Hari ini, karena rida Allah Swt, kita menjadi saksi Wisuda Doktor, Magister, Sarjana, dan Diploma Universitas Islam Indonesia (UII) Periode I Tahun Akademik 2018/2019. Kali ini, UII meluluskan sebanyak 1.018 mahasiswa, yang terdiri dari 1 doktor, 110 magister, 821 sarjana, dan 86 ahli madyaa. Para wisudawan ini menjadikan bahwa sampai saat ini, telah meluluskan lebih dari 93.512 alumni, yang telah berkarya di beragam sektor, baik di dalam maupun luar negeri.
Inilah salah satu buah yang UII bisa tawarkan ke bangsa dan umat, sebagai perwujudan dari visi UII menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil alamin.
Saya pribadi, dan UII sebagai institusi, mengucapkan selamat untuk pencapaian semua wisudawan. Menyelesaikan studi bukanlah tanpa rintangan. Tetapi dengan keteguhan dan kerja keras, semuanya dapat dilalui dengan tuntas. Ucapan selamat juga saya sampaikan kepada keluarga para wisudawan. Dukungan dan doa yang terkirim tiap hari telah menerangi dan melapangkan jalan, serta menghalau rintangan dalam studi.
Namun, wisuda bukan akhir perjuangan. Wisuda justru gerbang menuju kiprah nyata yang lebih bermanfaat. Apa yang Saudara pelajari di kampus sudah seharusnya menjadi modal awal untuk terus berkembang. Saudara telah membuka pintu lebih lebar untuk berkhidmat. Saudara telah menjadi manusia yang lebih siap membuat jejak dan meninggalkan dampak.
Oleh para pendiri, tujuan pendidikan UII sudah disetel dengan sangat mulia. UII diharapkan menghasilkan cendekiawan dan pemimpin bangsa.
Cendekiawan atau intelektual atau ulul albab sudah seharusnya tidak hanya mumpuni dalam disiplin pilihannya, tetapi juga harus sensitif dengan masalah di lingkungannya. Dia juga adalah manusia yang selalu mengembangkan diri, menajamkan kemampuan analisisnya (QS 3:190-191), dan menjaga potensi kemanusiaannya: hati, penglihatan, dan pendengaran (QS 7:179).
Ulul albab menggabungkan dimensi pikir dan zikir, persis dengan yang disimbolkan oleh gerbang UII: masjid melambangkan zikir dan perpustakaan mengindikasikan pikir. Karenanya, terinspirasi oleh tafsir Al-Azhar karya Prof. HAMKA, ulul albab adalah manusia dengan akal rangkap dan potensi lengkap.
Sensitivitas terhadap masalah bangsa adalah modal dasar menjadi pemimpin bangsa. Pemimpin seharusnya adalah pemecah masalah, bukan bagian dari masalah.
Beragam program ko-kurikuler, yang dilengkapi dengan ekstra-kurikuler, didesain untuk mengembangkan potensi kemanusiaan Saudara. Saudara telah mengikuti beragam pembinaan, mulai dari Orientasi Nilai Dasar Islam (ONDI), Pesantrenisasi Awal, Latihan Kepemimpinan Islam Dasar (LKID), Latihan Kepemimpinan Islam Menengah (LKIM), Latihan Kepemimpinan Islam Lanjut (LKIL), Pesantrenisasi Akhir, dan beragam kegiatan pengembangan diri, bakat, dan minat lainnya, termasuk aktivitas Saudara di organisasi kemahasiswaan, semuanya bermuara di satu tujuan yang sama: mengembangkan potensi kemanusian Saudara.
Bisa jadi, ketika mengikuti kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, dan ektra-kurikuler dan bahkan sampai saat ini, di antara Saudara masih mempertanyakan manfaatnya. Tidak mengapa. Pada saatnya, saya yakin Saudara akan merasakan di kemudian hari: satu tahun lagi, lima tahun ke depan, 10 tahun mendatang, atau untuk horison waktu yang lebih jauh. Semuanya tergabung dengan lintasan kehidupan yang akan kita lewati.
Pemikiran kita memang tidak didesain untuk menghubungkan antartitik dalam kehidupan kita secara maju. Kita tidak bisa dengan mudah memprediksi masa depan. Tapi, saya termasuk orang yang percaya, pada saatnya, episode-episode kehidupan kita akan terhubung ke masa lalu. Apa yang kita panen sekarang adalah buah dari apa yang kita tanam di waktu lampau. Apa yang mungkin kita nikmati di masa depan, adalah karena ikhtiar yang kita lakukan pada masa lalu dan kini.
Formula ini juga berlaku untuk materi kuliah yang bisa jadi sampai saat ini, belum bisa kita dengan tegas menyatakan manfaatnya. Bisa jadi ketika berkarya di satu bidang spesifik, Saudara akan berkesimpulan bahwa materi kuliah tidak relevan, tetapi banyak yang lupa, bahwa materi yang bersifat umum telah membuka pintu untuk Saudara ke beragam pilihan berkarya. Yakinlah, belajar sesuatu yang baik insyaallah akan semakin mempertajam kurva pembelajaran Saudara. Kurva pembelajaran ini juga harus terus Saudara asah pada dunia pascakuliah.
Menjadi pembicara yang baik sangat dianjurkan; tetapi jangan lupa belajar menjadi pendengar yang baik. Mendengar adalah sebuah aktivitas, bukan hanya sesuatu yang dilakukan menunggu giliran bicara. Menjadi pendengar baik berarti kita menghargai orang, mengasah empati, dan sekaligus merendahkan hati.
Kita tidak harus selalu mengomentari setiap masalah yang ada. Seringkali kita hanya butuh melakukan refleksi mendalam dan menginternalisasi pelajaran. Karenanya, Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin menuliskan, “idzaa raaitumul mu’mina shamutan waquuran fadnuu minhu fainnahu yulaqqinul khikmata”, yang berarti “apabila kamu melihat orang mukmin yang pendiam lagi tenang, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia akan mengajarkan hikmah kebijaksanaan”. Inilah manifestasi “diam adalah emas”.
Kita harus belajar mengolah rasa: paham kapan mulut terbuka, tahu kapan mata dan telinga terjaga, dan sadar kapan hati ditata.
Para wisudawan, tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya ditangisi.
——
Disarikan dari sambutan rektor pada wisuda doktor, magister, sarjana, dan diploma Universitas Islam Indonesia, 29 September 2018