Dialog kebangsaan, yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan Milad ke-76 Universitas Islam Indonesia (UII) ini, merupakan sebuah ikhtiar kami sebagai anak bangsa yang saat ini mengabdi di UII untuk ikut berandil dalam merawat tenun kebangsaan dan menjaga perdamaian.
UII dan Republik ini lahir dari rahim yang sama. Para pendiri bangsa ini adalah juga pembesut UII, yang dibuka di Jakarta, 40 hari sebelum proklamasi dikumandangkan. Indonesia dalam nama UII, tidak hanya berarti tempat, tetapi juga sifat. Begitu juga Islam, tidak hanya bermakna konten pembelajaran, tetapi juga sifat. Karenanya, saya sering memanjangkan UII sebagai ‘Universitas Islami Indonesiawi’, persis dengan artinya dalam bahasa Arab, Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Indunisiyyah, yang kedua sifatnya ditandai dengan ya’ nisbah.
Pew Research Center yang bermarkas di Amerika Serikat menyebut Islam sebagai agama dengan perkembangan tercepat sejagad. Pada 2015, empat tahun lalu, Islam dianut oleh sebanyak 1,8 milyar atau 24,1% dari penduduk Planet Biru ini. Pew Research Center memprediksi, angka ini akan menjadi 3 milyar (atau 31,1% dari populasi Bumi) pada 2060. Pertumbuhan yang fantastis: 70%. Bandingkan dengan prediksi pertumbuhan penduduk dunia yang “hanya” 32%, dalam kurun waktu yang sama.
Tentu ini adalah kabar menggembirakan, Namun di sisi lain, dalam sejarah modern sampai saat ini, banyak negara Muslim di Timur Tengah, saudara-saudara kita, mendapatkan ujian berupa konflik, yang beberapa di antaranya sudah berlangsung lama dan nampak tak berkesudahan. Korban jiwa sudah mencapai jutaan.
Karenanya, dua orang peneliti (Nils Petter Gleditsch dan Ida Rudolfsen) dari Peace Research Institute di Oslo (PRIO) memunculkan pertanyaan besar: apakah negara-negara Muslim lebih rentan terhadap kekerasan? Data yang mereka kumpulkan dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2,467 tahun).
Pasca Perang Dingin, sebagian besar perang adalah perang sipil dan proporsi terbesar terjadi di negara-negara Muslim. Bukan hanya karena perang sipil di negara-negara Muslim meningkat, tetapi juga karena konflik di negara lain berkurang. Fakta yang lebih dari cukup untuk mencelikkan mata kita.
Tentu catatan optimis masih ada. Empat dari lima negara dengan penduduk Muslim terbesar, tidak terjebak dalam perang sipil. Indonesia salah satunya.Tiga yang lain adalah India, Bangladesh, dan Mesir.
Kegalauan bersama kita nampaknya sudah diwakili oleh lirik lagu “Perdamaian” yang dinyanyikan oleh Grup Kasidah Nasida Ria yang sangat fenomenal pada 1980an.
Perdamaian, perdamaian
Perdamaian, perdamaian
Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai
Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai
Bingung-bingung kumemikirnya
Pembaca yang minimal seusia saya, dan agak ‘gaul’, insyaallah mengetahui lagu ini. Untuk generasi masa kini: pada 2004, lagu ini diaransemen ulang oleh Gigi dan dinyanyikan oleh Arman Maulana.
Ah, ternyata sebagian hadirin masih terlalu muda untuk mengenal Nasida Ria dan Arman Maulana. Lagu dengan pesan perdamaian yang insyaallah hadirin kenal adalah: Deen Assalam, yang dinyanyikan oleh Grup Gambus Sabyan. Lirik terakhirnya berbunyi:
Ansyuru bainil anam. Hadza huw din as salam.
Sebarkanlah di antara manusia. (Inilah Islam) agama perdamaian.
Satu pertanyaan besar yang sangat mungkin kita ajukan adalah: mengapa kekerasan dan bahkan peran masih terjadi di negara Muslim, padahal Islam mengajarkan perdamaian. Pesan perdamaian melekat dengan Islam sejak kelahirannya. Islam sendiri berarti damai.
Pesan Allah dalam Surat Albaqarah ayat 208 sangat jelas, sebening kristal. Dr. Mohammad Mahmoud Ghali, profesor linguistik dan studi Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, yang telah menghabiskan waktu 20 tahun menginterpretasikan arti Alquran ke dalam bahasa Inggris, menerjemahkan ayat tersebut dengan:
“Wahai sekalian orang beriman, masuklah kamu semua dalam perdamaian secara menyeluruh, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS Albaqarah 2:208).
