Salah satu tokoh yang sangat terkemuka dalam bidang filsafat dan tasawuf serta berpengaruh besar terhadap pemikiran di dunia islam adalah Imam Al Ghazzali. Namun hanya sedikit orang yang mengetahui sejarah perjalanan hidupnya. Dalam Sekolah Pemikiran Pendidikan Islam kali ini pada Jum’at (24/5), dikupas sejarah dan biografi Intelektual Imam Al Ghazzali. Kajian disampaikan oleh Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum, salah satu dosen Filsafat di UII.

Read more

Menjauhkan media sosial (medsos) dari keseharian warga Indonesia, ibarat memisahkan gula dengan manisnya. Sangat sulit. Menurut data Hootsuite pada awal 2019, medsos sudah menjadi bagian hidup 150 juta (atau 56%) warga bumi pertiwi, dan 130 juta di antaranya pengguna aktif medsos di perangkat bergerak. Indonesia merupakan salah satu rumah pengguna medsos terbesar sejagad.

Meski pada awalnya, setiap medsos didesain dengan karakter khusus, namun dalam perkembangannya, penggunaan kreatif tidak dapat dibatasi, sebagai konsekuensi tak terduga (unintended consequences). Karakter WhatsApp berbeda dengan Youtube atau Twitter. Medsos telah digunakan untuk beragam tujuan, termasuk untuk aktivitas bisnis, penggalangan politik, dan kanal dakwah. Tujuan ini mungkin tidak dipikirkan oleh desainernya.

Karenanya, ketika pemerintah membatasi akses terhadap medsos dalam beberapa hari terakhir, banyak pihak kelabakan. Tidak sedikit warga menghujat, banyak juga yang setuju; dengan catatan dan argumennya masing-masing. Mencapai sebuah titik kesepakatan dalam konteks ini, ibarat mendirikan benang basah. Hampir tidak mungkin.

Ada beberapa poin yang dapat didiskusikan di sini. Pertama, bagi kita, sulit untuk menutup mata dan telinga dari fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan medsos di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Pesan tanda bahaya, SOS, sudah layak dikirimkan.

Beragam informasi tidak akurat (hoaks) bertebaran. Sangat sulit bagi orang awam untuk membedakan antara informasi yang benar dan yang dipabrikasi. Pabrikasi informasi dapat dilakukan oleh siapapun: individu, organisasi, atau bahkan pemerintah. Kalangan terpelajar yang arogan dan malas melakukan verifikasi (tabayyun) pun, tidak jarang menjadi pelaku penyebaran hoaks. Apa dampaknya? Polarisasi dan segregasi sosial semakin akut. Jika ini dibiarkan dan bereskalasi, jangan kaget, jika energi bangsa ini bocor tak terkendali.

Kedua, mengapa pengguna medsos menyelewengkan potensi positifnya? Sebabnya beragam, seperti keterbatasan pengetahuan dan kepentingan sesat. Tidak jarang saya temukan, orang terpelajar penyebar hoaks hanya meminta maaf. Dia tidak sadar, bahwa hoaks yang sudah menyebar, laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Tak seorang pun dapat mengendalikannya. Hoaks tersebut bisa jadi telah menghinakan orang, menebar kebencian, atau mengoyak kerukunan. Permohonan maaf tidak bisa mengoreksi dampak yang ditimbulkannya. Dia lupa bahwa medsos telah menjadi ruang publik.

Kepentingan pengguna medsos dapat lebih dahsyat daya selewengnya. Pabrikasi hoaks dapat diorkestrasi dan disebar dengan mudah.

Nampaknya pembaca sepakat, bahwa medsos sebagai sebuah artefak produk manusia, hadir dengan dua sisi: positif dan negatif. Jika digunakan dengan basis nilai-nilai abadi, seperti kejujuran dan kedamaian, medsos akan menghadirkan kebaikan. Tapi, pendulum bisa berbalik, jika penggunaan medsos didasarkan pada kepentingan yang mengabaikan maslahat. Kerusakanlah yang dihasilkannya.

Jadi sangat jelas, ibarat pisau, medsos tergantung dengan penggunanya. Bisa utnuk menolong orang di meja operasi atau justru menghabisinya.

Apakah keberadaan pisau dapat dipersalahkan? Di tangan orang dewasa yang bertanggung jawab, pisau dapat diperdayakan untuk kebaikan. Mereka dapat mengendalikannya, dan sadar bahwa pisau dapat melukai diri dan orang lain. Tetapi, misalnya, di satu sisi, apakah kita akan menyalahkan orang tua jika melarang anaknya yang masih kecil, memegang pisau? Ketiadaan pengetahuan dapat mengakibatkan luka, baik untuk dirinya maupun orang lain.

Di sisi lain, tindakan melarang orang dewasa memegang pisau atau menyembunyikannya, dengan alasan serupa untuk anak kecil, dapat dikatakan mengada-ada. Apalagi, ketika pisau tidak bisa ditemukan, banyak kegiatan positif tidak bisa dijalankan dengan baik, seperti menyiapkan makanan di dapur, mencari rumput untuk ternak, dan menyelamatkan nyawa orang di meja operasi. Karenanya, sulit menyalahkan jika sinyal SOS dikirimkan.

Pertanyaan lanjutannya: apakah pemegang pisau berperawakan dewasa dipastikan mempunyai kedewasan berpikir? Tidak mudah untuk mengambil kesimpulan. Gambaran fakta lampau, bisa menjadi rujukan, tapi harus tetap waspada: manusia mengidap penyakit bawaan: bias konfirmasi. Namun, apapun faktanya, orang dewasa yang diserupakan dengan anak kecil, tidak akan merasa nyaman.

