Apa yang didesain arsitek? Sebagai orang awam, yang saya pahami, arsitek adalah profesi yang erat dengan desain. Pertanyaannya: apakah yang didesain? Bagi saya, yang didesain bukahlah bangunan.
Yang didesain oleh arsitek, bagi saya, adalah afordans (affordance), yang merupakan produk dari interaksi antara pengguna dengan artefak. Afordans adalah kemungkinan-kemungkinan aksi yang dimampukan oleh artefak tersebut. Dalam desain, setiap artefak mengandung nilai yang diyakini oleh desainernya.
Sebagaimana mana pintu dalam sebuah bangunan yang memampukan kita berpindah ruang atau kursi yang memampukan kita untuk rehat sejenak dengan duduk. Afordans yang dimampukan oleh artefak tergantung konteks. Afordans berpindah ruang yang diberikan oleh pintu hilang ketika pintu berada di tengah lapangan sepak bola. Atau, afordans kursi menghilang ketika ukurannya terlalu kecil.
Nilai yang disuntikkan ke dalam artefak oleh desainer, tidak selamanya dita’ai oleh penggunaannya. Kursi tidak hanya menjadi tempat duduk, tetapi bisa memberi afordans lain: pijakan untuk “ancik-ancik”.
Begitu juga karya arsitektur sebagai artefak sosial.
Bagaimana orang awam seperti saya melihat arsitektur? Pembacaan saya terhadap beberapa sumber memberikan beberapa tilikan baru. Paling tidak bagi saya. Perspektif ini tidak selalu lepas satu dengan lainnya (mutually exclusive), tetapi mungkin berpilin. Saya ingin membaginya dengan tulisan ini.
Pertama, asitektur adalah heterotopia, kata sebuah sumber yang saya baca. Sumber ini menyebut Michel Foucault. Arsitektur mendeskripsikan ruang dengan kandungan lapisan-lapisan makna atau hubungan dengan tempat lain. Apa yang tertangkap mata tidak bisa mewakili semuanya. Ini merupakan dimensi ruang arsitektur.
Arsitektur adalah seni mengatur ruang dan artefak yang dihasilkan oleh arsitek adalah representasi ruang. Yang direpresentasikan oleh ruang bukan hanya dirinya dari lebih dari itu: struktur sosial, kuasa seorang penguasa, ide-ide tentang kebaikan, dan sebagainya. Karya seorang arsitek tidak pernah kalis dari nilai, kepentingan, dan harapan; yang baik dan yang buruk.
Kedua, karya arsitektur adalah adalah jendela melihat histori manusia. Ini merupakan dimensi temporal arsitektur. Sebagai contoh, bangunan mengajarkan kita bagaimana budaya yang melingkupinya berkembang. Saya juga baca, bagaimana evolusi sebuah situs (lokasi) mengajarkan kepada kita tentang perubahan kota.
Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah menegaskan bahwa kualitas arsitektur tergantung kepada dinasi yang sedang memerintah dan besar kuasanya. Dari artefak peninggalan karya arsitektur, kita bisa mempelajari sejarah yang melingkupinya. Sejarah bukan hanya soal urutan peristiwa, tetapi juga bagaimana peradaban berkembang dan berubah, lengkap dengan argumen yang menyertainya.
Misal, Mengapa pula selain di Istanbul, di Tessaloniki, Yunani, kota kelahiran Atatürk, juga terdapat Hagia Shopia? Atau, mengapa bentuk menara Masjid Al-Aqsha Kudus serupa dengan pura? Selalu ada cerita di baliknya, yang memantik kita menelusur balik, menembus batasan waktu.
Ketiga, arsitektur dapat menjadi alat hegemoni. Ini merupakan dimensi nilai (negatif) arsitektur. Alquran merekam bagaimana bangunan-bangunan megah dikaitkan dengan kesombongan bangsa saat ini. Ada kaum Ad yang tidak acuh dengan Sang Khalik yang dibinasakan dengan hembusan angin yang sangat dingin selama tujuh malam delapan hari (Al-Haqqah 69: 6-8). Begitu juga Firaun dengan kesenangan membuat bangunan besar dan yang berbuat sewenang-wenang (QS Al-Fajr 98:6-11).
Karya aristektur yang dibimbing keserakahan dan pengabaian kepentingan publik, dapat dimasukkan ke dalam dimensi ini. Arsitektur digunakan untuk menghegemoni alam dan kalangan terpinggirkan.
Bagaimana “legenda urban” yang sulit dibuktikan terkait dengan terbakarnya banyak pasar di Indonesia, juga tidak lepas dari sifat hegemonik yang bisa ditawarkan oleh arsitektur, dengan segala macam bungkusnya. Biasanya pasar yang terbakar tersebut (direncanakan) akan digantikan dengan pasar baru.
