Keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik mendorong Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor mengadakan kunjungan studi banding ke UII pada Rabu (20/3). Kunjungan yang berlangsung di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII itu diikuti 20 delegasi yang terdiri dari 11 orang dari Tim Badan Penjaminan Mutu (BPM), 8 orang dari Tim AIPT dan 1 orang staf. Sementara perwakilan dari UII yang turut menerima kunjungan di antaranya Kepala BPM UII Kariyam S.Si., M.Si.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Trainings in Transferable Skills, sebagai bagian dari kegiatan Repesea Erasmus+. Kegiatan yang diselenggarakan kali ini terdiri dari beberapa pelatihan skill, salah satunya adalah Evaluating Research Outputs and Researchers, and Non-Academic Impact pada 18-22 Maret 2019, di kampus UII.

Read more

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) kembali meraih juara di kancah nasional. Mahasiswa Arsitektur UII yang terdiri dari Muhammad Ihsan Hernanta (2016), Junian Achmad Mahendra (2016), Salsabila Ghaisani Boru Tambunan (2016), Nurlita Vica Premidya Nugrahanti (2016), dan Fadhil Muhammad Ramadhan (2016) menyabet juara ke-dua dalam ajang Universal Design for Living Design Competition. Lomba tersebut diselenggarakan oleh Himpunan Desain Interior Indonesia dan Dulux serta memiliki dua kategori perlombaan yaitu Professional dan Mahasiswa. Kemenangan tersebut menghantarkan mereka meraih sertifikat, trofi, dan uang pembinaan senilai Rp 20 juta dari penyelenggara.

Lomba yang dilaksanakan dalam 3 tahap yaitu tahap kompetisi tanggal 1 Oktober – 31 Januari 2019, tahap penjurian 1 tanggal 14-16 Februari 2019, dan tahap penjuruan final tanggal 21 Februari 2019 itu diselenggarakan di PT. ICI Paints Indonesia (Dulux) Titan Center 9th Floor, Jakarta.

Muhammad Ihsan Hernanta selaku ketua tim menjelaskan, “Latar belakang kami mengikuti sayembara adalah sebagai ajang berekspresi dan menuangkan ide unik. Selain itu waktunya juga pas karena saat itu sedang libur semester sehingga tidak ada tekanan dari jadwal kuliah”.

Sayembara tersebut mengangkat tema Universal Design for Living dengan penekanan pada sirkulasi dan kenyamanan gerak semua jenis pengguna, khususnya difabel. Alasan juri memberi nilai plus pada karya mereka sebab terdapat 7 keunggulan pada karya tersebut, yakni menciptakan ruang dan sirkulasi ramah difabel. Sirkulasi linier dan ruangan tanpa penghalang memudahkan difabel dalam beraktifitas.

Menurutnya, kerjasama tim dalam sebuah karya sangatlah penting. Oleh sebab itu pembagian kerja dan capaian kerja harus jelas sehingga permasalahan dapat teratasi dan saling menutupi kekurangan.

Ia juga mengatakan masing-masing anggota tim bertugas menangani empat sektor pekerjaan yaitu bagian Exterior (Ihsan, Junian, dan Fadhil), Interior (Salsabila dan Nurlita), Render (Ihsan dan Nurlita), dan Poster (Junia dan Salsabila).

“Penyatuan 5 orang yang memiliki banyak ide itu sangat sulit karena setiap orang mempunyai ide masing-masing. Rintangan yang paling berat adalah ketika detik-detik pengumpulan sebab penggunaan palet itu sangat fatal bagi sayembara interior sehingga kami harus mengganti seluruh cat dan render ulang. Untungnya kami diberi kesempatan untuk mengumpulkan tepat waktu”, pungkasnya. (ANR/ESP)

Salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. Walaupun UUD 1945 telah menekankan hak ini sebagai salah satu hak konstitusional, disinyalir tidak setiap warga negara telah bebas dari kekerasan yang terjadi. Seperti halnya kekerasan fisik, psikis dan seksual. Saat ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pun menjadi isu yang banyak diperbincangkan dan memunculkan polemik.

Read more

Perkembangan dunia bisnis tampak semakin diminati dan diperhitungkan. Hampir semua kalangan tertarik dengan dunia bisnis. Saat ini tidak sedikit dari kaum milenial telah memulai bisnis, seperti mahasiswa yang mempunyai sampingan dengan membuat usaha kecil. Namun demikian, dengan hadirnya Revolusi Industri 4.0 banyak tantangan yang harus dihadapi para pebisnis saat ini.