Yang pasti, dalam menggunakan pisau, kedewasaaan berpikir harus dipastikan tetap hadir. Jika orang dewasa menyalahgunakan pisau, hukum siap memrosesnya, sesuai dengan kadar kenekatannya. Jika ini terjadi, sinyal SOS lain wajib dikirimkan.

Pisau itu bernama medsos.

Tulisan ini telah dimuat dalam Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat pada 25 Mei 2019.

Pendidikan di banyak negara sedang mengalami perubahan yang sangat cepat. Hal ini berdampak luas seperti timbulnya disrupsi, dislokasi, dan disorientasi di kalangan pemerintah, masyarakat beserta lembaga-lembaga internasional. Dalam merespon perubahan ini, prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII mengadakan seminar bertemakan “Membaca Kembali Eksistensi Pendidikan Islam dalam Membangun Peradaban”. Acara tersebut diadakan di Ruang Audiovisual Lt. 2 Gd Perpustakaan Kampus Terpadu UII pada Rabu (22/05).

Read more

Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia mengadakan talkshow dengan tema Nuzulul Quran. Talkshow bertemakan “Mengukir Mahkota Untuk Ayah Ibuku” itu diadakan pada Rabu (22/5) di Masjid Ulil Albab UII selepas tarawih. Kajian tersebut juga mengundang Hilya Qonita, seorang juara I dalam ajang program Hafidz Cilik RCTI 2013 lalu bersama ayahandanya Ust. Muslim Ibnu Mahmud sebagai pembicara. Para peserta yang terdiri dari mahasiswa dan orang tua nampak antusias menyimak setiap pemaparan dua pembicara tersebut.

Read more

Bulan Ramadan merupakan kesempatan bagi umat muslim di dunia untuk meningkatkan ketakwaan dengan sebaik-baiknya. Berbagai macam amalan dapat dikerjakan yang semata-mata hanya mengharap ridho Allah SWT. Selain itu, bulan Ramadan bukan hanya sebagai sarana meningkatkan ibadah secara vertikal, namun juga ibadah secara horizontal seperti menyambung silaturahmi.

Disampaikan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. silaturahmi merupakan sebuah tindakan alami dari diri manusia yang notabene merupakan makhluk sosial. Bersamaan dengan hal itu guna menyambung dan mempererat hubungan silaturahmi, UII menggelar buka puasa bersama Pimpinan, Pegawai Unit Rektorat dan Purna Tugas di Auditorium Prof. KH. Abdulkahar Mudzakkir, Kamis (23/5).

Read more

Bulan suci Ramadan merupakan bulan yang penuh keberkahan, kesempatan bagi segenap umat muslim untuk medekatkan diri kepada Allah SWT. Kesempatan mulia ini pun tersirat dalam berbagai kegiatan Safari Iman Ramadan (SAFIR) yang digagas oleh Takmir Masjid Ulil Albab (TMUA). Kali ini bertempat di Masjid Ulil Albab, Kamis (23/5), SAFIR menghadirkan narasumber ustadz Syatori Abdurrauf dengan topik Hati-Hati Menjaga Hati.

Umat Islam telah memiliki Al-Quran yang keasliannya dijaga oleh Allah SWT. Al-Quran diturunkan bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Tujuan diturunkannya Al-Quran ialah seabagai petunjuk bagi manusia khususnya hati manusia, jadi al-Quran berperan sebagai penjaga hati.

Read more

Bulan Ramadan menjadi salah satu bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah. Bulan yang mampu meningkatkan rasa empati dan peduli individu terhadap sesama. Berbagi menjadi salah satu kata kegiatan yang lazim dan sering dilakukan di bulan Ramadan ini. Bertempat di Auditorium Auditorium Prof. KH. Abdulkahar Mudzakkir, Rabu petang (22/5), Safari Iman Ramadan (SAFIR) Takmir Masjid Ulil Albab (TMUA) menyelenggarakan acara “1000 Cinta Anak Yatim” yang mengusung tema “Tebar Kebaikan dalam Nuansa Indahnya Anugrah Ilahi”

Read more

Dalam rangka memanfaatkan momentum bulan suci Ramadan, Relawan Ramadan Dakwah Hijrah Mahasiswa (DHM) Universitas Islam Indonesia (UII), di bawah naungan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI)  menerjunkan relawan mahasiwa selama 17 hari untuk membantu kegiatan Ramadan di Desa Binaan UII yang tersebar di 12 dusun di Kecamatan Pakem, Sleman.

Read more

Nasionalisme dalam setiap diri warga negara sangat dibutuhkan untuk menjaga persatuan. Seperti yang disampaikan dalam diskusi civitas akademika sebagai salah satu rangkaian kegiatan Safir 1440 H yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid Ulil Albab UII. Diskusi yang berlangsung pada Selasa (21/5) itu mengangkat tema “Menanamkan Rasa Nasionalisme di Era Globalisasi agar Tercipta Petriotisme”. Acara tersebut diisi oleh Guru Besar Hukum UII, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H. S.U.

Read more

Kajian spesial senja Safir Ramadan pada Senin (20/5) di Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir menghadirkan Abay Adhitya atau yang akrab disapa kang Abay. Ia merupakan seorang motivasinger, songwriter sekaligus penulis buku. Dalam pengajian itu, ia menceritakan pengalaman juga dakwahnya melalui buku dan lagu. Banyak mahasiswa penggemar kang Abay juga yang penasaran dengan buku Cinta dalam Ikhlas yang ditulisnya tersebut.

Read more