Pada wisuda ini, ijinkan saya memberikan dua pesan kepada Saudara, para wisudawan. Pesan pertama terkait dengan pengembangan diri Saudara. Pesan yang kedua berhubungan dengan bagaimana seharusnya menghargai orang yang berjasa terhadap pencapaian Saudara.
Pesan pertama: jadilah orang yang adaptabel
Perubahan lingkungan saat ini terjadi sangat cepat. Banyak hal yang kedaluwarsa dengan mudah. Apa yang kita pelajari beberapa tahun yang lalu, banyak yang sudah relevan untuk kebutuhan saat ini. Begitu pun, apa yang kita kuasai saat ini, sangat mungkin menjadi tidak cukup untuk bertahan dan berkembang dalam beberapa tahun mendatang.
Kurikulum yang ditinjau secara periodik dan metode pembelajaran yang senantiasa dikembangkan, adalah beberapa contoh bagaimana universitas merespons perubahan. Memang, perubahan tidak selalu membawa kita kepada keadaan yang lebih baik, namun, saya yakin Saudara sepakat bahwa untuk menjadi lebih baik sesuatu harus berubah.
Ketika berkarya, Saudara pun dituntut serupa. Saudara harus adaptabel dengan beragam perubahan yang ada dan amanah yang mungkin dititipkan. Saudara tidak mungkin lari darinya. Satu-satunya cara memenangkan persaingan dan mengatasi perubahan adalah dengan meningkatkan adaptabilitas.
Namun perlu dicatat dengan tinta tebal, bahwa menjadi adaptabel atau menjadi orang yang adaptif bukan berarti ‘mencla-mencle’, ‘pagi dele sore tempe’, atau tidak punya pendirian.
Adaptabel adalah soal kelenturan eksekusi, yang didasari dengan nilai-nilai, prinsip, yang kuat. Laksana pohon, akarnya menghunjam, dan cabangnya lentur untuk dapat menjulang tinggi. Kelenturan itulah adaptabilitas. Saudara bisa bayangkan, apakah mungkin sebatang pohon dapat menjulang tinggi, tanpa akar yang kuat dan cabang yang lentur?
Ada banyak indikasi seseorang bersifat adaptabel. Orang yang adaptabel akan terbuka dengan perubahan dan menyukai eksplorasi atau eksperimen. Selain itu, orang tersebut akan melihat peluang ketika yang lain melihatnya sebagai kegagalan.
Orang yang adaptabel selalu berusaha mencari solusi atas sebuah masalah. Jika solusi A tidak berjalan sesuai dengan rencana, dia akan mencoba solusi B, dan seterusnya. Dia tidak mudah mengibarkan bendera putih atau melempar handuk alias putus asa.
Selain itu, orang yang adaptabel terbiasa berpikir jauh ke depan. Dia tidak percaya dengan solusi ‘sapu jagad’, solusi tunggal untuk beragam masalah yang berbeda. Karenanya, dia bukan tipe orang yang mudah mengeluh, karena dia suka berbicara dengan dirinya alias melakukan refleksi mendalam.
Ciri orang yang adaptabel masih dapat kita perpanjang. Dia adalah orang dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dalam arti positif. Karenanya, dia selalu belajar, mengembangkan dirinya. Dia mengikuti perkembangan yang ada.
Karena pengetahuan yang luas, orang yang adaptabel akan melihat hutan dan tidak hanya melihat pohon. Dia melihat sistem, dan tidak terjebak hanya dengan melihat komponen penyusun sistem.
Bisa jadi selama perjalanan, kegagalan akan menyertai. Tetapi, orang yang adaptabel tidak suka menyalahkan orang lain. Meski jika kesuksesan itu ada, dia tidak nyaman mengklaimnya sebagai hasil kerja sendiri. Selalu ada orang lain yang berandil dalam setiap kesuksesan.
Pesan kedua: jadilah orang yang pandai berterima kasih
Inilah pesan kedua saya. Dalam kesuksesan Saudara dalam menjalani studi terkandung kontribusi banyak orang, baik yang Saudara lihat dengan langsung, maupun yang secara senyap dilakukan tanpa Saudara ketahui.
Saudara mungkin melihat para dosen mendampingi dalam diskusi dan sahabat menemani dalam mengaji. Tapi jangan lupa, nun jauh di sana, di luar radar, orang tua tidak hentinya mengirimkan doa terbaik untuk Saudara. Tidak jarang mereka bangun malam dengan niatan yang mulia dan harapan tinggi agar Saudara menjadi pribadi yang cakap dan berwatak.
Seringkali, untuk memenuhi kebutuhan Saudara, orang tua membanting tulang, memeras keringat, dalam kadar yang mungkin di luar bayangan Saudara. Orang tua menjalaninya dalam diam, supaya Saudara tidak terlarut dalam suasana hati yang dapat mengganggu studi Saudara.
Banyak rahasia yang disimpan oleh orang tua Saudara, terkait dengan ikhtiar dan harapan tak terbatas mereka terhadap studi Saudara. Bisa jadi di sana, ada air mata yang terbendung, agar Saudara tidak ikut murung. Atau, tangis yang tertahan, karena orang tua ingin Saudara tetap bertahan. Atau, suara yang dibuat ceria di seberang sana, supaya Saudara hatinya tidak merana.
Bahkan, ayah seorang kawan saya ketika studi doktoral, menyembunyikan berita kematian ibunya di negara lain, untuk niatan mulia yang sama: supaya tidak mengganggu studi anaknya. Kematian ibunya diketahui beberapa bulan setelahnya, ketika kawan tersebut menengok keluarga dan diantarkan ke pusara ibunya. Pengorbanan orang tua yang luar biasa.
Karenanya, jangan lupa mengucapkan ungkapan terima kasih kepada orang tua Saudara. Rangkul dan cium mereka, jika mereka bersama Saudara di sini. Kirimi pesan bahagia, jika mereka, karena suatu hal, tidak bisa bergabung di kampus ini. Kirimi mereka doa terbaik setiap hari tanpa lelah, jika mereka sudah disayang Allah di alam kubur. Jadilah Saudara bagian amal jariyah bagi orang tua.
Saudara adalah kebanggaan mereka. Kesuksesan dan kebahagiaan Saudara merupakan harapan mereka. Mereka tidak mengharapkan balasan. Kasih orang tua kepada anaknya tidak berbatas waktu, sepanjang masa. Mereka hanya memberi, dan tak harap kembali. Bagai sang surya, menyinari dunia. Saudara mungkin sayup-sayup teringat ungkapan di atas berasal dari syair lagu yang waktu kecil sering Saudara lantunkan.
Balasan apapun terhadap mereka tidak akan sanggup menyamai pengorbanan orang tua kepada Saudara. Karenanya selalu lengkapi dengan kiriman doa tanpa henti dan istikamah menjadi orang baik.
Tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya ditangisi.
Disarikan dari sambutan rektor pada wisuda Universitas Islam Indonesia pada 29 Juni 2019.