Menanggapi hal tersebut, Program Studi Ekonomi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) mengadakan Seminar dengan tema “Mencetak Pebisnis Muda Islam dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0”. Acara ini berlangsung di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII, Sabtu (16/3).

Read more

Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, melalui Paguyuban Dimas Diajeng Jogja menyelenggarakan seminar bertajuk Membangun Personal Branding dengan Kepribadian Positif pada Kamis (14/3) di Ruang Sidang Lantai 2, Gedung Kuliah Umum Sardjito, Universitas Islam Indonesia (UII). Kegiatan dibuka langsung oleh Sekertaris Dinas Pariwisata kota Yogyakarta Yetti Martanti., S.Sos., M.

Seminar menghadirkan dua pembicara yakni Dimas Novriandi., S.E., S.H., M.Hum. seorang digital bangking public relations, dan Hangga Fathana., M.A, yang merupakan dosen Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, UII.

Read more

Kualitas pendidikan semakin meningkat dengan adanya program studi dan fasilitas yang berstandar internasional. Prodi Arsitektur UII merupakan salah satu prodi yang sudah terakreditasi internasional Korea Architectural Accrediting Board (KAAB) dan memiliki Program Internasional (IP).

Mempertegas komitmen tersebut, Prodi Arsitektur UII membuka dua ruang kelas baru Program Internasional. Peresmian dilakukan oleh Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Miftahul Fauziah, S.T., M.T., Ph.D., pada Rabu (13/3), dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng oleh Ketua Jurusan Arsitektur Noor Cholis Idham, S.T., M.Arch., Ph.D.

Read more

Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah bagi setiap orang. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bisa mengayomi setiap lapisan masyarakat yang dipimpinnya. Kemampuan untuk bersikap adil juga sangat menentukan kemajuan daerah yang dipimpinnya.

Topik tersebut tersirat pada pelaksanaan tabligh akbar yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid Ulil Albab UII, pada Jum’at (8/3), di Masjid Ulil Albab, dengan mengusung tema Nasihat untuk Umat Isyarat Intelektual dalam Al-Quran.

Read more

Diskusi kali ini berawal dari pertanyaan besar yang memerlukan jawaban segera. Ketika membaca Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), korban kekerasan seksual yang terbayangkan adalah para perempuan (termasuk anak) seperti yang tertulis dalam poin menimbang dan beberapa pasal dalam RUU PKS tersebut.

Saya yakin, semua yang hadir di sini sepakat, bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun, harus dimusnahkan dari muka bumi. Kesadaran ini juga yang seharusnya juga mendasari perumusan RUU PKS.  Saya juga yakin Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta beragam lembaga yang peduli terhadap perlindungan perempuan mempunyai data yang lebih dari cukup untuk meyakinkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah fakta sosial.

Namun, kemunculan RUU PKS ini, di tengah-tengah suhu politik yang semakin panas,  telah menimbulkan beragam interpretasi, dan bahkan hoaks. Sebagian kalangan mendukung pengesahan RUU P-KS ini dengan segera. Sebagian yang lain, mencurigai adanya muatan kepentingan tertentu, pesan-pesan tersembunyi, dalam pasal-pasal yang termaktub di sana.

Tentu menjadikan isu ini hanya menjadi gunjingan tanpa solusi akan sangat menyita energi bangsa ini. Karenanya, diskusi yang diadakah kali ini, diharapkan dalam membedah RUU PKS  ini dengan pendekatan akademik dengan tujuan utama: meningkatkan kualitas RUU PKS yang akan disahkan. Ide-ide bernas tentu diharapkan muncul dalam diskusi ini. Pertukaran ide yang terjadi, saya harapkan dapat berlangsung dengan hati yang dingin.

Bagaimana seseorang memposisikan orang lain, akan sangat mempengaruhi bagaimana dia bersikap atau berinteraksi. Begitu juga, pandangan kita terhadap perempuan akan sangat mempengaruhi bagaimana kita bersikap dan berinteraksi dengan perempuan.

