Idulfitri hari kemenangan yang membahagiakan bagi orang beriman yang telah berhasil menjalankan perintah suci puasa selama Ramadan. Sebagian dari kita mungkin merasa bahwa dalam Ramadan tahun ini, sangat berat untuk menjaga kesucian hati karena bertepatan dengan rangkaian pemilu yang dihelat oleh bangsa ini. Alhamdulillah, pemenangnya adalah bangsa Indonesia. Kita semua.
Selama Ramadan, dan bahkan jauh hari sebelumnya, tidak jarang kata yang keluar dari mulut, sulit kita kendalikan, dan lebih sering lagi, jari-jemari kita kadang ringan untuk memroduksi dan membagikan informasi yang berpotensi menghinakan saudara kita, menyebarkan kebencian kepada kelompok lain, dan merobek ukhuwah yang telah terjalin. Kita bahkan bisa jadi tidak sadar bahwa yang kita lakukan memberikan dampak yang buruk bagi orang lain dan mengoyak perdamaian.
Allah sudah menurunkan pesan terkait masalah ini kepada Nabi Muhammad belasan abad yang lalu, yang kadang kita lupa untuk mentadabburinya. Kita berlindung kepada Allah, semoga tidak termasuk orang yang menolak pesan ini.
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu (QS Al-Hujurat 49:6).
Hubungan antarmukmin
Idulfitri kali ini, sungguh tepat kita jadikan momentum untuk kembali merajut kerukunan dan melantangkan pesan perdamaian. Pesan Allah dalam Alquran sangat jelas, sebening kristal.
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (QS Al-Hujurat 49:10).
Orang Mukmin itu bersaudara. Karenanya, ketika terjadi perselisihan, kita diperintahkan Allah untuk mendamaikan. Kita bersyukur jika dapat menjadi bagian dari juru damai, bagian dari solusi. Tetapi, tanpa sadar, tidak jarang justru kita adalah pihak yang perlu didamaikan. Kita telah menjadi bagian dari masalah. Semoga Allah menjauhkan kita dari yang demikian.
Bahkan Rasulullah Muhammad memberikan metafor:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, bagaikan satu tubuh, Ketika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan tidak bisa tidur dan demam. (HR Al-Bukhari [6011] dan Muslim [2586]).
Pesan di atas sudah lebih dari cukup sebagai landasan moral membina perdamaian. Indonesia yang damai dan maju merupakan dambaan semua anak bangsa. Indonesia damai berarti pula umat Muslim damai, karena sebagian penduduk Indonesia adalah Muslim.
Namun, fakta berikut nampaknya bisa menjadi bahan tadabbur. Islam tidak mengajarkan kekerasan dan mencintai konflik, tapi kita tidak dapat mengabaikan fakta munculnya konflik di negara-negara Muslim. Jemaah yang hadir di sini pun akan tidak nyaman atau bahkan marah ketika ada yang mengatakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan.
Dalam sejarah modern sampai saat ini, banyak negara Muslim di Timur Tengah, saudara-saudara kita, mendapatkan ujian berupa konflik, yang beberapa di antaranya sudah berlangsung lama dan nampak tak berkesudahan. Korban jiwa sudah mencapai jutaan.
Karenanya, dua orang peneliti dari Peace Research Institute di Oslo (PRIO)[i] memunculkan pertanyaan besar: apakah negara-negara Muslim lebih rentan terhadap kekerasan? Data yang mereka kumpulkan dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2.467 tahun).
Pasca Perang Dingin, sebagian besar perang adalah perang sipil dan proporsi terbesar terjadi di negara-negara Muslim. Bukan hanya karena perang sipil di negara-negara Muslim meningkat, tetapi juga karena konflik di negara lain berkurang. Fakta yang lebih dari cukup untuk membuka mata kita.
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menurunkan rahmatnya untuk menjadikan negara-negara saudara kita diliputi kedamaian.
Alhamdulilah, catatan optimis masih ada. Empat dari lima negara dengan penduduk Muslim terbesar, tidak terjebak dalam perang sipil. Indonesia salah satunya. Kita semua tentu berharap kedamaian tetap terjaga di Bumi Pertiwi ini.
Satu pertanyaan besar yang sangat mungkin kita ajukan adalah: mengapa kekerasan dan bahkan perang masih terjadi di negara Muslim, padahal Islam mengajarkan perdamaian. Pesan perdamaian melekat dengan Islam sejak kelahirannya. Islam sendiri berarti damai.
Strategi menjaga perdamaian
Bagaimana menghadirkan dan menjaga perdamaian? Mari kita melakukan tadabbur beberapa pesan suci Allah dalam Alquran, terkait bagaimana sesama Mukmin berinteraksi.
