15,74 Triliun Rupiah
Berapa potensi pengeluaran mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama setahun? Angka di atas adalah jawabannya: Rp15,74 triliun per tahun atau Rp1,31 triliun per bulan atau Rp43,72 miliar per hari. Angka itu setara dengan 8,71 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDBR).
Kontribusi mahasiswa
Kehadiran sekitar 442 ribu mahasiswa tentu sangat penting. Sekitar 75 persen dari mereka berasal dari luar DIY. Karenanya, kontribusi mereka sangat luar biasa. Pengeluaran mereka (Rp3,06 juta per bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa lokal (Rp2,15 juta). Nominal ini belum termasuk biaya pendidikan yang dibayarkan ke kampus dengan nominal bervariasi.
Data tersebut diambil dari hasil Survei Biaya Hidup Mahasiswa DIY yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY. Laporannya dirilis beberapa waktu lalu. Sulit untuk tidak bersepakat, jika kontribusi mahasiswa sangat signifikan dalam menggerakkan roda ekonomi lokal.
Banyak sektor bisnis terkait mahasiswa yang mendapatkan manfaat langsung. Sektor kuliner rata-rata menerima sekitar Rp780 ribu per mahasiswa selama sebulan. Proporsi pengeluaran untuk makan dan minum adalah yang paling tinggi, sebesar 26 persen dari belanja bulanan.
Pengeluaran besar setelahnya di sektor gaya hidup, yang meliputi antara lain perawatan kulit, berkumpul di kafe, rekreasi/hiburan, dan olah raga. Nominalnya sekitar Rp685 per bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tempat tinggal yang menempati urutan ketiga, dengan angka pengeluaran sekitar Rp655 ribu. Tentu ada komponen pengeluaran lain, seperti untuk transportasi, komunikasi, kesehatan, belanja keperluan pribadi, dan cuci pakaian.
Perhatian bersama
Melihat dampak ekonomi yang signifikan dari kehadiran mahasiswa, yang sebagian besar pendatang, perhatian serius sudah seharusnya diberikan oleh semua pemangku kepentingan terkait. Termasuk di dalamnya pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah dapat terlibat dengan memikirkan program yang relevan untuk perguruan tinggi. Membantu promosi, memastikan keamanan, dan meningkatkan layanan transportasi publik adalah beberapa di antaranya.
Masyarakat juga serupa. Salah satu kontribusinya adalah menyambut mahasiswa pendatang dengan suka cita dan memastikan kenyamanannya. Tentu, ini bukan berarti menoleransi apa pun yang dilakukan oleh mahasiswa. Justru masyarakat bisa membantu dalam mendidik mahasiswa dengan mengenalkan nilai-nilai jogjawi yang ramah, santun, dan menghargai liyan. Lunturnya nilai-nilai jogjawi ini menjadi salah satu hal yang dikeluhkan oleh orang tua mahasiswa.
Selama ini, perguruan tinggi seakan-akan menjadi satu-satunya pihak yang paling berkepentingan dan harus bertanggung jawab untuk hal yang terkait dengan menarik mahasiswa ke DIY. Ketika ada oknum mahasiswa yang bermasalah di tempat tinggalnya, sebagai contoh, tak jarang masyarakat melayangkan komplain ke pihak kampus. Seharusnya ini menjadi tanggung bersama.
Pun, ketika dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi lokal berteriak karena secara umum cacah mahasiswa barunya menurun, suaranya seakan hilang ditelan kegelapan malam. Sirna tanpa jejak. Kampus seperti berjuang sendirian.
Tentu, misi utama perguruan tinggi adalah menghasilkan lulusan yang mumpuni dan menghasilkan karya akademik yang berkualitas. Namun, perguruan tinggi juga perlu dianggap penting dalam memutar ekonomi lokal.
Sekaranglah saatnya menyatukan langkah para pemangku kepentingan dengan bingkai kesadaran kolektif yang diperbarui: bahwa di sana ada kepentingan bersama. Tulisan ini dibuat untuk memantik kesadaran tersebut, karena kampus tidak punya hak menginstruksikan pemerintah dan memerintah masyarakat. Misi utamanya adalah menguatkan DIY sebagai salah satu penjuru atau jika mungkin penjuru utama pendidikan nasional.
Tanpa langkah bersama, jangan kaget jika predikat DIY sebagai ‘kota’ pendidikan agak memudar. Semoga bukan ini yang terjadi.
Tulisan sudah dimuat dalam Kolom Analisis Kedaulatan Rakyat 9 Januari 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia
2022-2026