Dalam Islam, perempuan menambatkan tempat yang sangat spesial. Ajaran Islam sangat menghargai perempuan. Ayat dalam Alquran dengan jernih menyampaikan bahwa kehadiran Islam telah menghapuskan praktik bejat Kaum Quraisy yang suka menguburkan bayi perempuan, karena takut kemiskinan. Bahkan, Allah mendedikasikan sebuah surat dalam Alquran dengan nama: Annisa. Surat yang secara umum memberikan pesan untuk melindungi dan sekaligus memuliakan kaum yang rentan dalam masyarakat, seperti anak yatim dan para janda, dan perempuan secara umum.

Sirah nabawiyah, juga dengan sangat jelas memberikan banyak ilustrasi bagaimana Rasulullah sangat menghargai istri-istrinya (Al-Munajjid, 2014). Hadis lain mengajarkan bagaimana perempuan (ibu) lebih berhak dihormati lebih dahulu dibandingkan laki-laki (bapak) (HR Albukhari 5971) dan keistimewaan merawat anak-anak perempuan dengan baik (HR Albukhari 1418).

Sebagai salah satu bukti posisi mulai perempuan dalam Islam, ajaran Islam memberikan hak kepada perempuan untuk memiliki properti. Hukum faraidl (pembagian waris) memberikan rumus: bahwa hak perempuan adalah separoh dari hak laki-laki. Jika ayat ini dibaca tanpa pemahaman konteks, seringkali dapat menaikkan tensi. Ini adalah revolusi yang luar biasa, dalam memuliakan perempuan.

Sejarah mencatat bahwa di Inggris, hak atas properti tidak dimiliki oleh perempuan sampai pada 1870. Dengan prinsip ‘coverture’, status perempuan menikah tidak ada dalam hukum, karena suami dan istri dianggap sebagai satu entitas, sehingga perempuan tidak dapat mewarisi properti atau menyimpan penghasilan atas namanya. Pernikahan menghentikan hak hukum perempuan. Di Amerika, baru 130 tahun kemudian, pada 1900, perempuan mendapatkan hak untuk mengendalikan properti sendiri. Ajaran Islam sudah memberikan hak perempuan, ribuan tahun sebelum itu (lihat Power, 2013)[1].

Cerita di atas, hanyalah salah satu ilustrasi bagaimana pentingnya melihat sebuah konsep pada sebuah konteks. Kekerasan terhadap perempuan yang menjadi pokok bahasan RUU PKS, juga nampaknya perlu diletakkan dalam konteks. Konteks ajaran agama dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia perlu selalu dijadikan rujukan.

Tentu kewajiban membela perempuan bukan berada di pundak perempuan saja. Laki-laki, sebagaimana diperintahkan Alquran, harus menjadi pelindung (guardian) perempuan. Ini adalah konsep qiwamah. Yusuf Ali menerjemah bagian awal Ayat 34 dari Surat Annisa dengan “men are the protectors and maintainers of women …”. Senada dengan itu, Pickthall menerjemahkannya dengan “men are in charge of women…”. “In charge”, dalam bahasa Inggris mempunyai nosi “in control or with overall responsibility”. Terjemahan Kementerian Agama RI menuliskan “laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)”.  Karenanya, saya juga mengajak, para laki-laki yang juga hadir di forum diskusi ini, untuk mengkampanyekan pemuliaan perempuan.

Hal ini mengingatkan saya kepada sebuah cerita yang saya simpan lebih dari enam tahun. Pada suatu petang di pekan kedua Juni 2013, saya dalam perjalanan dari Amsterdam ke Jakarta, sehabis mengikuti sebuah konferensi di Utrecht, Belanda. Duduk di sebelah saya seorang perempuan yang baru pulang dari Geneva mengikuti pertemuan tentang hak asasi manusia. Obrolan terjadi antar kami tanpa perkenalan terlebih dahulu. Salah satu poin yang diceritakan oleh kawan seperjalanan saya tersebut, terkait dengan pembelaan hak-hak terhadap perempuan.

Dengan spontan, saya berkomentar, “kalau Komnas Perempuan, hanya diisi oleh perempuan dan tidak ada laki-lakinya, berarti pembelaan terhadap hak-hak perempuan masih gagal”. Raut wajah perempuan di samping saya sedikit berubah. Mungkin agak kaget. Tentu saya sampaikan, seharusnya pembelaan terhadap hak-hak perempuan juga harus melibatkan laki-laki. Ini bukan soal hubungan perempuan versus laki-laki. Ini soal perintah suci memuliakan perempuan. Obrolan pun berlanjut sepanjang perjalanan.

