha guru.
Maha guru sudah seharusnya menjadi insan akademik yang memberikan arah, pencetus awal, atau trend setter di bidang akademik. Karenanya, maha guru akan lebih sering melakukan refleksi yang dibentuk oleh pertautan antara konteks atau situasi sosial dan kepedulian personal.
Abu Hamid Al-Ghazali — yang di Barat dikenal dengan Algazel, dapat kita sitir untuk memberikan model peran.
Ketika berumur 34 tahun, Al-Ghazali diangkat menjadi maha guru pada bidang pemikiran Islam di Universitas Nizamiyyah di Baghdad yang didirikan oleh Nizam Al-Muluk, Perdana Menteri Seljuk. Universitas Nizamiyyah pada saat itu, dapat kita setarakan dengan Universiats Oxford di Inggris atau Uniersitas Harvard di Amerika, pada saat ini. Pada saat itu, Al-Ghazali adalah profesor termuda, yang diangkat setelah gurunya Al-Juwaini mangkat pada 1085.
Kuliah yang diberikan oleh Al-Ghazali diminati oleh banyak orang. Tidak jarang kuliahnya dihadiri oleh sekitar 300 orang. Namun, ketika Al-Ghazali mengira sudah mencapai segalanya dalam usia muda, dia justru merasa terdampar dalam krisis intelektual. Pengembaraan intelektualnya justru semakin kuat. Al-Ghazali pun mundur dari Universitas Nizamiyyah.
Karya-karya pemikir besar dilahap dan dikritisi. Al-Ghazali mempunyai misi besar: membebaskan pemikiran Islam dari filsafat Yunani. Pemikiran Al-Farabi dan Ibu Sina pun tidak lepas dari sasaran kritiknya. Hasil pengembaraan intelektualnya ini menghasilkan karya Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf). Buku ini ditulisnya ketika berusia 36 tahun.
Satu tahun kemudian, pada 1095 ketika berusia 37 tahun, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Baru lima tahun kemudian, pada 1100, ia dipanggil oleh Fakhr Al-Muluk untuk kembali mengajar di Universitas Nizamiyyah.
Ketika periode inilah, karya terbesar Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu Agama) dihasilkan. Kitab ini sangat komprehensif, merangkum beragama aspek etika dan merangsang pemikiran terhadap ajaran-ajaran Islam. Kitab ini, sampai saat ini masih menjadi salah satu kitab wajib di banyak pondok pesantren di Indonesia.
Al-Ghazali mangkat dalam usia masih muda, 53 tahun, dengan meninggalkan karya besar-besar. Jika saja Al-Ghazali tidak tekun merekam pemikirannya dalam bentuk tertulis, sangat mungkin kita saat ini kita tidak mengenalnya. Maha guru tidak akan lelah untuk terus menulis. Karena menulis adalah kerja untuk keabadian.
Dengan refleksi personal masing-masing, nampaknya tidak sulit menangkap beragam pelajaran dari kisah Al-Ghazali ini. Dari kisah ini, kita belajar bahwa maha guru selalu melakukan refleksi dan mempunyai mimpi besar, yang diwujudkan menjadi proyek personal yang tidak hanya dimulai, tetapi juga diselesaikan dengan ikhtiar terbaik.
Sambutan pada upacara penyerahan Surat Keputusan Guru Besar Prof. Muafi, seorang dosen Universitas Islam Indonesia, pada 20 September 2019.