Pertama, kerukunan dan perdamaian nampaknya sulit terwujud tanpa adanya sikap yang saling menghargai. Pesan Allah sangat jelas:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat 49:11).
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menjadi saksi bahwa masyarakat Indonesia telah kehilangan sensitivitasnya dan menikmati dalam menghinakan saudaranya. Hadirnya media sosial yang tidak digunakan secara bertanggung jawab telah menjelma menjadi kanal penerus pesan kebencian.
Tidak sulit menemukan bukti bahwa sesama Mukmin telah saling mengolok, saling mencela, dan memanggil dengan panggilan yang buruk (fasik). Padahal, kata Allah, jika kita tidak bertaubat dari ketiga akhlak buruk ini, kita dimasukkan ke dalam golongan orang yang zalim. Na’udzu billahi min dzalik.
Kedua, perdamaian nampaknya sulit dihadirkan ketika rasa saling percaya tidak ada. Saling curiga dan saling mencari kesalahan bukanlah basis yang benar untuk membangun perdamaian. Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang (QS Al-Hujurat 49:12).
Bahkan Allah memberi metafor yang sangat menjijikkan, bahwa berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan, dan mengunjing ibarat memakan daging mayit saudara kita.
Lagi-lagi, kita menjadi saksi maraknya saling curiga dan ringannya mencari-cari kesalahan saudara Mukmin kita. Dan bahkan, seringkali, tanpa sadar, sebagian dari kita menjadi bagian pelaku. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketiga, selalu berikhtiar menghadirkan keadilan. Tanpa keadilan, perdamaian juga nampaknya sulit terwujud. Kita tentu tidak hanya menuntut orang lain adil kepada kita, tanpa kita sendiri berusaha sekuat tenaga untuk bersikap adil, meski kepada orang yang kita benci sekalipun. Adil akan mendekatkan diri kita kepada takwa. Allah berpesan:
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan (QS Al-Maidah 5:8).
Keempat, mengakui dan menghargai perbedaan sebagai fakta sosial. Ketika Allah mengganti panggilan ‘Wahai orang-orang yang beriman!, seperti dalam Al-Hujurat ayat 1, 2, 6, 11, dan 12,, dengan ‘Wahai manusia!‘ pada ayat 13, tentu bukanlah kebetulan.
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al-Hujurat 49:13)
Manusia oleh Allah diciptakan berbeda-beda, beda bangsa, beda suku, dan diperintahkan untuk saling mengenal. Dalam mengenal memerlukan komunikasi yang jujur dan saling menghargai. Tanpanya, apa yang kita ketahui dari bangsa atau suku lain, akan bersifat kosmetik dan tidak otentik. Dan sebaliknya.
Namun, di akhir ayat, yang terbaik, kata Allah, sangat jelas, yaitu yang paling bertakwa, persis dengan tujuan akhir perintah puasa.
Penutup
Jika keempat hal di atas:
1. Mengembangkan sikap saling menghargai dan menjauhi sikap saling menghinakan
2. Menghindari sikap saling curiga dan mengembangkan sikap saling percaya
3. Mengikhtiarkan keadilan, bahkan kepada orang yang kita benci
4. Menerima perbedaan dan mengembangkan komunikasi
kita ikhtiarkan untuk dilakukan secara berjemaah, maka insyallah kita akan mudah dalam merekatkan kerukunan dan bangsa Indonesia dan sesama Mukmin akan senantiasi diliputi kedamaian. Amin Allahumma amin.
Mari momentum Idulfitri ini kita jadikan untuk memperbaiki diri. Semoga puasa dan semua amalan terbaik yang kita jalankan selama Ramadan menjadikan kita pribadi-pribadi yang suci, pribadi-pribadi yang lebih khusyuk dalam beribadah, pribadi-pribadi yang lebih menghargai orang lain, pribadi-pribadi yang menjauhi prasangka buruk kepada sesama saudaranya, dan pribadi-pribadi yang berikhtiar menegakkan keadilan.
Semuanya, kita ikhtiarkan dalam rangka meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah, status yang akhirnya menentukan posisi kita di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa memudahkan kita untuk selalu istikamah, konsisten, dalam menapaki jalan yang diridaiNya. Dan, semoga kita dipertemukan dengan Ramadan tahun depan. Amin ya rabbal alamin.
Disarikan dari Khutbah Idulfitri 1440 di Alun-alun Selatan, Kraton, Yogyakarta.
[i] Gleditsch, N. P., & Rudolfsen, I. (2016). Are Muslim countries more prone to violence?. Research & Politics, 3(2), 1-9.