Hadirin mungkin penasaran dengan perempuan ini. Beliau adalah Mbak Yuniati Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan, pada saat itu (2010-2014). Ternyata, banyak kawan Mbak Yuni yang juga kawan saya. Sampai hari ini, kami masih saling bersapa dalam kanal media sosial.

Terakhir, saya ingin mencolek kesadaran para hadirin, untuk membantu berpikir untuk mencari jawab atas pertanyaan: Apakah kekerasan seksual dapat terjadi dengan korban laki-laki? Bagaimana menempatkan isu ini dalam RUU PKS?

Selamat berdiskusi!

 

Referensi

Al-Munajjid, M. B. S. (2014). Interactions of the Greatest Leader: The Prophets’ Dealing with Different People. Jeddah: Zad Publishing.

Power, C. (2015). If the Oceans were Ink: An Unlikely Friendship and a Journey to the Heart of the Quran. New York: Holt Paperbacks.

Disarikan dari sambutan Rektor pada pembukaan Focus Group Discussion Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), di Universitas Islam Indonesia, pada 19 Maret 201, buah kerjasama antara Universitas Islam Indonesia, yang digawangi oleh Pusat Studi Gender (PSG) dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham), dan ICMI Orwil DI Yogyakarta, serta Harian Kedaulatan Rakyat. 

[1] Dalam sebuah Bab yang berjudul “Reading ‘The Women’” yang menggambarkan diskusi antara penulis buku, Carla Power, jurnalis sekuler Amerika Serikat dan Sheikh Muhammad Akram Nadwi dari Oxford Center for Islamic Studies.

Prestasi membanggakan berhasil diraih oleh Aldi Fahmi Mustofa. Mahasiswa UII Prodi Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) angkatan 2018 itu meraih Juara III pada ajang Musabaqah Hifdzil Qura’an dan Hadits Amir Sulthon bin Abdul Aziz se-ASEAN dan Pasifik tahun 2019. Karena raihan prestasi tersebut, ia pun menerima hadiah dan penghargaan istimewa yakni beribadah haji dengan biaya ditanggung oleh panitia penyelenggara.

Lomba yang diadakan di Jakarta pada 11-14 Maret 2019 ini merupakan yang ke-11 kalinya yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia bekerjasama dengan Duta Besar Saudi Arabia yang diikuti oleh lebih dari 100 peserta yang berasal dari 26 negara se-Asean dan Pasifik.

Mahasiswa asal Lampung ini menceritakan bagaimana perjuangannya dalam mengikuti lomba ini. “Untuk mengikuti lomba hafalan Quran pasti harus mengulang-ulang hafalan lebih sering. Perjuangannya itu melawan rasa malas ketika harus mengulang hafalan. Terlebih saya juga menjalani rutinitas perkuliahan jadi harus pandai-pandai membagi waktu”, ungkapnya.

Aldi juga mengisahkan tantangan lain yang dihadapinya saat mengikuti lomba ini yaitu mempersiapkan mental. “Kesulitannya di bagian mental karena tingkatnya se-Asean dan Pasifik. Selain itu, para dewan juri juga didatangkan langsung dari Imam Masjidil Haram sehingga peserta dituntut pintar mengendalikan emosi ketika tampil di panggung”, katanya.

Salah satu motivasinya dalam mengikuti lomba yakni dalam rangka mengoreksi atau mengukur sudah berapa persen tingkat hafalan dan kelancaran dalam menghafal Qur’an. Karena menurutnya, tidak semua penghafal dapat lancar dalam menghafalkan saat mengikuti lomba karena pasti harus memiliki mental yang kuat ketika harus diuji hafalannya di depan banyak orang. “Nah, dari situ kita bisa mengukur dan meningkatkan kualitas hapalan kita.”, terangnya.

Ini bukan merupakan pertama kalinya Aldi memenangkan lomba Hifdzil Quran. Ia juga pernah mendapatkan juara I kategori 20 juz golongan putra pada Musabaqah Hafalan Al-Quran dan Hadist (MHQH) Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz Alu Su’ud Tingkat Nasional ke XI tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama bekerjasama dengan Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia di Gedung Kementrian Agama, Jakarta pada tanggal 28-31 Januari. (DRD/ESP)