,

Perlindungan Hak-hak Minoritas dan Kebebasan Beragama Tak Boleh Dikompromikan

Kaum minoritas memiliki hak yang sama dengan kaum mayoritas dalam sebuah negara. Oleh karena itu, hak-hak dasar mereka baik secara sosial, politik, budaya dan ekonomi serta kebebasan beragama termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat ditawar (non-derogable rights). Negara memiliki tanggung jawab melindungi hak-hak tersebut sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB dan secara khusus di Indonesia sesuai dengan Pasal 27, 28, 29, 30, dan Pasal 31 UUD NRI 1945.

Inilah yang menjadi tema khusus dalam konferensi internasional bertajuk “Kelompok Etnis Minoritas di Negara-negara Etnis Mayoritas” yang berlangsung di Auditorium Badan Wakaf UII pada Selasa (17/12) . Keynote speaker dibawakan oleh Sulaiman Syarif selaku Sesditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri.

Konferensi ini terbagi menjadi dua sesi. Pemateri pada sesi pertama terdiri dari tiga pembicara yaitu Prof. Samina Yasmeen selaku Direktur dan Founder UWA’s Centre for Muslim State and Societies membahas bagaimana mempromosikan pemahaman antara Australia dan etnis minoritas melalui konsep kewarganegaraan. Selanjutnya Assoc. Prof. Dr. Muhammadzakee Cheha selaku Dekan the Graduate School and Research Fatoni University yang memberikan penjelasan mengenai kebebasan mendasar dan perlindungan hak-hak muslim Pattani di Thailand Selatan, serta Nandang Sutrisno, S.H., L.Lm, M.Hum., Ph.D. selaku dosen FH UII yang menjelaskan Rohingya Kelompok Minoritas di Myanmar: Perspektif Hukum Internasional dan HAM.

Tiap pemateri memiliki sub-tema tersendiri yang berkaitan dengan kelompok etnis minoritas baik berasal dari minoritas muslim Rohingya, Australia, Myanmar, dan sebagainya.

Prof. Samina menyampaikan pemerintah Australia melindungi minoritas Muslim utamanya dengan cara memberikan identitas kewarganegaraan, tanpa ada pemisahan inklusif atau eksklusif dengan upaya meningkatkan status warga negara untuk memberikan kebutuhan ekonomi, politik, keluarga dan masyarakat.

Sedangkan, Rohaida menyampaikan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) pasal 27/1966. “Di negara-negara di mana ada etnis, agama atau bahasa minoritas, orang-orang yang termasuk minoritas tidak boleh ditolak haknya. Dalam komunitas dengan anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk mengakui dan mempraktikkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri”, katanya.

Pada sesi kedua, pemateri diisi oleh Assoc. Prof Dr. Rohaida Nordin University Kebangsaan Malaysia yang membahas mengenai Peran ASEAN dalam Melindungi Kelompok Minoritas di Negara-negara Etnis Utama. Pemateri selanjutnya yaitu Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D., selaku Guru Besar FH UII & Direktur Criminal Law Discussion membahas tentang “Hukum, Keadilan dan Perdamaian di Aceh dan Implikasinya Terhadap Negara-negara Tertentu di Asia Tenggara”.

Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D. selaku dosen FH UII mengangkat pembahasan mengenai “Memperluas Peran Hukum Islam di Negara-negara Minoritas Muslim Asia Tenggara: Pengaruh Hukum dari Peningkatan Keuangan Islam.

Prof. Jawahir menyebutkan MoU Helsinki 2005 antara RI dan GAM telah membuktikan fungsi yang efektif, tidak hanya untuk mengakhiri konflik dan permusuhan. Fungsi hukum tersebut untuk memberikan keadilan secara efektif. Kedua belah pihak memiliki komitmen yang kuat, dalam arti itikad baik atau niat, berbagi distribusi yang hilang dan manfaat, dengan menyetujui Mahkamah Syariah beroperasi di semua kabupaten, membentuk Majelis Ulama / Dewan Adat, meningkatkan pendanaan ekonomi dan keuangan dengan 70% dari Pertambangan dan sumber-sumber alam, politik pengampunan atau pengampunan bagi mantan GAM, serta penghapusan senjata dan mengembalikan TNI ke Jakarta telah berkontribusi secara signifikan terhadap keberhasilan proses perdamaian di Aceh.

Nandang sutrisno memberikan kesimpulan pada artikel penelitiannya yang menegaskan kembali bahwa ide dasar bersejarah ASEAN adalah menciptakan “Satu Visi, Satu Identitas, [dan] Satu Komunitas” di kawasan ini. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa campur tangan dalam urusan internal negara lain juga merupakan fitur yang kuat dalam politik regional di Asia Tenggara (Jones, 2012). (MRA/ESP)