Contoh lain. Yang terjadi di daerah pendudukan Israel nampaknya tidak bisa dilepaskan dari kecurigaan bagaimana kepentingan politik dimanifestasikan dalam bentuk pemukiman ekslusif dan pagar tinggi. Banyak literatur yang merekam isu ini dengan segala diskusi hangat yang menyertainya.
Keempat, di sisi seberang, arsitektur dapat menjadi pembangun harmoni. Ini merupakan dimensi nilai (positif) arsitektur. Tata ruang di dalam rumah hunian dimaksudkan untuk menjaga harmoni keluarga. Masjid, gereja, pura, candi, atau ruang hijau koa yang ditata dengan sepenuh hati, adalah beberapa contoh lain bagaimana arsitektur bisa mempromosikan harmoni.
Sampai hari ini saya masih mengagumi bagaimana seorang Kristen Protestan dapat manawarkan konsep masjid yang erat kaitannya dengan kemerdekaan negeri ini, Masjid Istiqlal. Arsitek tersebut adalah Frederich Silaban. Masjid pun diposisikan di dekat Gereja Katedral Jakarta yang aslinya sudah berdiri di awal 1800an, sebelum dibangun ulang karena pernah terbakar dan roboh. Itu hanya salah satu contoh simbol harmoni. Hari ini, komplek Masjid Istiqlal sedang direvitalisasi, dan nampaknya harmoni itu tetap dirawat.
Ketika Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, memerintahkan pembangunan Masjid Al-Aqsha di Yerusalem (pada 701) dan perluasan Masjid Nabawi di Madinah (pada 707), Sang Khalifah mengirim permohonan kepada Penguasa Byzantium di Konstantinopel untuk mengirimkan orang-orang terbaiknya untuk membantu. Permohonan bersambut, Penguasa Byzantium mengirimkan bala bantuan untuk membangun kedua masjid tersebut. Masjid sendiri adalah pusat harmoni, tetapi sejarah pembangunannya juga ternyata penuh harmoni. Kisah ini terekam di Mukaddimahnya Ibnu Khaldun, yang ditulis pada 1377.
Masjid Menara Kudus juga menyimpan cerita yang mirip. Masjid yang dibangun pada 1549 oleh Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan (Sunan Kudus) sangat kental nuansa Hindunya. Banyak cerita yang berkembang di belakangnya. Selain pendekatan dakwah saat ini yang memikirkan budaya setempat, cerita yang saya dengar saat kecil, menunjukkan bahwa saat pembangunan masjid, kawan-kawan Hindu membantu mengumpulkan batu yang diambil dari Kali Gelis yang berjarak sekitar 1,5 km dari masjid. Bahkan sampai hari ini, di daerah Kudus atau Jepara, Muslim pun masih sangat jarang menyembelih sapi sebagai bentuk penghormatan kepada kawan-kawan Hindu. Menurut sebuat cerita, hal ini diperintahkan oleh Sunan Kudus, untuk menjaga harmoni.
Ide arsitektur hijau dan lestari juga bagian tak terpisahkan dari bagaimana harmoni dibangun dengan bantuan arsitektur.
Tentu, masih banyak perspektif lain yang bisa digali. Untuk merangkum keempat perspektif tersebut (4h), saya kumpulkan kata-kata kunci (yang semuanya diawali dengan huruf h) yang bisa mawakilinya. Tentu ini harus dibaca dengan kritis:
- Perspektif heterotopia memandang arsitektur yang mengandung unsur hablun/hubungan, hamparan, halangan, hambatan, himpitan.
- Perspektif histori arsitektur dapat terkait dengan hunian, himpunan, habitat, haluan, dan hajat.
- Perspektif hegemoni mengandung beragam unsur, termasuk hierarki, horor, halusinasi, heboh.
- Perspektif harmoni memunculkan harapan, hormat, horizon, hening.
Akhirnya, kepada semua arsitek muda yang hari ini disumpah: perspektif di atas bisa dicatat. Intinya: disadari atau tidak, dinyatakan atau tidak, nilai yang Saudara yakini dan kepentingan yang Saudara punyai akan mempengaruhi setiap karya desain Saudara. Di sini, saya ingin menitipkan pesan: rawatlah nilai-nilai baik dan kepentingan abadi untuk orang banyak. Hindari nilai-nilai buruk dan kepentingan sesaat dan menguntungkan segelintir orang.
Insyaallah, desain yang Saudara hasilkan akan menjadi sumber amal kebajikan yang pahalanya akan terus mengalir kepada Saudara. Jika ini yang Saudara lakukan, saya tidak khawatir, muruah UII akan terjaga dengan sendirinya, karena Saudara telah menjaga maruah pribadi.
Disarikan dari Sambutan Rektor pada Sumpah Profesi Arsitek Program Studi Pendidikan Arsitek Universitas Islam Indonesia, 11 April 2019. Sangkalan, tulisan ini dibuat dari kacamata awam yang mengetahui arsitektur dari observasi, diskusi, dan bacaan yang masih terbatas.