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencoba mencari jawab atas masalah ini, mulai dari karakteristik agama, gaya rezim yang sedang berkuasa, dan tingkat pembangunan. Penelitian lain memberi jawaban yang lebih menyegarkan: kerentanan terhadap konflik menghilang ketika ekonomi tumbuh dan generasi muda meningkat, misalnya.
Di sini lain, ajaran Islam sendiri tidak berkontribusi terhadap konflik. Tentu ini meruntuhkan tesis Samuel Huntington yang menyebut Islam mempunyai “jeroan berdarah” (“bloody innards”) atau “batar-batas berdarah” (“bloody borders”), dalam bukunya “The Clash of Civilization”.
Bahwa ajarah Islam tidak mempunyai korelasi dengan konflik juga diamini oleh Graham E. Fuller, mantan pentolan CIA, yang terekam dalam bukunya “A World without Islam”. Secara hipotetik, dalam sebuah diskusi di Rumi Forum, sebuah lembaga yang didirikan di Washington DC untuk dialog antaragama dan antarbudaya, Fuller menyatakan ”bahkan jika Islam dan Nabi Muhammad tidak pernah ada, hubungan antara Barat, terutama Amerika Serikat, dan Timur Tengah tidak akan berbeda jauh”.
Dalam bahasa lain yang lebih sederhana, “jika Islam tidak ada, konflik di muka bumi pun masih terjadi”. Ajaran Islam bukanlah pemicu konflik. Ajaran Islam justru memuliakan perdamaian.
Bisa jadi perang sipil yang terjadi di banyak negara Muslim, juga karena mereka masih berproses menjadi sebuah bangsa dengan keragaman. Identitas kelompok masih bertanding menjadi identitas utama. Belum disepakatinya platform bersama, kalimatun sawa, yang menjadi pengikat semua anak bangsa. Padahal, menurut Francis Fukuyama, dalam bukunya yang terbaru yang berjudul Identity, memberikan pelajaran, bahwa dalam konteks sosial yang beragam, kata kuncinya tidak lagi identity tetapi identities. Keragaman penyusun identitas bersama tetap harus diberi tempat.
Indonesia, nampaknya menjadi contoh yang indah. Indonesia dibangun di atas keragaman. Sejak berdirinya, Republik ini tersusun dari anak bangsa dengan beragam latar belakang: suku, bahasa, dan agama. Keragaman ini oleh para pendiri bangsa telah dirangkai menjadi mozaik yang indah, yang diikat dengan persatuan. Inilah yang menjadi tenun kebangsaan yang digagas oleh para negarawan paripurna yang sudah selesai dengan dirinya.
Keragaman adalah fakta sosial di Indonesia yang tak terbantah. Kita tidak mungkin lari darinya. Para pendiri bangsa telah memberikan rumus besarnya ‘bhinneka tunggal ika’. Kita memang berbeda, tetapi kita satu bangsa. Menutup mata dari perbedaan jelas mengabaikan akal sehat. Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani.
Karenanya, di era paskakebenaran (post-truth) yang lebih mengedepankan emosi dibanding fakta, mengembangkan lensa kolektif yang dapat menerima keragaman dengan ikhlas, menjadi sangat menantang. Dua hal yang berbeda, sudah seharusnya tidak selalu dianggap berdiri berseberangan secara diametral. Dalam banyak kasus, yang berbeda bisa saling melengkapi ketika nilai-nilai abadi –seperti kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan — tidak dilanggar. Semangat ko-eksistensi perlu dijaga dan dipupuk. Mozaik yang indah justru tersusun dari warna yang beragam dan bentuk yang tidak kongruen.
Bingkai kesatuan dalam keragaman kita perlukan. Sidang Tanwir Muhammadiyah pada Juni 2012 di Bandung, menghasilkan pokok pikiran untuk pencerahan dan solusi permasalahan bangsa, yang satu poinnya menyebut bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul ‘ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), dan negara yang aman dan damai (darussalam).
Saya yakin, dialog kebangsaan kali ini, yang mengambil tema besar “Islam, Kebangsaan, dan Perdamaian” akan menyegarkan pemaknaan kita atas Islam yang identik dengan perdamaian, mengisi kembali semangat kebangsaan kita, dan memoles kita menjadi manusia-manusia yang selalu kalis dari anasir anti-perdamaian.
Mari kita bersama-sama lantangkan pesan perdamaian Islam untuk kebaikan bangsa kita tercinta, Indonesia, dan juga dunia.
Disarikan dari Sambutan Rektor Universitas Islam Indonesia pada Dialog Kebangsaan: Islam, Kebangsaan, dan Perdamaian, pada 28 Februari 2019.